Pelopor ecommercedunia, Amazon berhasil menembus predikat keramat perusahaan dengan kapitalisasi pasar 1 triliun dolar. Status sebagai penghuni teritori perusahaan 1 triliun dolar mungkin juga akan dicapai oleh perusahaan-perusahaan lain. Namun Amazon melakukan pencapaian mengagumkan. Amazon hanya butuh 24 tahun untuk mencapai angka keramat itu.Â
Cengkraman bisnis Amazon yang mulai merambah ke berbagai sektor di luar ritel online, mengingatkan kita pada hikayat Raja Midas dalam mitologi Yunani. Midas Mampu mengubah apapun yang ia sentuh menjadi emas. Sentuhan Amazon adalah kisah digital paradise(firdaus digital) di masa kini.Â
Pencapaian Amazon mengindikasikan betapa memukau pertumbuhan sang retailer online terbesar di dunia. Amazon berselancar di atas gelombang digital paradise. Dari toko buku online, Amazon menjelma menjadi pabrik keuntungan. Sumber pundi-pundi uang bagi pemiliknya. Performa Amazon menunjukkan trend yang terus menanjak.
Capaian prestisius Amazon menyamai status yang lebih dulu disandang oleh Apple. Sebelumnya, Apple adalah 'pemain tunggal' perusahaan publik yang berhasil meraih kapitalisasi 1 triliun dolar. Apple mencapai gelar itu pada 2 Agustus 2018. Hanya bertahan satu bulan sebelum akhirnya disusul oleh Amazon.Â
Namun ada prestasi Amazon yang tak dicapai Apple. Yaitu berhasil mengawinkan dua gelar prestisius sekaligus. Menduduki predikat sebagai perusahaan dengan nilai pasar paling mahal, dan di saat bersamaan juga menempatkan sang pendiri dan CEO Jeff Bezos sebagai manusia terkaya sejagat. Ketika Amazon menembus angka 1 triliun dolar, Bezos sudah menyandang mahkota manusia terkaya.
Menyitir data Bloomberg Billionaires Index yang diperbaharui harian, posisi kekayaan Jeff Bezos saat ini berada di angka Rp2.457 triliun. Ketika saham Amazon berada di puncak tertingginya, kekayaan Bezos bahkan mendekati gabungan kekayaan Bill Gates dan Warren Buffet. Dua orang terkaya di dunia yang duduk di peringkat dua dan tiga di bawah Bezos.
Perkawinan dua predikat superior berkat Amazon effetcini belum pernah terjadi di perusahaan publik manapun. Microsoft sekalipun yang bertahun-tahun menempatkan pendirinya Bill Gates di predikat manusia terkaya, tidak pernah mencapai gelar sebagai perusahaan dengan kapitalisasi pasar tertinggi.
 Ambisi Sang Pendiri
Sebagai manusia terkaya sejagat dengan selisih tumpukan kekayaan yang jauh di atas Gates dan Buffet, sikap ambisionis Bezos menuai pembenaran. Apalagi ia sukses membawa Amazon ke tingkat pencapaian yang mungkin tak pernah terbayangkan ketika ia pertama kali memulai Amazon sebagai toko buku. Akumulasi ambisi tersebut yang hari ini mengilhami tumbuhnya ekonomi digital dengan ecommerce sebagai satu ujung tombaknya.
Ada kisah menarik tentang ekspansi dan ambisi Bezos yang ditulis oleh Brad Stone dalam buku larisnya The Everything Store. Cerita ihwal bagaimana Zappos, retail sepatu online yang diincar Bezos akhirnya jatuh ke pengakuan Amazon setelah melalui proses yang pelik.Â
Dikisahkan, dalam sebuah pertemuan yang canggung, tim Amazon dan Zappos berbicara tentang aliansi kedua perusahaan. Zappos adalah perusahaan yang sudah eksis. Merek mapan dalam bisnis sepatu di dunia internet kala itu.
Zappos yang tengah naik daun itu mengusik Bezos. Ia memfirasati masa depan Zappos akan cerah dan bukan tidak mungkin mengancam eksistensi Amazon. Si pria plontos nan ambisius tidak ingin Zappos menjadi batu sandungan di masa depan. Bezos berambisi mengambil alih Zappos. Namun, impian itu kandas. Keinginan Bezos dengan nilai penawaran menggiurkan ditepis oleh para eksekutif Zappos.Â
Bezos tak habis akal. Langkah pertama yang ia lakukan adalah membendung Zappos. Bezos lantas membuat toko online yang diberi nama Endless. Persis seperti Zappos, Endless juga menjual sepatu. Ya, Endless memang diplot untuk menghadang laju Zappos.Â
Singkat cerita, Endless menempuh strategi banting harga. Penjualannya meroket. Konsumen Zappos berhasil diakuisisi. Â Zappos terpancing dan mengikuti irama permainan Bezos. Zappos turut banting harga.
Namun situasi keuangan Zappos justru membuat perusahaan yang diincar Bezos itu malah terpuruk dengan strategi banting harga yang ditabuh Endless. Hanya dalam hitungan bulan, kinerja Zappos melemah. Energinya terkuras. Zappos terjepit.Â
Para pimpinan Zappos lantas berembuk dan mempertimbangkan tawaran akuisisi yang datang lagi dari Bezos. Keputusan pahit tapi harus ditelan. Zappos akhirnya diakuisi Rp17,9 triliun dalam bentuk tunai dan saham.Â
Di bawah payung Amazon, retailer sepatu itu kini bernilai Rp536,6 triliun. Pencapaian yang diraih dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun. Begitulah potret kiprah kepiawaian Bezos berselancar di atas gelombang ekonomi digital hingga berhasil mengakumulasi pencapaiannya saat ini.
Di balik kisah pencapaian Amazon dan Jeff Bezos, banyak nilai yang dapat kita petik agar Indonesia juga dapat menahirkan perusahaan kelas dunia di kancah digital.Â
Ekonomi digital merupakan lingkungan yang amat dinamis. Tofografinya landai menyimpan banyak kejutan. Karakternya inklusif. Sehingga semua punya peluang. Besar maupun kecil, dapat tumbuh menjadi kampiun ketika berhasil menerapkan strategi yang tepat. Seperti Amazon yang dalam usia 24 tahun memuncaki predikat keramat.
Itulah mengapa kita menyaksikan para startup yang berusia belia mampu menumbangkan perusahaan mapan. Para inkumben yang merasa gagah oleh megalomania, dengan mudah disalip oleh perusahaan rintisan yang berstuktur ringkas nan gesit.
Kekuatan 'si kecil' bahkan juga diamini oleh pendiri Alibaba Group, Jack Ma. Dalam lawatannya baru-baru ini, Jack Ma mengatakan bahwa ekonomi digital memberikan peluang yang besar kepada usaha kecil menengah (UKM). Strukturnya yang simpledan fleksibelmemungkinkan UKM bergerak lebih cepat ketika perusahaan-perusahaan besar dengan kultur birokrasi yang kaku masih berjibaku dalam debat-debat normatif.
Bagi Indonesia yang menjadi rumah bagi jutaan UKM, peluang ini tentu saja harus dimanfaatkan. Kekuatan UKM untuk bergerak lebih cepat dan menyodok lebih jauh harus dimanfaatkan merambah ke pasar global melalui berbagai platform digital yang dapat diakses semudah menggerakkan jemari. Apalagi, performa UKM Indonesia di kancah ecommerce masih belum mumpuni.Â
Dari aspek penetrasi pasar misalnya, produk-produk UKM yang listing di ecommerce lokal masih di bawah produk impor. Menurut Septiana Tangkari, Direktur Pemberdayaan Industri Informatika Kementrian Komunikasi dan Informatika, sekitar 60% pasar ecommerce masih dikuasai produk impor.Â
Data Kementrian Koordinator Perekonomian bahkan lebih mengejutkan. Dikatakan bahwa hanya 6-7% produk lokal yang listing di marketplace. 93-94% persen adalah produk impor.Â
Di tengah terjepitnya nilai tukat mata uang rupiah, dominasi produk impor di marketplace tentu amat menyedihkan. Apalagi marketplaceini digadang-gadang sebagai leading sectorindustri digital di Indonesia. Bila tak lekas dibenahi, digital pardiseIndonesia justru menjadi panggung bagi produk impor.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Tali Foundation dan Praktisi Ekonomi Digital |Konsultan digital beberapa merek nasional
**Artikel ini terbit di kolom opini harian Republika edisi Jum'at (7/9/2018) dengan judul Manfaatkan Surga Digital
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H