Mohon tunggu...
Chantiq Jelita
Chantiq Jelita Mohon Tunggu... Relawan - PNS biasa di Sumatera Utara.

PNS biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Berburu "LIKE" dan "SUBSCRIBE" dalam Perspektif Ekonomi Politik Media

11 Juli 2022   12:24 Diperbarui: 18 Juli 2022   11:22 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penggunaan sarana komunikasi saat ini telah berkembang begitu pesat seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi, dimana kita disajikan kepada banyak pilihan untuk dapat membagi/mengambil informasi baik melalui media konvensional seperti media cetak maupun media elektronik dan yang paling berkembang adalah media sosial seperti Facebook, Tiktok, Youtube, Twitter, Instagram dan sebagainya., karena memungkinkan orang untuk membuat web page pribadi, yang dapat terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi dan berkomunikasi.

Akhir-akhir ini muncul fenomena yang cukup mencolok di tengah masyarakat pengguna media sosial atau yang sering juga disebut sebagai 'netizen', yang mana saat memposting sesuatu atau membuat konten di media sosial, yang bersangkutan sangat mengharapkan respon dari netizen berupa 'like' dan komentar. 

Respon ini memberi pengaruh yang besar bagi si pembuat konten baik secara fisik maupun non fisik. Postingan atau konten yang tidak atau sedikit mendapat respon, baik itu berupa acungan jempol atau subscribe,  dianggap buruk atau gagal.

Psychological Science dalam ulasannya yang mengacu pada studi The Power of the Like in Adolescence: Effects of Peer Influence on Neural and Behavioral Responses to Social Media (2016), mengibaratkan kondisi mencari likes atau komentar setara dengan aktivitas memakan cokelat atau dapat uang. 

Saat orang mendapatkan likes pada media sosial dapat memunculkan hormon dopamin dan membikin ketagihan. Dopamin adalah hormon yang bertanggung jawab terhadap rasa gembira, jatuh cinta, dan percaya diri. Sistem dopamin yang kuat mempengaruhi perilaku individu menjadi lebih bersemangat. 

Pada pembuluh darah, hormon ini bertugas menjadi vasodilator (melebarkan pembuluh darah) sehingga melancarkan peredaran oksigen dalam darah. Ia juga melancarkan pengeluaran natrium pada sistem pembuangan air kecil dan mempengaruhi fungsi sistem pencernaan serta imunitas tubuh.

(Sumber gambar: mobile.twitter.com)
(Sumber gambar: mobile.twitter.com)

Bisa jadi hal ini yang mendorong banyak orang sekarang ini terkesan sangat mendambakan 'like' ataupun komentar atas setiap konten yang dibagikannya di media sosial. 

Di samping itu, dengan kecenderungan semakin populernya media sosial seperti Youtube, membuat perburuan akan like, dan subscibe menjadi semacam keharusan dari setiap konten yang dibagikan. 

Konten yang mendapatkan banyak 'like' atau komentar dianggap bagus, hebat dan bisa mendatangkan banyak keuntungan apakah itu kepopuleran ataupun materi. Dan pemilik akun atau pembuat konten merasa eksis, merasa diakui keberadaannya dan kemudian menjadi seleb alias selebrit bak artis ternama.

Ditilik dari perspektif teori Ekonomi Politik Media, fenomena ini merupakan bentuk komodifikasi yang dilakukan oleh media massa. Jumlah 'like' , 'subscribe' dan 'comment'  ataupun respon lain yang didapat dalam sebuah postingan, akan memberikan keuntungan finansial bagi pemilik akun. Nilai ekonomi yang dihasilkan dari respon netizen ini bisa mencapai angka jutaan rupiah. 

Raffi Ahmad misalnya, salah satu pemilik akun media sosial YouTube alias Youtuber yang memiliki jumlah subscribers 22,4 juta dengan jumlah viewers (akumulatif) 4,8 miliar, bisa mendapatkan penghasilan sampai 9 miliar per bulannya dari video-video yang dibuatnya (sumber: dewaweb.com). 

Atau lihatlah Rachel Vennya, selebgram yang memiliki jumlah followers 6,9 juta, sebagaimana dikutip dari suara.com, bahkan bisa memasang tarif 8,5 juta rupiah untuk setiap kali take video. Semakin banyak pengikut ataupun penonton video maka semakin besarlah penghasilan sang pemilik akun. 

Tak heran jika banyak orang kemudian berlomba-lomba berburu ‘like’, ‘subscribe’ ataupun komentar pada konten yang ditayangkannya. Bahkan demi ‘like’ dan ‘subscribe’, tidak sedikit yang kemudian bukannya membuat konten yang menarik dan bermanfaat, namun malah memposting konten yang tidak masuk akal ataupun sensasional bahkan kontroversial demi mendapatkan status ‘viral’ yang tentu menjadikannya banyak diperbincangkan, selebritis, terkenal, diundang tampil di berbagai stasiun TV, dan kemudian mendatangkan banyak cuan pula.

Rachel Vennya (Instagram)
Rachel Vennya (Instagram)
Media massa memiliki power yang demikian besar dalam proses komodifikasi ini. Reaksi yang diberikan oleh netizen memiliki nilai ekonomi yang menjadi sumber penghasilan bagi pemilik akun. 

Dari perspektif Teori Ekonomi Politik Media, kondisi ini tentunya menguntungkan, dengan terbentuknya masyarakat yang semakin menginginkan konten yang menarik dan kemudian memberikan respon, dan kemudian mendorong pemilik akun untuk menghasilkan konten yang beragam dan menarik pula. 

Perputaran ekonomi terjadi sangat intens di sini. Pada akhirnya media  yang terlibat di dalamnya akan meraup keuntungan pula. Dan tentu saja pemilik modal berada di balik perusahaan media tersebut akan berupaya untuk terus mengkondisikan masyarakat yang mengagungkan eksistensi di media sosial. 

Sedemikian rupa media memproduksi makna, bahwa orang sukses adalah orang yang eksis dan terkenal di media sosial.   

Tentang Ekonomi Politik Media

Ekonomi politik media terkait dengan masalah kapital atau modal dari para investor yang bergerak dalam industri media. 

Para pemilik modal menjadikan media sebagai usaha untuk meraih untung, dimana keuntungan tersebut diinvestasikan kembali untuk pengembangan medianya. Sehingga pengakumulasian keuntungan itu, menyebabkan kepemilikan media semakin besar. 

Dalam menjalankan media, investor mempekerjakan karyawan untuk menghasilkan produk media. Untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana media memproduksi konten, membentuk makna serta mendistribusikan sehingga bernilai ekonomis.

Teori ekonomi politik memiliki kekuatan pada tiga hal yaitu berfokus pada bagaimana media dibangun dan dikendalikan, menawarkan penyelidikan empiris mengenai keuangan media, dan mencari hubungan antara proses produksi konten media dan keuangan media (Barant, 2010:263). 

Teori ekonomi politik bersifat kritis, dimana teori ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang segala sesuai dan menyediakan cara-cara pengganti untuk menafsirkan peran sosial media. (Barant,2010:252). 

Teori ekonomi politik bersifat kritis, dimana teori ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang segala sesuai dan menyediakan cara-cara pengganti untuk menafsirkan peran sosial media. (Barant,2010:252).

Pasar Bisnis Media

Memasuki era modern, media massa telah memasuki era industri atau telah menjadi institusi ekonomi. Ciri dari era industrialisasi adalah adanya kebutuhan modal yang cukup besar untuk mendirikan dan mengelola bisnis media massa. 

Menurut McQuail (2011:245) media semakin menjadi industri tanpa meninggalkan bentuknya sebagai institusi masyarakat; dan pemahaman tentang prinsip-prinsip utama struktur dan dinamika media menuntut analisis ekonomi, selain politik dan budaya.

Meski media tumbuh sebagai respons terhadap kebutuhan sosial dan budaya individu dan masyarakat, media pada umumnya dikelola sebagai perusahaan bisnis. Karena itu, maka pengelolaan media massa membutuhkan modal. Menurut Vivian (2008:20), mendirikan dan mengoperasikan media massa butuh biaya mahal. 

Peralatan dan fasilitas membutuhkan investasi besar. Media massa beroperasi dalam lingkungan kapitalistis.  Tentu saja, mereka berusaha mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Kebijakan pemberitaan suatu media tidak terlepas dari kepentingan pemilik dan ekonomi politik media yang ditempuhnya. Sehingga sangat dimaklumi, bila media saat ini mengalami komersialisasi yang luar biasa. 

Media menempatkan audience semata-mata hanya dilihat sebagai pasar, bukan warga negara (citizens). Tujuan utama dari dibentuknya media adalah meraih keuntungan untuk pemilik dan para pemangku kepentingan lainnya. 

Dengan demikian fungsi media sebagai penyampai beragam gagasan-gagasan, informasi, pendidikan, dan integrasi sosial yang merupakan inti dari ketersediaan ruang publik, semakin terkesampingkan dengan kepentingan komersialisasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun