"Mmhh... bolehlah, mari kulihat!" Ah.. kukira ia mau memperlihatkan foto bu gurunya itu.
**** Di ranjang Aku memeluk bantal Melihat kawan Dari balik bulan Bulan cantik Bulan terjal Entah kenapa Bagus di mata teman Hilang di penglihatan Tautkan salju di gurun–dee, filosofi kopi Tautkan kebebasan selayaknya rantai pengikat– Kubebaskan otak menjalin kata-kata personal Kugoreskan mantra dalam ikatan hitam Di mataku bulan sudah lenyap luruh Bulan tak secantik awan Atau bintik-bintik kejatuhan hujan Atau pelangi berpendar bercengkerama mentari ****
"Ah...  Indah sekali puisimu! makin menyempurnakan hariku!"
"Makasih mas, Oiya Erlinda duluan ya, bel sekolah sudah hampir berbunyi rasanya"
"Okeylah... belajar yang semangat ya! demi masa depan Negeri ini, mana tahu suatu saat nanti kelak kau bisa menjadi sosok seperti Sri Mulyani!"
"hehehehe... " senyum manisnya mengantarkan ke penghujung obrolan manis kami pagi itu, sementara itu aku tetap melanjutkan perjalanan menuju pinggir desa dimana ladangku berada.
****
"Hah! Apa-apan ini!" setengah tak percaya tak percaya aku melihat ladangku dalam keadaan rusak parah, bedenganku? pagarku? kerjaan siapa ini? apa jangan-jangan ada binatang yang masuk kedalam ladangku dan merusaknya? Tapi kenapa banyak bekas pecahan dari benda-benda elektronik? lhoh kok malah ada keyboard?!
Aneh?! .
Pagi ini hanya menyisakan tanda tanya dikepalaku. Sementara matahari pagi sepertinya tersenyum tampak seolah menyembunyikan sesuatu, menyembunyikan kabar yang yang diceriterakan rembulan tentang kejadian semalam, kejadian yang hanya milik mereka berdua.
****