Mohon tunggu...
Justice Divine 2013
Justice Divine 2013 Mohon Tunggu... -

Keadilan adalah hak bagi setiap mahluk hidup, maka tugas kami adalah mengkritisi penegak hukum agar bertindak berdasarkan hukum. Tiada yang lebih penting dalam hidup ini selain KEBENARAN, tiada lain selain KEBENARAN.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Putusan Artidjo Alkostar Mengenai Pasal 13 dan Pasal 5 Terhadap Perkara Walikota Semarang Soemarmo Hadi Saputro

25 Oktober 2013   23:56 Diperbarui: 4 April 2017   16:29 2631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1382752866439241654

Untuk lebih memahami hal ini, perlu dilihat secara kronologis lahirnya UU No 28 Tahun 1999, UU No 31 Tahun 1999, dan UU No 20 Tahun 2001.

Definisi “penyelenggara negara” terdapat di Pasal 2, UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bebas KKN. yang berbunyi “Penyelenggara negara meliputi 1. Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara; 2. Pejabat negara pada lembaga tinggi negara; 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Definisi Pegawai Negeri pada UU No 31 Tahun 1999 terdapat pada pasal 1 Ayat 2 yang berbunyi: Pegawai Negeri meliputi a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UU tentang kepegawaian; b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP; c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan keuangan negara atau daerah; atau e.orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal dan fasilitas dari negara atau masyarakat.

Dari kedua definisi di atas, nampaklah bahwa definisi “pegawai negeri” dalam UU No 31 tahun 1999 hanya melihat dari aspek upah atau gaji, sedangkan definisi “penyelenggara negara” yang didefinisikan di butir 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 di Pasal 2 UU No 28 Tahun 1999, dipastikan tercakup dalam definisi “pegawai negeri” UU No 31 Tahun 1999. Untuk lebih jelasnya, lihat Penjelasan Pasal 2 butir 6 dan 7 UU No 28 Tahun 1999, dimana semua jabatan yang disebutkan adalah jabatan yang menerima upah/gaji dari keuangan negara atau keuangan daerah.

Dalam UU No 20 Tahun 2001, seluruh pasal-pasal yang menyebutkan “kepada pegawai negeri”  ditambahkan “kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara”. Maka semangat yang terkandung dari UU No 20 tahun 2001 adalah memperluas jangkauan dari definisi “pegawai negeri” yang hanya melihat dari sisi upah, menjadi “pegawai negeri atau penyelenggara negera” dari sisi mendapat upah dan tidak mendapat upah namun terlibat dalam urusan negara. Penulis terpikir pada staff ahli atau staff khusus yang tidak menerima upah/gaji dari semua tingkat, mulai dari perangkat kelurahan, sampai dengan perangkat kepresidenan atau perangkat MPR.

Namun jika melihat pasal 2 UU No 28 Tahun 1999 dan penjelasannya maka seluruh penyelenggara negara yang dimaksud juga menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah sehingga sebenarnya jangkauan “pegawai negeri” di pasal 1 Ayat 2 UU No 31 Tahun 1999 sudah cukup untuk menjerat penyelenggara negara dalm UU No 28 Tahun 1999.

Pada perkara suap, maka selalu ada dua pihak, pihak pemberi (aktif) dan pihak penerima (pasif). Pasangan ini tercermin pada pasal-pasal yang dipakai dalam perkara-perkara suap, misalnya untuk pihak pemberi suap, dikenakan pasal 5.1. sedangkan pihak penerima suap dikenakan pasal 5.2 atau Pasal 12.  Sedangkan untuk pemberi suap pasal 13, penerimanya adalah Pasal 11. Oleh karena itu, perlu kiranya memperbandingkan Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 dan Pasal 11 UU No 20 Tahun 2001.

PEMBERI SUAP Pasal 13: “Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 150 juta”

PENERIMA SUAP Pasal 11: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50 juta dan paling banyak Rp. 250 juta, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui dan patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Pada pasal 13 diatas, disebutkan “kepada pegawai negeri” dan pada pasal 11 disebutkan “kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara”. Ini berarti jangkauan pasal 11 lebih luas dari pasal 13, oleh karenanya dengan melihat semangat itu, maka pasal 13 seharusnya juga direvisi menjadi “kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara” atau jika belum direvisi maka JANGAKAUANNYA TIDAK BISA DIKURANGI dan harus tetap mengacu pada Pasal 1 ayat 2 UU No 31 Tahun 1999, dimana semua orang yang mendapat upah atau gaji dari keuangan negara atau keuangan daerah haruslah termasuk dalam jangkauan delik ini.

Perkara Suap Walikota Semarang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun