"Itu milikmu."
"Kau tak butuh?"
"Aku masih ada. Oya, Rijal, kau punya suara dan bermain gitar yang bagus, kenapa itu kau sia-siakan? Kau bisa ngamen sendiri setiap hari di sini."
"Di sini?"
"Di sepanjang jalan Solo ini."
"Apa kau yakin aku berani?"
"Apa yang kau takutkan, Kawan?"
Di tempat-tempat lain, seperti Malioboro, depan Benteng Vredeburg, pangkalan-pangkalan angkutan kota, terminal bus, atau di pantai Parangtritis dan Baron mungkin sudah ada pihak-pihak yang menganggap berkuasa dan kemudian melarang siapa pun untuk mengamen tanpa seijinnya. Tetapi, benar, tak ada yang kau takutkan lagi setelah kawanmu itu menerangkan tentang keramahan kota Jogya; siapa pun boleh mengamen, khusunya di sepanjang jalan Solo.
Malam itu, kau akhirnya pergi sendiri ke sebuah warung makan dan memesan lele bakar serta segelas es teh, sementara kawanmu itu sudah terlebih dulu pergi entah ke mana.
Nitse, begitu kau biasa dan senang memanggil kawanmu itu. Tentu saja ada sebab yang membuatmu memanggilnya dengan nama itu. Bermula dari peristiwa di ruang kuliah di mana ia tengah mempresentasikan sebuah makalah filsafat dengan tema nihilisme, dan kau, yang menjadi salah satu pendengarnya memberikan komentar atas apa yang ia sampaikan, terutama berkaitan tentang pandangan-pandangan Nietzhe tentang kehidupan (aku tahu, bahwa kau tak benar-benar paham dengan apa yang kau katakan waktu itu). Belum tuntas kau mengoceh dengan menggerak-gerakkan tangan, sang Dosen memandang jam tangannya, dan beberapa jenak kemudian mengatakan kalau waktu kuliah sudah habis.
"Sebentar, Pak, saya belum selesai."