"Tapi waktu sudah habis," kata dosen itu sembari menata tasnya.
"Tadi Bapak masuknya terlambat setengah jam."
"Tapi ruangan ini akan digunakan untuk kuliah lain. Kau bisa simpan dulu pertanyaanmu untuk minggu depan." Setelah berkata begitu, Dosen itu mengucap salam dan keluar dari ruangan.
Kau nampak kecewa karena tak diberi kesempatan merampungkan bicara. Nitse menghapirimu sembari tersenyum, dan kemudian mengajakmu ke kantin kampus, dan di sana ia mengajakmu melanjutkan diskusi yang belum selesai di ruang kuliah.
"Menurutku God is Death tak relevan, bahkan sebelum gagasan itu lahir."
"Tapi tadi di kelas kau katakan bahwa Tuhan hidup kembali pasca 19 orang pembajak pesawat Amerika berhasil menabrakkannya di WTC. Kalau Tuhan hidup kembali berarti ia pernah mati dong," sanggah Nitse ketus.
"Mungkin aku tak sadar mengatakan hal itu tadi."
"Tak sadar? Justru menurutku analisamu bagus, Rijal. Aku juga merasakan Tuhan kembali bangkit pasca peristiwa 11 September. Aku yakin, jika Nietzhe hidup sekarang dan menyaksikan tragedi itu, ia juga akan mengatakan Tuhan hidup kembali bahkan dengan kekuatan penuh, dan telah menyulutkan keberanian pada dada-dada manusia untuk berperang."
"Kau terlalu berlebihan mengagumi Nietzhe, seperti Hitler saja."
"Kau mungkin juga akan mengaguminya kelak. Aku tahu, kau belum membaca karya-karyanya."
Kata-katanya yang terakhir itu cukup membuatmu tertegak. Karena tak ingin berbohong, kau hanya memalingkan wajah, menahan malu. Tetapi kau bukanlah orang yang begitu saja membiarkan rasa malu menggerogoti hidup. Kau hanya merasakan malu yang tipis dan tak begitu ambil pusing. Maka, sehari setelah pertemuan itu, kau justru mendatangi kamar kawanmu itu. Di sana kau seratusan buku-buku yang bertumpuk di lantai, sebuah mesin ketik manual, botol-botol kosong, sebuah gitar yang senarnya tinggal tiga, baju-baju bergelantungan di balik pintu, sebuah meja duduk, sebuah poster bergambar Nietzhe berukuran jumbo, dan beberapa lukisan yang dibuat dengan pensil di atas kertas HVS.