Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Beberapa Alasan Mengapa Ritel Berguguran dan Mal Dirundung Sepi

6 November 2017   07:31 Diperbarui: 6 November 2017   10:22 6633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi toserba tutup (sumber : okezone.com)

Lembaga riset Nielsen menyimpulkan bahwa terjadi penurunan daya beli dalam lima tahun terakhir. Penurunan daya beli tersebut berdampak negatif terhadap ritel. Satu persatu pengecer modern berguguran. Dampak turunannya, sejumlah mal yang mengandalkan toserba atau ditopang oleh ritel, kinerjanya lunglai. Pertanda buruk bagi erekonomian ini ditengarai sebagai dampak perubahan lanskap ekonomi. Pergeseran lanskap itu disebabkan oleh tiga faktor. 

Pertama, ledakan ekonomi digital. Saat ini, sebanyak 38 persen masyarakat telah beralih menjadi konsumen online. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari, mereka mengandalkan cara belanja secara daring.

Preferensi konsumen bergeser ke apliaksi dengan berbgai nilai tambah yang ditawarkan. Seperti kepraktisan dan fleksibilitas. Konsumen ecommerce dan berbagai kanal digital ini tidak menutup kemungkinan merupakan konsumen toserba dan pusat perbelanjaan yang berhasil diakuisisi oleh ekosistem digital.

Apalagi survei lain dari Mactercard menunjukkan sebanyak 58 persen masyarakat pernah menjajal belanja menggunakan mobil internet. Artinya, sang kuat kecendrungan migrasi massal konsumen ke platform digital. Utamanya konsumen milenial dan kelas menengah yang melek teknologi (tech savy).

Kendati porsi ecommerce terhadap retail nasional masih berada di bawah angka 1 persen, eksistensi dan dampak ekonomi daring tersebut tak bisa disepelekan. Pasalnya, basis konsumen ecommerce beririsan dengan konsumen retail dan pusat belanja. Yaitu sama-sama menyasar konsumen perkotaan. Kita tak mungkin mengesampingkan fakta tersebut.

Kedua, terjadi penurunan daya beli dan perubahan gaya hidup serta pola konsumsi masyarakat. Temuan riset Nielsen menangkap fenomena tersebut. Kluster spending masyarakat saat ini fokus pada kebutuhan psikologis. Utamanya leisure dan life style.

Data Nielsen diperkuat oleh BPS yang mencatat terjadinya peningkatan konsumsi untuk kegiatan bersenang-senang. Pada kuartal II 2017 tumbuh 6,25 persen atau lebih tinggi dari pertumbuhan di triwulan I yang hanya 5,5 persen.

Konsumsi life style mengingkat yang tergambar dari tingginya permintaan di segmen wisata, coffee shop dan elektronik yang tahan lama seperti laptop, tablet atau smartphone. Konsumsi gaya hidup ini bahkan menggeser anggaran untuk belanja pakaian pelaku industri yang bergerak di segmen coffee shop dan restoran melaporkan pertumbuhan kinerja bisnisnya melonjak hingga 25 persen. 

Sementara konsumsi non leisure melambat. Di segmen kebutuhan harian (fast moving consumer goods) dan festive categories misalnya, terjadi penurunan pertumbuhan dalam lima tahun terakhir. Tahun 2015 pertumbuhan FMCG di angka 11,5 persen, lalu turun menjadi 7,7 persen (2016) kemudian merosot tajam hanya tumbuh 2,7 persen (September, 2017). Penurunan daya beli ini yang memukul sektor ritel. Senada dengan Nielsen, BPS mengamini bahwa terjadi pergeseran dan pola konsumsi serta penurunan daya beli.

Ketiga, tergerus oleh mal tematik, terutama yang mengusung konsep life style. Perubahan gaya hidup masyarakat berdampak langsung ke pusat-pusat belanja. Mal kini berubah fungsi sebagai tonggak life style. Mal ramai karena menawarkan kenyamanan. Menyediakan restoran, kafe, hingga pusat kebugaran. Mal bukan lagi sebagai destinasi belanja, tapi ajang bersosialisasi dan menikmati pengalaman sosial (social experience).

Mal tematik dan mengusung konsep gaya hidup kini happening. Diminati terutama oleh lapisan masyarakat menengah dan konsumen milenial. Mal-mal tematik ini pandai membaca selera dua segmen konsumen yang royal tersebut.

Maka mal macam Green Pramuka Square selalu riuh disambangi. Mal yang terletak di Jakarta pusat ini saban bulan menggelar tema berbeda untuk anak-anak muda 'jaman now' dan keluarga muda perkotaan. Mulai dari tema Korea, Jepang hingga Nusantara.

Mal tematik bahkan menyediakan area street food yang cozy sebagai magnet buat anak-anak muda. Tak heran bila pusat perbelanjaan di dalam superblok Green Pramuka City selalu ramai pengunjung. Terutama after hoursdijadikan sebagai destinasi anjangsana harian.

Dus, fenomena rontoknya ritel dan mal yang dirundung sepi bukan senjakala pusat belanja. Yang terjadi adalah pergeseran lanskap bisnis yang mesti direspons dengan inovasi. Eksistensi mal-mal tematik, baik mal baru maupun mal lawas yang mengusung tema anyar, menjadi benchmark bahwa mal masih jadi primadona dan destinasi kaum urban. 

Hanya memang, kebutuhan konsumen terhadap mal telah bergeser. Masyarakat merindukan konsep dan suasana baru yang kekinian. Mal sebagai tempat nongkrong, ajang rekreasi harian bahkan sebagai wadah aktualisasi social experience.

Untuk itu, para pelaku usaha dituntut piawai membaca tren industri yang berubah dan gesit berbenah. Pada saat bersamaan, pemerintah mesti hati-hati membuat formula kebijakan. Jangan sampai kebijakan yang dirilis malah berdampak kontraproduktif. Seperti kenaikan tarif dasar listrik dan kenaikan harga BBM yang menurut INDEF ‘sukses’ memukul daya beli masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun