Bodohh...
Andai saja tak kuturuti sahwatku
Terbujuk buai manis prasangka yang ternyata kusadari itu adalah bahasa penyesalanku
Melarutku dalam hening sesaat yang tak lagi menggoda
Dan tersentak dalam nanar, kudapati aku hanyalah selir dari nafsu bejatku sendiri!
****
Sial!
Kupecahkan kaca pun tak lagi guna
Kumaki bayang pun justru ia lebih berbahagia ketimbang diriku
Seakan makianku terdengar bagaikan lantunan ode yang memuja dirinya
Ya... ia lebih bahagia lantaran tak bisa mendengar
Memang takdirnya atau hanya peruntungan belaka?
Dan akulah yang menelan sial itu mentah-mentah
Hingga kudapati diriku tak ubahnya sesosok durjana yang terus meratap
***
Argghhhh....
Suara itu masih saja memburuku
Seakan tak puasnya ia menelanjangiku
Dan mengusung dalam keranda yang tak terbungkus
***
Apalagi yang kau mau!
Takkah kau lihat aku sudah kalah!
berdiri diatas genangan darah dan telinga yang telah kukebiri
Mengapa suara itu masih saja kudengar!
Hentikan!
Aku tak mau lagi mendengar
Aku tak mau lagi
Tak mau
Lagi
***
Jakarta 18 Oktober 2010
Salam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H