Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo mengingatkan kita bahwa di masa depan terdapat 3 komoditas utama yang akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia. Ketiga komoditas tersebut adalah pangan, energi, dan air. Dengan pertumbuhan penduduk yang makin meningkat, namun jumlah petani dan lahan yang cenderung stagnan bahkan menurun, ancaman rawan pangan makin tak terelakkan.
Profesi petani lekat dengan kemiskinan, tidak mengenyam pendidikan tinggi, jauh dari kehidupan modern, termasuk sulitnya akses ke perbankan untuk permodalan, dan banyak kesulitan lainnya. Dengan segala himpitan ekonomi yang mereka rasakan, menyebabkan jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian terus menurun.
Berdasarkan data dari CNN Indonesia, penduduk yang bekerja sebagai petani menurun dari 39,22 juta pada 2013, menjadi 38,97 juta pada 2014. Jumlahnya turun lagi menjadi 37,75 juta pada 2015.
Ironis, bahwa negara yang dikenal sebagai negeri agraris ini, minat generasi muda menjadi petani mengalami kemerosotan, sementara usia rerata petani yang ada saat ini semakin tua.
Tetapi ada baiknya kita tidak terus meratapi data yang terasa miris tersebut, karena ternyata masih ada sosok-sosok petani yang setia di jalurnya. Mereka tetap tekun di bidangnya, mengolah dan menghasilkan produk pertanian sebagai bahan pangan untuk kita semua. Di antara sosok tersebut adalah sebagai berikut:
Akhmad Tamaruddin (62 tahun)
Taman merupakan transmigran asal Ngawi, Jawa timur. Ia yang pertama tiba di Palangkaraya tahun 1980, harus berjibaku agar bisa bercocok tanam di lahan yang tanahnya memiliki kadar keasaman sangat tinggi tersebut.
Satu prinsip yang paling luar biasa dari Taman, bahwa ia tidak membuka lahan dengan cara membakar lahan. Hal itu tentunya bukan perkara sederhana, mengingat cara yang dilakukan dengan tanpa membakar ini memang bukan cara paling mudah dan murah.
Taman sempat hampir menyerah dan berniat untuk pulang ke Jawa. Ia beralih bekerja serabutan sebagai kuli bangunan. Niat awal upah hasil kerjanya ia kumpulkan untuk ongkos pulang ke Jawa. Tapi kemudian ia kembali berubah pikiran, dan meyakini bahwa lahan kondisi apapun pasti akan subur kalau diekplorasi.
Prinsipnya dalam bertani tidak berubah, yakni tetap tidak membuka lahan dengan cara membakar. Praktik tersebut diyakini Taman sebagai kegiatan bertani yang berkelanjutan (sustainable) dan mendukung kelestarian lingkungan.
Meski tanpa pendidikan tinggi, ia mempelajari teknik bertani dari pengalaman empiris, sifat tanah, tipologi, mineralnya, dan lain sebagainya. Kemudian ia membelanjakan uang yang ia kumpulkan untuk modal menanam di lahan gambutnya.
Taman mulai membeli tanah subur dua truk dengan harga satu truk Rp 750 ribu, dan membeli 20 sak kapur, masing-masing sak berisi 25 Kg seharga Rp 50 ribu. Biaya lain yang diperlukan adalah untuk membeli pupuk yang disesuaikan kebutuhan.
Kini di usianya yang sudah tidak muda, sudah banyak pihak yang tertarik untuk mempelajari cara bercocok tanam yang dilakukan Taman. Ia pernah menjadi mentor untuk menerapkan pembukaan lahan tanpa bakar di hadapan utusan masyarakat se-Kalteng, beberapa akademisi, mahasiswa, Manggala Agni, Kepolisan dan lainnya juga banyak yang berdiskusi dengannya. Bahkan pernah ada utusan dari negara se-Asean yang belajar padanya.
Bambang Wijono (57 tahun)
Awalnya Bambang hanya menggarap tanah warisan mendiang kakek buyutnya sejak tahun 1920 lalu, kemudian bertambah dengan lahan miliknya sendiri pada tahun 1999. Selepas itu, penanaman tanaman pohon lada dilakukan di dua lokasi, yakni di lahan peninggalan mendiang kakeknya seluas lebih kurang 1 hektar dengan sekitar 1000 pohon lada, serta lahan milik Bambang sendiri lebih kurang 1/2 hektar, yang terdapat sekitar 350 pohon lada.
Untuk masa panen sekitar 1–1,5 tahun jenis lada untuk sistem setek, sedangkan 2,5–3 tahun yang untuk sistem biji. Dari hasil panen, Bambang biasanya mematok harga rata-rata Rp.170.000 per kilogram untuk jenis lada putih, sedangkan yang jenis hitam sekitar Rp.175.000 per kilogram.
Bukan berarti kesuksesan tersebut datang begitu saja, ia pun mengalami pasang surut dalam proses pemasarannya. Kekonsistenannya tahun ke tahun memawa hasil menggembirakan. Kini Bambang tidak perlu repot-repot menjual hasil panen ladanya ke pasar, karena pembeli biasanya langsung datang ke rumah. Terlebih di zaman sekarang akses dan komunikasi sangat mudah dengan teknologi.
Bambang telah dikenal banyak orang dengan predikat petani teladan. Sosoknya juga diketahui sangat bersahaja dan tidak pelit berbagi pengalaman dalam hal-hal soal pertanian maupun perkebunan.
Suryono (40 tahun)
Lalu mengapa ia mau berubah haluan? Bukankah harga sawit lebih menggiurkan?
Terlebih untuk menanam sawit, ia mengerjakannya sendiri, di mana sekali panen hasilnya 2-3 ton per bulan. Jika harga sawit normal, dia bisa berpenghasilan hingga Rp 3 juta per bulan. Akan tetapi itu hanya sepenggal kisahnya di masa lalu, tepatnya sebelum tahun 2008.
Selepas itu, ia beralih ke tanaman hortikultura karena merasa kegiatan bertani hortikultura akan sangat menguntungkan, lebih dari apa yang ia dapatkan dari sawit. Dengan pemikiran tersebut, Suryono akhirnya menumbangkan tanaman sawit dan menggantinya dengan lahan pertanian hortikultura.
Selain keuntungan bagi para petani, tanaman hortikultura dalam praktiknya lebih berkelanjutan, karena para petani bisa menggarap lahan yang sama hingga berkali-kali panen tanpa perlu membuka lahan baru. Upaya tersebut merupakan bentuk kegiatan pertanian agroforestri yang mendukung kelestarian lingkungan hutan.
Jenis varietas tanaman hortikultura yang ia tanam meliputi oleikultura yakni sayuran bayam kacang panjang, terong, timun, cabai, dan frutikultura seperti buah pepaya, melon, dan masih banyak lagi.
Kini Suryono bisa mendapatkan penghasilan Rp 25 juta per bulan hanya dengan bercocok tanam sayuran. Dari nilai rupiah tersebut, ia mengeluarkan Rp 9 juta untuk bayar pekerja, Rp 5 juta beli pupuk, sisanya adalah keuntungan.
Kesuksesan Suryono tersebut ternyata tidak terlepas dari dukungan perusahaan pemilik lahan konsesi. Ia mendapatkan pelatihan, penyuluhan, modal serta pendampingan pemasarannya sekaligus.
Suryono juga dikabarkan mewakili para petani yang mendukung konservasi lingkungan hutan, dalam perhelatan global terkait perubahan iklim, Conference of the Parties (COP-22) yang terselenggara pada 7-18 November mendatang di Maroko.
Apa yang dilakukan Taman, Bambang, dan Suryono memang memiliki kisah berbeda dalam pergulatannya untuk bersetia di jalurnya sebagai petani. Namun hasil dari kekonsistenan yang mereka pegang teguh itu, kini berbuah semakin manis. Selain dapat menghidupi diri mereka dan keluarga, produk-produk hasil pertanian tersebut bisa dinikmati pula oleh masyarakat sekitarnya.
Kiranya kita membutuhkan teladan dari para petani seperti ini. Sosok-sosok pekerja keras yang berdedikasi tinggi, serta tidak mengharap hasil instan semata. Ancaman kerawanan pangan di masa depan dapat dihalau jika kita dapat mencetak petani-petani baru berkualitas yang siap menghadapi tantangan global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H