Mohon tunggu...
Justice Divine 2013
Justice Divine 2013 Mohon Tunggu... -

Keadilan adalah hak bagi setiap mahluk hidup, maka tugas kami adalah mengkritisi penegak hukum agar bertindak berdasarkan hukum. Tiada yang lebih penting dalam hidup ini selain KEBENARAN, tiada lain selain KEBENARAN.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Putusan Artidjo Alkostar Mengenai Pasal 13 dan Pasal 5 Terhadap Perkara Walikota Semarang Soemarmo Hadi Saputro

25 Oktober 2013   23:56 Diperbarui: 4 April 2017   16:29 2631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada perkara ini, Walikota Semarang Soemarmo Hadi Saputro didakwa menyuap Anggota DPRD Kota Semarang, dan dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara dan denda 50 Juta berdasarkan pelanggaran pasal 13 UU No 31 Tahun 1999. Pada tingkat banding, hukuman ini dikuatkan dan pada tingkat kasasi, majelis hakim Artidjo Alkostar, Askin, dan MS Lumme memutuskan bahwa perkara lebih tepat diterapkan dengan pasal 5.1.a, UU No 20 Tahun 2001, sehingga hukuman pun ditingkatkan menjadi 3 tahun dan denda 50 Juta. Alasan dari perubahan pasal, dari pasal 13 ke pasal 5, disebabkan karena Anggota DPRD adalah penyelenggara negara menurut Pasal 2, UU No 28 Tahun 1999, dimana dalam pasal itu tidak disebutkan anggota dprd adalah penyelenggara negara, namun mungkin majelis hakim mengaitkan dengan pasal 1 yang berbunyi “dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan 1. Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif.

Jika Artidjo Alkostar cs memegang teguh pendapat bahwa anggota DPRD tersebut adalah penyelenggara negara dan pasal 13 diperuntukkan hanya untuk pegawai negeri, maka seharusnya majelis hakim membebaskan terdakwa, karena unsur “kepada pegawai negeri” tidak terpenuhi, bukan malah melarikan perkara ke pasal 5 ayat 1.a, karena delik  pasal 5 ayat 1.a bukan bertitik tolak pada “kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara”, tapi perbuatan melawan hukumnya adalah “bertentangan dengan kewajiban”.

Jika berpegang pada definisi pegawai negeri pada pasal 1 ayat 2 butir c, dimana dikatakan pegawai negeri adalah orang yang mendapat gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah, maka cukup dipertanyakan apakah anggota dprd yang disuap tersebut mendapat gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah. Di dalam persidangan, dapat dibuktikan bahwa anggota dprd mendapat gaji atau upah dari keuangan daerah, maka unsur “kepada pegawai negeri” dalam pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 seharusnya dapat diterapkan padaperkara ini.

Dapat disimpulkan, pendapat Majelis hakim yang terdiri dari Artidjo Alkostar, Askin, dan MS Lumme bahwa Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 hanya untuk pegawai negeri dan bukan untuk penyelenggara negara, tidak dapat dibenarkan, sehingga putusan hakim agung dalam perkara ini sangat layak untuk diadakan Peninjauan Kembali (PK).

Jakarta, 25 Oktober 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun