Lalu mengapa ia mau berubah haluan? Bukankah harga sawit lebih menggiurkan?
Terlebih untuk menanam sawit, ia mengerjakannya sendiri, di mana sekali panen hasilnya 2-3 ton per bulan. Jika harga sawit normal, dia bisa berpenghasilan hingga Rp 3 juta per bulan. Akan tetapi itu hanya sepenggal kisahnya di masa lalu, tepatnya sebelum tahun 2008.
Selepas itu, ia beralih ke tanaman hortikultura karena merasa kegiatan bertani hortikultura akan sangat menguntungkan, lebih dari apa yang ia dapatkan dari sawit. Dengan pemikiran tersebut, Suryono akhirnya menumbangkan tanaman sawit dan menggantinya dengan lahan pertanian hortikultura.
Selain keuntungan bagi para petani, tanaman hortikultura dalam praktiknya lebih berkelanjutan, karena para petani bisa menggarap lahan yang sama hingga berkali-kali panen tanpa perlu membuka lahan baru. Upaya tersebut merupakan bentuk kegiatan pertanian agroforestri yang mendukung kelestarian lingkungan hutan.
Jenis varietas tanaman hortikultura yang ia tanam meliputi oleikultura yakni sayuran bayam kacang panjang, terong, timun, cabai, dan frutikultura seperti buah pepaya, melon, dan masih banyak lagi.
Kini Suryono bisa mendapatkan penghasilan Rp 25 juta per bulan hanya dengan bercocok tanam sayuran. Dari nilai rupiah tersebut, ia mengeluarkan Rp 9 juta untuk bayar pekerja, Rp 5 juta beli pupuk, sisanya adalah keuntungan.
Kesuksesan Suryono tersebut ternyata tidak terlepas dari dukungan perusahaan pemilik lahan konsesi. Ia mendapatkan pelatihan, penyuluhan, modal serta pendampingan pemasarannya sekaligus.
Suryono juga dikabarkan mewakili para petani yang mendukung konservasi lingkungan hutan, dalam perhelatan global terkait perubahan iklim, Conference of the Parties (COP-22) yang terselenggara pada 7-18 November mendatang di Maroko.
Apa yang dilakukan Taman, Bambang, dan Suryono memang memiliki kisah berbeda dalam pergulatannya untuk bersetia di jalurnya sebagai petani. Namun hasil dari kekonsistenan yang mereka pegang teguh itu, kini berbuah semakin manis. Selain dapat menghidupi diri mereka dan keluarga, produk-produk hasil pertanian tersebut bisa dinikmati pula oleh masyarakat sekitarnya.
Kiranya kita membutuhkan teladan dari para petani seperti ini. Sosok-sosok pekerja keras yang berdedikasi tinggi, serta tidak mengharap hasil instan semata. Ancaman kerawanan pangan di masa depan dapat dihalau jika kita dapat mencetak petani-petani baru berkualitas yang siap menghadapi tantangan global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H