Mohon tunggu...
Jusuf AN
Jusuf AN Mohon Tunggu... profesional -

Kelahiran Wonosobo. Senang menulis (fiksi dan non-fiksi). Pemilik www.tintaguru.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ruang Publik Kota: Antara Realitas dan Idealitas

28 September 2015   13:24 Diperbarui: 6 Oktober 2015   18:41 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anggapan bahwa ruang publik hanyalah ruang yang sia-sia adalah kesesatan yang nyata. Kalau toh tidak bisa menjadi image of the city seperti Singapura dengan Boulevard Orchard Road-nya, setidaknya ruang publik kota bisa menjadi oase bagi jiwa-jiwa warga yang suntuk.

Ya, pembangunan yang baik semestinya tidak hanya mengedepankan aspek fisik dan materiil semata, tetapi juga kesejahteraan jiwa warga di sekitarnya.  Bukankah setiap manusia memerlukan ruang untuk berkumpul, diskusi, olah raga, jalan-jalan, atau sekadar duduk-duduk santai? Dan Anda tahu, aktifitas yang saya sebutkan itu dipercaya bisa meredam depresi. Apa jadinya sebuah kota yang dipenuhi oleh orang-oran depresi?

Menyambut Hari Habitat Dunia 5 Oktober 2015 yang tahun ini mengambil tema Public Spaces For All, tepat bagi kita untuk merefleksi keberadaan dan nasib ruang publik demi masa depan kota-kota di Indonesia. Beberapa catatan terkait realitas dan idealitas ruang publik kota berikut barangkali perlu untuk kita renungkan.

Pertama, ruang publik adalah milik bersama. Meski tentu saja kita tidak boleh mendirikan rumah di tengah alun-alun. Menjadi bagian dari pemilik ruang publik kota dapat membuat orang merasa perlu mengunjunginya sekaligus menjaganya. Tapi bagaimana kita merasa memiliki jika ternyata ruang publik tersebut hanya dirancang untuk orang-orang tertentu? Realitasnya masih banyak kita temukan ruang publik yang tidak ramah terhadap penyandang difabel dan tidak memberikan fasilitas untuk seluruh umur.

Kedua, keindahan saja tidak cukup. Merancang sebuah taman kota misalnya, tidak hanya mementingkan aspek keindahan (estetika) semata, tetapi juga harus mengindahkan aspek kegunaan dan kenyamanan pengguna.

Ketika berkunjung ke Surabaya, saya memang sempat terkagum melihat taman dan taman, di mana-mana taman. Tetapi hanya beberapa saja dari taman tersebut yang kerap dikunjungi, selebihnya sepi. Tidak apa-apa; ruang terbuka hijau seperti taman tetap memberikan manfaat meski sepi. Tetapi jika lebih banyak orang memanfaatkan keberadaannya tentu akan lebih bagus dan akan menghindarkannya dari penyalahgunaan, seperti dijadikan tempat mesum karena memang situasi mendukung.

[caption caption="Taman Prajuritan di dekat alun-alun Wonosobo yang lebih sepi dari Taman Kartini (foto: dok. pribadi)"]

[/caption]

Guna menarik minat orang-orang mengunjungi ruang publik barangkali penting untuk memperhatikan faktor aksesibilitas. Ruang publik haruslah mudah dijangkau,  terutama bagi pejalan kaki. Selain itu perlu pula memberikan daya tarik tertentu, misalnya wahana bermain anak, internet gratis, atau pertunjukan-pertunjukan kecil di akhir pekan. Para pakar tata ruang kota saya yakin lebih paham soal ini.

Ketiga, keamanan adalah kenyamanan paling utama. Meski Anda tahu, akar kata publik itu sendiri berasal dari bahasa Latin, “publicus” yang artinya ‘laki-laki dewasa’. Tetapi ruang publik yang ideal haruslah menjamin keamanan semua pengunjungnya, tanpa membedakan jenis kelamin. Memang, jarang sekali kita temukan perempuan duduk sendirian di bangku taman kota, barangkali karena masih banyak ruang publik yang rawan tindak kejahatan.

Ini sekaligus menjadi jawaban kenapa orang-orang cenderung memilih mall, atau café sebagai tempat pertemuan ketimbang ruang publik terbuka. Tidak lain karena keamanan di sana jauh lebih terjamin. Maka, patroli petugas keamanan dan pemasangan CCTV menjadi penting untuk menjamin keamanan pengunjung di ruang publik kota.

Demikianlah, berbagai kekurangan tentang tata kelola ruang publik kota adalah kewajaran, selama upaya pembenahan tetap digalakkan secara intensif. Segala permasalahan adalah tantangan untuk diupayakan pemecahannya, bukan dibiarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun