Pengerahan serdadu media sosial atau familiar disebut buzzer dalam kontestasi politik membuktikan bahwa asimilasi digitalisasi dan demokrasi semakin kuat.
Besarnya jumlah pengguna internet di Indonesia merupakan alasan mengapa para politisi berduyun-duyun mengerahkan energi dan logistik politik ke kanal-kanal digital.
Memang, belum ada angka pasti berapa persen dari 143 juta pengguna internet di Indonesia yang punya hak pilih. Namun bila merujuk pada jumlah generasi milenial yang merupakan warga asli dunia digital sebagai dasar asumsi, 'dapil internet' punya potensi pemilih sekurang-kurangnya 84,75 juta jiwa. Jumlah suara yang 'jumbo' atau setara 45,6 persen dari daftar pemilih sementara yang tercatat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Melihat basis pemilih menjanjikan itu, maka buzzer kerap diplot di garda terdepan. Sebagai ujung tombak serangan. Menjadi corong utama menggalang dukungan, menangkal atau bahkan menyerang sang penantang jagoan.
Media sosial, dan berbagai saluran daring, menjelma menjadi gelanggang perang baru di jagad politik. Juga dimanfaatkan sebagai panggung memupuk citra dan membangun opini. Untuk satu tujuan: meraih dukungan.
Terpapar digitalisasi membuat tensi politik selalu hangat. Aliran perdebatan nyaris tak pernah reda. Terutama di media sosial. Setiap kubu politik selalu punya amunisi yang dilontarkan menyerang lawan. Ini konsekuensi dari karakter media sosial yang super cepat dalam mengirim pesan. Mampu menembus ke semua ruang dan waktu.
Maka laporan anyar The Guardian berjudul 'I felt disgusted': inside Indonesia's fake Twitter account factories yang memuat pengakuan tentang peran tim buzzer pada Pilkada DKI Jakarta 2017 sebetulnya bukan informasi yang mengejutkan. Â Meski mereka mengaku menggunakan identitas-identitas palsu, keberadaan buzzer ini telah lama kita rasakan dalam pesta demokrasi di Indonesia. Mulai di tingkat lokal maupun nasional.
Senyampang, pengakuan tersebut membuat asumsi-asumsi tentang 'tentara maya' kini lebih terang benderang. Karya jurnalistik Kate Lamb yang ramai diperbincangkan itu membuka tabir di balik sengitnya pertarungan opini entitas politik di panggung media sosial.Â
Tak ada lagi yang bisa disembunyikan. Meski selama ini kubu-kubu politik di media sosial sebetulnya telah saling memahami bahwa mereka berperang dengan buzzer lawan.
Saat ini pun, setahun jelang pemilihan presiden dihelat, kita bisa merasakan betapa riuhnya agitasi sarat nuansa politik berseliweran di platform-platform digital.Â
Bukan cuma di media sosial seperti Twitter, Facebook, atau Instagram saja melainkan di platform blog dan video sharing hingga di forum-forum perbincangan daring.