Mohon tunggu...
Juvialen
Juvialen Mohon Tunggu... -

Kata-katamu adalah kualitas dirimu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

3 Kisah Inspiratif di Tengah Merosotnya Jumlah Petani di Negeri Ini

6 November 2016   20:25 Diperbarui: 7 November 2016   10:26 1642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski tanpa pendidikan tinggi, ia mempelajari teknik bertani dari pengalaman empiris, sifat tanah, tipologi, mineralnya, dan lain sebagainya. Kemudian ia membelanjakan uang yang ia kumpulkan untuk modal menanam di lahan gambutnya.

Taman mulai membeli tanah subur dua truk dengan harga satu truk Rp 750 ribu, dan membeli 20 sak kapur, masing-masing sak berisi 25 Kg seharga Rp 50 ribu. Biaya lain yang diperlukan adalah untuk membeli pupuk yang disesuaikan kebutuhan.

Kini di usianya yang sudah tidak muda, sudah banyak pihak yang tertarik untuk mempelajari cara bercocok tanam yang dilakukan Taman. Ia pernah menjadi mentor untuk menerapkan pembukaan lahan tanpa bakar di hadapan utusan masyarakat se-Kalteng, beberapa akademisi, mahasiswa, Manggala Agni, Kepolisan dan lainnya juga banyak yang berdiskusi dengannya. Bahkan pernah ada utusan dari negara se-Asean yang belajar padanya.

Bambang Wijono (57 tahun)

Bambang Wijono (kanan) sukses membudidayakan lada. (credit: gemadesa.com)
Bambang Wijono (kanan) sukses membudidayakan lada. (credit: gemadesa.com)
Bambang Wijono merupakan sosok petani pengembang budidaya tanaman rempah-rempah jenis lada asal Desa Kuncen, Karang Suren, Kabupaten Semarang. Ia sukses mengembangkan tanaman pohon lada secara mandiri, dari aspek praktik maupun permodalannya.

Awalnya Bambang hanya menggarap tanah warisan mendiang kakek buyutnya sejak tahun 1920 lalu, kemudian bertambah dengan lahan miliknya sendiri pada tahun 1999. Selepas itu, penanaman tanaman pohon lada dilakukan di dua lokasi, yakni di lahan peninggalan mendiang kakeknya seluas lebih kurang 1 hektar dengan sekitar 1000 pohon lada, serta lahan milik Bambang sendiri lebih kurang 1/2 hektar, yang terdapat sekitar 350 pohon lada.

Untuk masa panen sekitar 1–1,5 tahun jenis lada untuk sistem setek, sedangkan 2,5–3 tahun yang untuk sistem biji. Dari hasil panen, Bambang biasanya mematok harga rata-rata Rp.170.000 per kilogram untuk jenis lada putih, sedangkan yang jenis hitam sekitar Rp.175.000 per kilogram.

Bukan berarti kesuksesan tersebut datang begitu saja, ia pun mengalami pasang surut dalam proses pemasarannya. Kekonsistenannya tahun ke tahun memawa hasil menggembirakan. Kini Bambang tidak perlu repot-repot menjual hasil panen ladanya ke pasar, karena pembeli biasanya langsung datang ke rumah. Terlebih di zaman sekarang akses dan komunikasi sangat mudah dengan teknologi.

Bambang telah dikenal banyak orang dengan predikat petani teladan. Sosoknya juga diketahui sangat bersahaja dan tidak pelit berbagi pengalaman dalam hal-hal soal pertanian maupun perkebunan.

Suryono (40 tahun)

Suryono dianggap sebagai inspirasi bagi para petani di Siak Riau. (credit: detik.com)
Suryono dianggap sebagai inspirasi bagi para petani di Siak Riau. (credit: detik.com)
Suryono diberitakan sebagai petani hortikultura sukses. Berdasarkan tulisan jurnalis detik.com itu, Suryono awalnya petani kelapa sawit yang kemudian berubah haluan menjadi petani hortikultura di lahan miliknya seluas lahan 2 hektar (ha). Sosok pria tiga anak ini tinggal di Dusun Suka Jaya, Desa Pinang Sebatang Barat Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak, Riau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun