[caption id="attachment_297157" align="alignleft" width="518" caption="(foto/Antara)"][/caption] Latar Belakang
VIVAnews - Jumat,01 Maret 2013, Mahkamah Agung memperberat hukuman Walikota Semarang non aktif Soemarmo Hadi Saputro dari 1,5 tahun penjara menjadi tiga tahun penjara, serta denda Rp50 juta subsider dua bulan penjara. Soemarmo terbukti melakukan tindak pidana korupsi menyuap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota Semarang terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2012.
Artidjo mengatakan alasan dikabulkannya kasasi jaksa karena majelis hakim tingkat pertama salah menerapkan hukum. Pada tingkat pertama, Soemarmo dijerat dengan pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini tidak tepat karena pasal tersebut diberlakukan jika yang disuap adalah pegawai negeri sipil (PNS). Padahal, yang diberi uang oleh Soemarmo adalah anggota DPRD Kota Semarang yang berstatus penyelenggara negara.
"Pengadilan Tipikor salah menerapkan hukum karena perbuatan terdakwa lebih sesuai jika dijerat dengan pasal 5 UU Pemberantasan Tipikor, bukan pasal 13," jelas dia.
ANALISA JURIDIS
Dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pertimbangan majelis hakim agung yang terdiri dari: Artidjo Alkostar (Ketua Majelis Hakim), Askin dan MS Lumme (Anggota Majelis Hakim) adalah bunyi pasal 13 mengenai “kepada Pegawai Negeri”. Untuk itu, perlu dilihat secara lengkap bunyi pasal 13 UU No 31 Tahun 1999:
“Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 150 juta”
Dalam putusan Majelis Perkara yang diketuai oleh Artidjo Alkostar cs, disebutkan bahwa perkara ini lebih tepat memakai Pasal 5 UU No 20 Tahun 2001 yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50 juta dan paling banyak Rp. 250 juta, setiap orang yang : a).memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. b).memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Terlihat dengan jelas bahwa pada pasal 13, UU No 31 tahun 1999 hanya ada kata “kepada pegawai negeri” sedangkan pada pasal 5 ayat 1a dan ayat 1b UU 20 tahun 2001 terdapat kata “kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara”. Melihat sepintas selalu, dapat disimpulkan bahwa pada pasal 13, UU No 31 tahun 1999 yang dituju hanyalah “kepada pegawai negeri” dan bukan “penyelenggara negara”. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa kehadiran UU No 20 Tahun 2001, telah mengurangi jangkauan delik Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 yaitu dari “kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri” menjadi “kepada pegawai negeri” saja. Hal ini berakibat jika seseorang menyuap penyelenggara negara dan deliknya cocok dengan pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 maka penyuap itu harus lepas dari tuntutan hukum karena deliknya tidak diatur dalam UU Tipikor.
Apakah Pasal 13 Hanya Untuk Pegawai Negeri
Untuk lebih memahami hal ini, perlu dilihat secara kronologis lahirnya UU No 28 Tahun 1999, UU No 31 Tahun 1999, dan UU No 20 Tahun 2001.
Definisi “penyelenggara negara” terdapat di Pasal 2, UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bebas KKN. yang berbunyi “Penyelenggara negara meliputi 1. Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara; 2. Pejabat negara pada lembaga tinggi negara; 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Definisi Pegawai Negeri pada UU No 31 Tahun 1999 terdapat pada pasal 1 Ayat 2 yang berbunyi: Pegawai Negeri meliputi a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UU tentang kepegawaian; b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP; c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan keuangan negara atau daerah; atau e.orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal dan fasilitas dari negara atau masyarakat.
Dari kedua definisi di atas, nampaklah bahwa definisi “pegawai negeri” dalam UU No 31 tahun 1999 hanya melihat dari aspek upah atau gaji, sedangkan definisi “penyelenggara negara” yang didefinisikan di butir 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 di Pasal 2 UU No 28 Tahun 1999, dipastikan tercakup dalam definisi “pegawai negeri” UU No 31 Tahun 1999. Untuk lebih jelasnya, lihat Penjelasan Pasal 2 butir 6 dan 7 UU No 28 Tahun 1999, dimana semua jabatan yang disebutkan adalah jabatan yang menerima upah/gaji dari keuangan negara atau keuangan daerah.
Dalam UU No 20 Tahun 2001, seluruh pasal-pasal yang menyebutkan “kepada pegawai negeri” ditambahkan “kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara”. Maka semangat yang terkandung dari UU No 20 tahun 2001 adalah memperluas jangkauan dari definisi “pegawai negeri” yang hanya melihat dari sisi upah, menjadi “pegawai negeri atau penyelenggara negera” dari sisi mendapat upah dan tidak mendapat upah namun terlibat dalam urusan negara. Penulis terpikir pada staff ahli atau staff khusus yang tidak menerima upah/gaji dari semua tingkat, mulai dari perangkat kelurahan, sampai dengan perangkat kepresidenan atau perangkat MPR.
Namun jika melihat pasal 2 UU No 28 Tahun 1999 dan penjelasannya maka seluruh penyelenggara negara yang dimaksud juga menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah sehingga sebenarnya jangkauan “pegawai negeri” di pasal 1 Ayat 2 UU No 31 Tahun 1999 sudah cukup untuk menjerat penyelenggara negara dalm UU No 28 Tahun 1999.
Pada perkara suap, maka selalu ada dua pihak, pihak pemberi (aktif) dan pihak penerima (pasif). Pasangan ini tercermin pada pasal-pasal yang dipakai dalam perkara-perkara suap, misalnya untuk pihak pemberi suap, dikenakan pasal 5.1. sedangkan pihak penerima suap dikenakan pasal 5.2 atau Pasal 12. Sedangkan untuk pemberi suap pasal 13, penerimanya adalah Pasal 11. Oleh karena itu, perlu kiranya memperbandingkan Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 dan Pasal 11 UU No 20 Tahun 2001.
PEMBERI SUAP Pasal 13: “Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 150 juta”
PENERIMA SUAP Pasal 11: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50 juta dan paling banyak Rp. 250 juta, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui dan patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pada pasal 13 diatas, disebutkan “kepada pegawai negeri” dan pada pasal 11 disebutkan “kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara”. Ini berarti jangkauan pasal 11 lebih luas dari pasal 13, oleh karenanya dengan melihat semangat itu, maka pasal 13 seharusnya juga direvisi menjadi “kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara” atau jika belum direvisi maka JANGAKAUANNYA TIDAK BISA DIKURANGI dan harus tetap mengacu pada Pasal 1 ayat 2 UU No 31 Tahun 1999, dimana semua orang yang mendapat upah atau gaji dari keuangan negara atau keuangan daerah haruslah termasuk dalam jangkauan delik ini.
Perkara Suap Walikota Semarang
Pada perkara ini, Walikota Semarang Soemarmo Hadi Saputro didakwa menyuap Anggota DPRD Kota Semarang, dan dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara dan denda 50 Juta berdasarkan pelanggaran pasal 13 UU No 31 Tahun 1999. Pada tingkat banding, hukuman ini dikuatkan dan pada tingkat kasasi, majelis hakim Artidjo Alkostar, Askin, dan MS Lumme memutuskan bahwa perkara lebih tepat diterapkan dengan pasal 5.1.a, UU No 20 Tahun 2001, sehingga hukuman pun ditingkatkan menjadi 3 tahun dan denda 50 Juta. Alasan dari perubahan pasal, dari pasal 13 ke pasal 5, disebabkan karena Anggota DPRD adalah penyelenggara negara menurut Pasal 2, UU No 28 Tahun 1999, dimana dalam pasal itu tidak disebutkan anggota dprd adalah penyelenggara negara, namun mungkin majelis hakim mengaitkan dengan pasal 1 yang berbunyi “dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan 1. Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif.
Jika Artidjo Alkostar cs memegang teguh pendapat bahwa anggota DPRD tersebut adalah penyelenggara negara dan pasal 13 diperuntukkan hanya untuk pegawai negeri, maka seharusnya majelis hakim membebaskan terdakwa, karena unsur “kepada pegawai negeri” tidak terpenuhi, bukan malah melarikan perkara ke pasal 5 ayat 1.a, karena delik pasal 5 ayat 1.a bukan bertitik tolak pada “kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara”, tapi perbuatan melawan hukumnya adalah “bertentangan dengan kewajiban”.
Jika berpegang pada definisi pegawai negeri pada pasal 1 ayat 2 butir c, dimana dikatakan pegawai negeri adalah orang yang mendapat gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah, maka cukup dipertanyakan apakah anggota dprd yang disuap tersebut mendapat gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah. Di dalam persidangan, dapat dibuktikan bahwa anggota dprd mendapat gaji atau upah dari keuangan daerah, maka unsur “kepada pegawai negeri” dalam pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 seharusnya dapat diterapkan padaperkara ini.
Dapat disimpulkan, pendapat Majelis hakim yang terdiri dari Artidjo Alkostar, Askin, dan MS Lumme bahwa Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 hanya untuk pegawai negeri dan bukan untuk penyelenggara negara, tidak dapat dibenarkan, sehingga putusan hakim agung dalam perkara ini sangat layak untuk diadakan Peninjauan Kembali (PK).
Jakarta, 25 Oktober 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H