"Semangat kerjanya, jangan lupa tersenyum"Â
Pesan itu tertulis di secarik kertas yang ku temui tergeletak di atas meja kerjaku selepas  kembali dari break makan siang. Sontak ku arahkan pandanganku ke sekeliling perpustakaan, tak ada yang nampak mencurigakan. Semuanya terlihat normal seperti perpustakaan pada umumnya, hening dan tampak tenang. Aku membuang kertas pesan itu ke tempat sampah dengan cuek dan melanjutkan pekerjaanku sambil sesekali melirik ke arah meja-meja pengunjung yang nampak larut dengan bukunya masing-masing.Â
Yah aku seorang pustakawan di perpustakaan ini, menghabiskan waktu dengan bekerja seraya melahap buku-buku yang berkaitan dengan sastra. Aku tidak banyak bicara dan terkesan dingin, banyak orang tak berani berbicara padaku bahkan hanya untuk sekedar menyapa. Karena hal itu, terkadang aku mulai merasa kesepian. Setelah menemukan surat tadi, aku sadar bawah masih ada orang yang peduli padaku, sedingin apapun sikapku.
Keesokan harinya, lagi-lagi secarik pesan tergeletak di atas meja kerjaku.
"Wajahmu terlihat lusuh pagi ini, apakah kau baik-baik saja?"
Aku sedikit terhibur dengan pesan itu, sekilas aku tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya ada seseorang yang membuatku tersenyum lagi setelah sekian waktu yang lama. Aku memungut pesan itu dan menyimpannya di laci meja kerjaku.Â
Waktu terus berlalu, tak terasa sudah seminggu aku selalu mendapat pesan-pesan itu yang tergeletak begitu saja di atas meja kerjaku. Dan selalu ku dapati pesan-pesan itu sekembalinya dari break makan siangku.
Hari ini aku memutuskan untuk tak meninggalkan meja kerjaku saat break makan siang, aku sengaja melakukan hal itu untuk mengamati gerak gerik para penghuni perpustakaan siang itu. Sadar usahaku tak berhasil, aku pun pura-pura ke WC agar mengintip barangkali ada yang mendekati meja kerjaku. Namun usahaku kali ini juga nihil, aku pun kembali ke meja kerjaku dengan wajah masam.Â
Keesokan harinya, ada pesan lagi yang tergeletak di atas meja kerjaku. Anehnya, pesan itu tak muncul di waktu biasanya, karena pesan itu muncul di pagi hari. Aku pun semakin bingung karena tak hanya pesan yang tergeletak, di sampingnya ada dua kotak makan dan sebotol air mineral. Aku membaca pesan itu sekilas.
"Nampaknya kemarin kamu tak makan siang, hari ini aku bawakan nasgor dan roti lapis untukmu. Maaf, kalau masakanku tak enak"
Perpustakaan nampak masih sepi, sepertinya belum ada pengunjung yang datang sepagi ini. Aku mengambil kembali kertas berisi pesan itu, aku menatap lama pesan itu.
Perlahan aku membuka kotak makan itu dan mencicipi sepotong roti lapis, aku makan dengan lahap hingga tanpa sadar tiga potong roti sudah ku habiskan.
"Enak juga roti lapisnya" batinku tersenyum.
Aku pun semakin penasaran dengan orang yang selalu mengirimiku pesan, aku ingin memberanikan diri untuk mencoba berbicara dengannya. Satu persatu pengunjung mulai berdatangan, namun tak ada seorang pun yang gerak geriknya nampak mencurigakan.
Hanya rekan kerjaku yang nampak ceriaÂ
menyapa para pengunjung sambil sesekali menggoda para pasangan yang datang ke perpustakaan ini. Rekan kerjaku namanya Livy, berparas manis dan bertutur lembut. Livy baru sebulan bekerja di sini dan kami bekerja berdua saja, namun kami sangat jarang berkomunikasi, bahkan untuk saling menyapa pun sulit sekali.
Hari-hari seterusnya, pesan-pesan itu masih terus muncul di atas meja kerjaku. Aku hanya tersenyum-senyum setiap kali menerima pesan-pesan itu, tanpa sadar aku mulai sering tersenyum. Perlahan aku mulai  merasakan getaran-getaran asmara, aku mulai tertarik dengan sang pengirim pesan misterius itu.
Namun pagi itu, aku tak menemukan pesan-pesan itu yang seperti biasanya tergeletak di atas meja begitu saja, tanpa sadar aku gelisah karenanya. Tak terasa, tiga hari sudah aku tak lagi menerima pesan-pesan misterius itu.
"Selain pesan-pesan bijak dan konyolmu itu, aku juga merindukan kehadiran wujudmu"
Ku tulis pesan itu dan ku letakan di atas meja kerjaku sebelum aku pulang, berharap mendapat balasan keesokan paginya.
Namun usahaku nampaknya sia-sia, pagi ini ku lihat pesanku masih tergeletak tanpa ada balasan apapun. Dengan kesal aku membuang pesanku itu dengan asal ke arah meja Livy. Kekesalanku bertambah tatkala Livy yang sejak kemarin tak masuk kerja karena belum pulih dari sakitnya, di satu sisi aku capek bekerja sendirian tapi di sisi lain aku merasa prihatin juga dengan kondisinya.
Keesokan paginya, Livy sudah kembali bekerja. Wajahnya nampak masih sedikit pucat, ia pun tak banyak bicara seperti biasanya kepada para pengunjung. Aku bahkan melupakan perihal surat-surat misterius itu sejenak, karena aku nampak iba dengan kondisi Livy yang nampaknya belum pulih sepenuhnya.Â
Aku beranjak dari kursiku dan menghampirinya dengan sedikit grogi
"Ehmm Vy, kalau kamu masih sakit nanti kamuÂ
pulang aja pas break makan siang. Biar aku yang gantiin kerjaan kamu sementara waktu"
"Tak apa, keadaanku sudah mulai membaik." Jawabnya sambil tersenyum manis.
"Syukurlah kalau memang begitu" pintaku sambil berbalik kembali ke meja kerjaku.
Singkat cerita, setelah selesai break makan siang aku terkejut menemukan sebuah pesan yang kembali tergeletak lagi di meja kerjaku.
"Terima kasih atas perhatiannya"
Wajahku seketika memerah membaca pesan itu, sontak aku melihat ke arah Livy. Dari seberang, Livy menatapku dalam sambil tersenyum. Ia beranjak dari tempatnya dan melangkah mendekatiku, disodorkannya sebuah kertas padaku.Â
"Nampaknya aku tak hanya berhasil membuatmu tersenyum"Â
Jantungku berdetak kencang seketika, rasanya seisi ruangan perpustakaan seakan mendengarnya. Aku melihat ke arahnya sekilas, Wajahnya yang tadinya pucat kini berseri-seri. Wanita itu hanya tersenyum manis dan berbalik meninggalkanku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H