"Mengapa bapak berkata demikian. Bukankah kepergian Andra untuk selama-lamanya sudah menjadi kehendak Tuhan," kataku mencoba menghibur pak Selamat. Wajah pak Selamat masih diselimuti mendung. Perasaan dukacitanya sangat mendalam.
"Bapak bukan melawan takdir, nak Bakti. Ketika Andra menghembuskan nafasnya terakhir, tidak sempat mendapat pertolongan. Andra tercebur ke dalam parit di pinggir pematang sawah. Padahal, tak jauh dari Andra, beberapa mahasiswa sedang melakukan KKN. Mahasiswa-mahasiswa itu hanya terpelongo dan tidak bertindak apa-apa untuk menolong Andra. Seandainya mereka segera menolong Andra, kemungkinan besar Andra selamat," kata pak Selamat membuatku jadi bingung. Namun disisi lain, aku membenarkan pendapat pak Selamat.
"Mengapa mahasiswa-mahasiswa itu tak segera menolong Andra, pak?" tanyaku kepada pak Selamat.
"Kata mereka takut ketularan penyakit ayan yang diderita Andra. Mereka itu keterlaluan nak Bakti! Mereka itu tak punya hati nurani! Mereka membiarkan Andra menggelepar-gelepar di dalam parit dan akhirnya meninggal dunia," kata pak Selamat terisak-isak sembari menahan emosi. "Tapi, itu hak mereka ya, nak Bakti untuk tidak melakukan pertolongan kepada Andra," kata pak Selamat lagi dengan suara perlahan.
"Sudah pak, ikhlaskan kepergian Andra. Doain supaya Andra tenang di alam baka," kataku mencoba menenangkan hati pak Selamat.
"Seandainya nak Bakti ada di sini, kemungkinan besar Andra tak sampai meninggal dunia karena nak Bakti sigap menolongnya. Selama ini, hanya nak Bakti yang memperdulikan Andra." kata pak Selamat dengan suara tersekat. Pak Selamat merasakan dadanya sesak saking terharu.
"Sudah pak, ikhlaskan kepergian Andra. Jangan disesali pak. Semua itu sudah kehendak Tuhan Maha Pengasih. Kalau tak mengikhlaskan kepergian Andra, hati dan pikiran bapak akan terbebani. Bisa-bisa bapak nanti jatuh sakit," kataku lembut. Aku tak menginginkan pak Selamat berlarut-larut dalam kesedihan. Aku menginginkan pak Selamat tegar menghadapi kenyataan yang dihadapinya.
Setelah pertemuan singkat di rumah itu, kemudian aku dan pak Selamat melangkah menuju pusara Andra yang berada di kaki bukit. Pusara Andra tidak jauh dari rumahnya. Menuju pusara itu harus melewati pematang sawah yang berkelok-kelok dan mendaki. Yah, jalan pematang sawah itu memunculkan kenanganku bersama Andra sekitar satu bulan lalu. Di jalan pematang sawah di kaki bukit itu aku dan Andra sering bercengkrama sembari berlari-lari berkejar-kejaran. Betapa gembiranya Andra bermain-main bersamaku ketika itu. Hampir setiap sore usai melakukan KKN, aku mengajak Andra bermain-main di pematang sawah di kaki bukit itu. Aku memperagakan bermacam-macam permainan sehingga Andra sangat terhibur. Sering Andra tertawa terpingkal-pingkal ketika aku memperagakan permainan lucu. Selama berada di desa itu, hampir sepuluh kali penyakit ayan Andra kumat, namun berhasil kutangani dengan baik sehingga tidak berakibat fatal. Dan aku masih jelas mengingat keinginan Andra yang ingin jadi dokter seperti cita-citaku. Alasan Andra ingin jadi dokter, untuk menolong orang-orang yang sakit ayan.
"Om Bakti, Andra ingin jadi dokter seperti cita-cita Om Bakti. Kalau Andra nanti jadi dokter, Andra ingin menyembuhkan orang-orang yang sakit ayan. Om, orang yang sakit ayan itu sangat menderita, seperti yang Andra rasakan,". Perkataan itu pernah diutarakan Andra kepadaku di pematang sawah di kaki bukit itu. Tapi, cita-cita Andra tak pernah menjadi kenyataan. Cita-cita itu telah amblas ditelan bumi bersama Andra direnggut sakratul maut.
"Itu pusara Andra, nak Bakti," kata pak Selamat membuyarkan kenanganku tentang Andra. Pak Selamat menghentikan lagkahnya tepat di pusara Andra yang masih merah dan basah pertanda belum lama dikebumikan. Aku yang berada di samping pak Selamat segera menjamah dan mengusap-usap nisan Andra. Selanjutnya menabur bunga ke seluruh permukaan pusara Andra. Setelah menaburkan bunga yang sebelumnya kubawa dari kota, aku sejenak merenung mengenang Andra. Kemudian gejolak kesedihan membuncah dari dalam hatiku. Tanpa kusadari kedua mataku basah berlumur airmata. Yah, aku menangis sesunggukan di pusara Andra. Kesedihanku teramat mendalam. Aku merasa sangat kesepian ditinggal pergi Andra untuk selama-lamanya. Kemudian pak Selamat meraih tanganku, selanjutnya mendekapku penuh kebapaan.
"Sudah nak Bakti, kita ikhlaskan kepergian Andra untuk selama-lamanya. Andra sudah tenang di alam baka," kata pak Selamat yang membuat hatiku tiba-tiba tenang. Perkataan yang keluar dari mulut pak Selamat sangat menyenangkan hatiku karena ternyata pak Selamat bisa menerima kepergian Andra untuk selama-lamanya. Selanjutnya aku dan pak Selamat meninggalkan pusara Andra dengan perasaan tenang tanpa beban. Yah, keikhlasan menerima kepergian Andra untuk selama-lamanya hadir dalam ruh kami masing-masing. Hanya kenangan bersama Andra di kaki bukit itu menari-nari di benakku.***