Mohon tunggu...
Andia Musfira
Andia Musfira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Topik tulisan terkait pemerintahan, manajemen kebencanaan, hukum administrasi negara, hukum kedaruratan, hukum kebencanaan, dan persoalan pendidikan di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jaminan Pelindungan bagi Perempuan dan Anak di Tempat Pengungsian

6 Juni 2023   11:04 Diperbarui: 6 Juni 2023   12:11 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2022, Indonesia mengalami 3.544 bencana alam. Akibatnya, 858 korban meninggal dunia, 8.733 korban luka-luka, 37 orang dinyatakan hilang, dan 6.144.534 korban terdampak dan mengungsi.[1] Dengan demikian, dapat dilihat bahwa terdapat kurang lebih dari 6 juta individu yang terpaksa meninggalkan rumah atau tempat tinggal mereka karena suatu keadaan yang diakibatkan oleh bencana tersebut. Banyak dari mereka yang akhirnya memilih mengungsi ke tempat pengungsian, baik yang disediakan oleh pemerintah, maupun yang dibangun secara sukarela oleh komunitas masyarakat daerah setempat.

Kehidupan di tempat pengungsian tentu saja tidak senyaman sebagaimana dengan tinggal di tempat tinggal atau rumah sendiri. Seperti yang kita ketahui bersama, tempat pengungsian seringkali berlokasi di lapangan terbuka, bangunan sekolah, bahkan tempat ibadah. Selain itu, mereka harus berbagi tempat tidur dengan pengungsi lainnya sehingga dalam 1 (satu) tenda pengunsian yang idealnya ditempato oleh 1 (satu) atau 2 (dua) kepala keluarga saja, seringkali diisi oleh 3 (tiga) sampai 5 (lima) kepala keluarga, atau belasan hingga puluhan orang. Bahkan pengungsi yang berlokasi di suatu bangunan sekolah atau masjid, tidak bernasib lebih baik, dimana puluhan hingga ratusan orang beristirahat atau tidur di dalam 1 (satu) ruangan yang sama. Artinya, baik itu laki-laki, perempuan, bayi, hingga lansia, semuanya berkumpul dalam satu tempat tanpa sekat pembatas. Karena kondisi tersebut, tidak heran kemudian apabila biasa terdengar adanya diskriminasi, kekerasan, bahkan pelecehan yang terjadi di tempat pengungsian. Dengan kejadian tersebut, lantas sudah sejauh mana usaha Pemerintah dalam menjamin perlindungan masyarakat di tempat pengungsian, khususnya bagi anak-anak dan perempuan?

Perempuan dan anak-anak merupakan salah dua dari kelompok masyarakat rentan yang paling sering menjadi korban baik itu pelecehan atau kekerasan seksual, pemerkosaan, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), bahkan hingga perkawinan anak. Sebagai gambaran, berdasarkan temuan oleh tim Penilaian Cepat Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di Masa Darurat di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah pada November 2019 hingga Januari 2019, terdapat total 57 kasus yang terjadi di 10 tempat pengungsian, yang meliputi 31 kasus KDRT, 8 kasus perkosaan, 12 kasus pelecehan seksual, 5 kasus eksploitasi seksual, dan 1 kasus kekerasan berbasis gender.[2] Salah satu alasan paling klise mengenai mengapa hal-hal tersebut sering terjadi ialah, kondisi tempat pengungsian yang belum berbasis gender sehingga kurangnya privasi yang dimiliki oleh individu. Mulai dari ruangan yang tidak bersekat, hingga kamar mandi atau toilet umum yang tidak memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Belum lagi kondisi kamar mandi darurat yang dibangun secara seadanya menambah kesempatan bagi oknum-oknum pelaku pelecehan seksual melancarkan aksinya. Oleh sebab itu, Pemerintah harus mulai menyadari pentingnya tempat pengungsian yang berbasis gender dan ramah terhadap perempuan dan anak.

Pada dasarnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan panduan dasar untuk penanganan pengungsi internal melalui Komisi Hak Asasi Manusia mereka, yakni Guiding Principle on Internal Displacement yang dikeluarkan pada tahun 1998. Didalamnya, diatur mengenai prinsip-prinsip dasar dalam pemenuhan dan perlindungan hak-hak pengungsi, termasuk pengungsi akibat bencana alam. Dalam panduan tersebut, dijelaskan bahwa otoritas nasional memiliki tugas dan tanggung jawab utama untuk memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan untuk pengungsi internal yang berada di dalam wilayah yurisdiksi mereka.[3] Dengan demikian, segala hal yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan serta perlindungan pengungsi, merupakan tanggung jawab Pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, baik secara langsung atau melalui lembaga-lembaga khusus terkait.

Selanjutnya, dalam panduan tersebut juga dijelaskan, bahwa untuk pengungsi tertentu seperti anak, khususnya anak dibawah umur yang tidak memiliki pendamping, ibu hamil, ibu dengan anak kecil, perempuan kepala rumah tangga, penyandang disabilitas, dan lansia, harus diberikan perlindungan, pendampingan, serta perlakuan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi khusus mereka.[4] Kemudian, para pengungsi juga harus dilindungi dari segala tindakan;[5] (a) pemerkosaan, mutilasi, penganiayaan, kekerasan, hukuman atau perlakuan yang merendahkan atau tidak manusiawi, dan segala penghinaan terhadap martabat pribadi, seperti kekerasan terhadap gender tertentu, kegiatan prostitusi, dan segala bentuk tindakan tidak senonoh atau pelecehan lainnya; (b) perbudakan atau segala bentuk kontemporer dari perbudakan, seperti dijual untuk dinikahkan, eksploitasi seksual, atau anak-anak yang dipaksa untuk bekerja. Dengan demikian, apabila panduan prinsip-prinsip dalam penanganan pengungsin internal untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan perempuan dan anak di tempat pengungsian sudah diatur secara internasional, bagaimana kemudian prinsip itu diadopsi atau diterapkan secara nasional atau domestik?

Di Indonesia sendiri, payung hukum dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UUPB). Dalam Pasal 6 UUPB disebutkan mengenai tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana yang salah satunya adalah penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimun.[6] Adapun mengenai apa yang dimaksud dengan 'standar pelayanan minimum' yang dimaksud, tidak dijelaskan lebih lanjut dalam peraturan tersebut maupun peraturan turunannya. Tidak diperjelas apakah standar minimum yang dimaksud itu mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 101 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Sub-Urusan Bencana Daerah Kabupaten/Kota. Walaupun standar yang dimaksud merujuk pada Permendagri tersebut, nampaknya belum menjamin pemenuhan dan perlindungan bagi pengungsi khususnya pengungsi perempuan dan anak. Permendagri tersebut sebatas mengatur tentang jenis pelayanan dasar yang meliputi pelayanan informasi rawan bencana, pelayanan pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap bencana, dan pelayanan penyelamatan dan evakuasi korban.[7]

Standar pelayanan minimum dalam penanganan pengungsi sebenarnya juga diatur dalam Guiding Principle on Internal Displacement 1998. Pada principle 18 ditentukan bahwa semua pengungsi internal memiliki hak atas standar kehidupan yang layak. Setidaknya, dalam situasi apapun, dan tanpa diskriminasi, pemerintah harus menjamin pengungsi dapat memiliki akses terhadap; makanan pokok dan air minum, tempat penampungan dan perumahan, pakaian yang layak, serta pelayanan medis dan sanitasi. Selain itu, pemerintah juga harus menjamin partisipasi penuh perempuan dalam perencanaan dan distribusi kebutuhan dasar.[8] Sayangnya, prinsip ini belum tertuang secara eksplisit dalam UUPB maupun Permendagri tersebut.

Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam UUPB maupun Permendagri, tetapi dalam Pasal 13 UUPB menjelaskan bahwa BNPB selaku lembaga penanggung jawab utama dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana memiliki fungsi untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi.[9] Oleh sebab itu, maka diterbitkanlah Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Perka BNPB) No. 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Pemberian Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar. 

Alih-alih mengatur tentang standar pelayanan minimal, PerKa tersebut lebih spesifik mengatur tentang standar minimal bantuan, mulai dari bantuan tempat penampungan/hunian sementara, bantuan pangan, bantuan non pangan, bantuan sandang, bantuan air bersih dan sanitasi, dan bantuan pelayanan kesehatan.[10] Apabila dicermati, panduan tersebut juga belum dapat menjamin perlindungan perempuan dan anak di tempat pengungsian, khususnya terhadap tindakan-tindakan kekerasan maupun pelecehan. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa dalam kerangka hukum penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia, belum memberikan jaminan kepastian terhadap perlindungan perempuan dan anak di tempat pengungsian.

Melihat bagaimana rentannya perempuan dan anak mengalami pelecehan hingga kekerasan di tempat pengungsian, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (Kemen PPPA) akhirnya mengeluarkan beberapa kebijakan terkait persoalan tersebut, yakni Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak dan Peraturan Menteri PPPA No. 13 Tahun 2020 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender dalam Situasi Bencana. Dengan adanya PP dan Permen tersebut, pemenuhan hak serta perlindungan terhadap perempuan dan anak di tempat pengungsian lebih komperhensif sehingga dalam tataran normatif sudah sangat memadai.

Perjalanan untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan perempuan dan anak di tempat pengungsian bukanlah perjalanan yang mudah dan tidak dalam waktu yang singkat. Berapa banyak perempuan dan anak yang menjadi korban pelecehan dan kekerasan di tempat pengungsian sebelum akhirnya Pemerintah menyadari pentingnya untuk membuat suatu aturan untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan mereka. Padahal, fenomena bencana yang mengharuskan masyarakat untuk berlindung di tempat pengungsian bukanlah fenomena baru. Tempat pengungsian yang seharusnya memberikan keamanan dan perlindungan selama keadaan bencana, justru menyimpan ancaman yang tidak kalah berbahayanya bagi keamanan perempuan dan anak itu sendiri.

Setelah pemenuhan hak dan perlindungan bagi perempuan dan anak terhadap pelecehan maupun kekerasan di tempat pengungsia sudah terjamin dalam peraturan perundang-undangan, kini saatnya Pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait memastikan ketentuan dalam peraturan-peraturan tersebut dapat diimplementasikan secara maksimal di lapangan. Bagaimanapun, di situasi yang tidak menentu seperti bencana yang mana masyarakat dilanda kepanikan juga kebingungan, Pemerintah harus hadir untuk untuk mengendalikan situasi tersebut agar tidak menimbulkan lebih banyak korban. Termasuk dalam hal menjamin perlindungan perempuan dan anak yang dalam situasi darurat kondisinya lebih rentan dibandingkan saat situasi normal. Oleh sebab itu, sinergi antar lembaga pemerintah beserta lembaga masyarakat sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan penanggulangan bencana agar setiap masyarakat dapat terjamin pemenuhan dan perlindungan hak-haknya, khususnya kelompok-kelompok rentan seperti perempuan dan anak. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun