Kini, nuansa kontestasi menuju Pilpres 2019 terasa sangat kental. Tak jarang berubah memanas belakangan.
Motif Ekonomi
Bisnis yang bergulir dan uang mengalir di balik perangcuitan di media sosial adalah fakta yang tak bisa lagi disembunyikan. Toh, efektivitas platform digital dalam menyampaikan pesan-pesan politik diklaim lebih mumpuni ketimbang menggunakan cara-cara tradisional. Lebih tepat sasaran dan tentu saja lebih efisien. Karena jangkauannya yang luas tak terbatas ruang dan waktu.
Tak ayal, keberadaan buzzer politik ini, lahir dan berkembang karena dipicu oleh pasar (demand). Maka pabrikasi buzzer politik tak dapat dipisahkan dari ekonomi digital. Ia muncul sebagai satu peluang bisnis baru di tengah permintaan pasar politik yang bergeser ke kanal digital.Â
Perkembangan teknologi digital yang sangat pesat memang menggiurkan. Teknologi menggiring umat manusia ke komunitas desa global (global village). Istilah yang dipopulerkan oleh Marshall McLuhan di dalam buku popularnya The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962).Â
Di dunia datar atau desa global tanpa tembok pemisah, setiap orang yang piawai memanfaatkan (pengguna) gawai, berpeluang menjadi aktorutama.
Tengoklah daftar Most Valuable Brands yang dirilis Forbes. Di posisi Top 5, bertengger perusahaan berbasis teknologi komunikasi, Apple, Google, Microsoft, Facebook dan Amazon.Â
Posisi perusahaan perusahaan teknologi tersebut mencerminkantingginya kebutuhan dan ketergantungan umat manusia saat ini pada perangkat komunikasi. Perusahaan teknologi komunikasi memiliki positioning yang kuat dalam memberikan pengaruh terhadap tatanan dunia.
Demikian pula di dalam dunia politik. Banyak tokoh politik yang dibesarkan oleh media digital. Termasuk berhasil meraih tampuk kekuasaan berkat sokongan media sosial.Â
Dua Presiden Amerika Serikat, Barack Obama dan Donald Trump adalah kisah sukses politisi di panggung dunia dalam memanfaatkan media sosial untuk menggalang dukungan.
Bagi para serdadu siber dengan tingkat militansi dan intensitas tinggi berperang di gelanggang maya, motif ekonomi nyaris dipastikan menjadi alasan kuat mengapa mereka melakoni pekerjaan itu. Meski bukan alasan satu-satunya. Sebab ada juga yang ditrigger oleh dorongan emosional atas dasar ideologis.