Menara suar menjulang perkasa di ujung dermaga, angin pantai bertiup perlahan mengiringi langkahku di atas jembatan tua yang masih nampak kokoh.Â
Sudah lama aku tidak menginjakan kaki di tempat ini, selalu ramai bahkan sejak aku masih balita hingga masa remaja.
Aku berjalan perlahan menyusuri jembatan yang sudah dipenuhi para pekerja yang hendak memulai rutinitas pekerjaannya.
Beberapa meter di ujung jembatan, ada bangku kayu tua yang tertancap kokoh di bawah rindangnya pepohonan di tepi pantai.Â
Aku coba beristirahat sejenak di bangku itu sambil memandang sekeliling tempat itu yang sudah agak berbeda dengan bangunan beton modern yang berdiri megah diantara puing-puing bekas bangunan kayu tua yangÂ
dihantam ganasnya ombak.
Tidak jauh dari tempat dudukku ada seorang anak gadis berumur sekitar lima tahun yang sedang bermain pasir sambil bersenandung lembut diselingi derai daun kelapa yang diterpa angin.
Ah...dia sepertiku dahulu, memancing dan berlarian di pantai tak kenal waktu hinggah ibu memanggilku untuk membersihkan diri dan segera makan siang.
Aku beranjak dari dudukku dan menghampiri anak itu yang sedang membereskan alat pancingnya dan hendak pergi.
"Mau kemana dek?"
Anak gadis itu hanya tersenyum dan berlari meninggalkanku.
Aku membatin, wajahnya sangat mirip dengan wanita itu dua puluh lima tahun yang lalu. Apakah mungkin wanita itu sudah menikah dan kembali menetap di sini? Atau, anak itu hanya kebetulan mirip dengannya? Ahh.. ngapain aku bertanya-tanya dalam hati.
Karena masih penasaran, keesokan harinya aku duduk di tempat itu lagi. Menjelang siang hari anak itu muncul dengan dengan pasir pantai di sekujur tubuh hinggah pakaiaanya sambil membawa kulit-kulit kerang yang sengaja dikumpulkannya untuk bermain-main selayaknya anak-anak pesisir pantai.
Aku pun mendekatinya perlahan sambil mengumpulkan kerang-kerangan dan menyodorkannya pada anak itu, dengan tersenyum ia menerimanya dan kami pun menyusuri pantai bersama sambil sesekali bercanda.Â
"Nak, waktunya makan siang" terdengar teriakan lantang seseorang yang sontak membuat aku dan anak itu menengok ke arah asal suara tersebut.Â
Aku pun seketika terperangah saat melihat orang itu yang berdiri sekitar dua puluh lima meter dari tempat kami berdiri, anak itu pun berlari dengan tergesa-gesa ke arah wanita itu yang sengajah mengalihkan pandangannya.
Wanita itu pun buru-buru membawa anak itu pergi menjauh dari tempat itu meninggalkanku yang hanya diam mematung sambil melihat kepergian mereka yang menghilang di balik reuntuhan bengkel kayu tua.
"Maafkan aku" hanya dua kata itu yang terucap dari bibirku dan tak terasa air mataku menetes perlahan, ku usap air mataku yang mulai membasahi pipi dan pergi beranjak dari tempat itu.
Hari-hari berikutnya, aku tidak menemui lagi anak itu bermain-main di tepi pantai. Dengan berbagai pertanyaan yang muncul dalam kepalaku, perlahan ku langkahkan kaki menyusuri pantai hingga tiba di sebuah pohon cemara tua.Â
Aku pun bersandar di pohon itu sambil sesekali memandangi hamparan pasir putih dan birunya lautan, pikiranku tertuju pada kenangan enam tahun silam saat aku meninggalakan tempat ini.
Perusahaan ayahku membeli pulau ini dua puluh lima tahun yang lalu untuk membangun cabang perusahaan perikanan mereka dan ayahku adalah pimpinan di tempat pulau ini saat itu, sehingga ayahku seringkali membawahku ke pulau ini sejak aku berumur tujuh tahun.
Sejak saat itu, aku seringkali ke tempat ini untuk menikmati liburan sekolahku hingga aku lulus SMA.Â
Saat aku berusia lima belas tahun, aku jatuh cinta dengan anak seorang tukang masak di kantor ayahku dan menjalin hubungan asmara dengannya. sejak saat itu aku lebih sering menghabiskan liburan dan akhir pekanku di tempat ini untuk menghabiskan waktu bersama gadis pujaan hatiku.
Hingga saat aku akan pergi jauh meninggalkan tempat ini untuk berkuliah di luar negeri. Malam itu kami berjanji untuk menjaga cinta dan saling percaya untuk menjalani hubungan kami dan di bawah pohon cemara tua kami menyalurkan hasrat kami yang menggebu-gebu hingga dini hari dan berpisah dengan derai air mata.
***
Kini setelah enam tahun berlalu sejak kejadian malam itu, aku masih terus memikirkan kekasihku itu yang mengirimiku surat bawah ia telah meninggalkan tempat ini tiga bulan setelah kepergian ku.
Aku baru menyadari jika gadis kecil yang bermain bersamaku tempo hari adalah hasil benih darah dagingku, aku tak habis pikir berdosanya diriku meninggalkan kekasihku saat itu.
Pikiranku tak karuan membayangkan wanita itu membesarkan anakku selama bertahun-tahun dengan keterbatasan finansialnya, menanggung malu di usia belianya.
Aku terisak membayangkan betapa beratnya hidupnya selama ini, betapa bodohnya aku meninggalkannya saat itu. tak terasa mentari perlahan terbenam, membenamkan segala kesedihanku saat ini.
Aku pun tersadar dan beranjak dari pohon cemara tua itu, tempat yang selalu ku ingat semenjak kepergian ku.
Sepulangnya aku ke kediamanku yang megah, aku hanya memandang ke arah mess sederhana para pekerja melalui jendela kamarku. Aku terus memikirkan wanita itu dan membayangkan betapa tangguhnya ia selama ini yang membanting tulang demi anakku.Â
Aku membatin, "Aku rela mengorbankan reputasiku,Â
meninggalkan jabatanku, tapi apakah ia mau menerimaku kembali?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H