Maka di tingkat global, kita melihat bahkan orang terkaya di planet ini pun tetap saja butuh wadah filantropi untuk mengekspresikan kebebasan jiwa. Siapa yang tak kenal Bill Gates dan istrinya Melinda Gates, kedua sosok ini memilih memfokuskan perhatian di bidang kesehatan. Bill dan Melinda keliling ke berbagai penjuru bumi mengemban misi kemanusiaan justru tidak dengan menampilkan kemewahan material. Tumpukan kekayaan mereka tanggalkan.
Di dalam negeri, kita juga punya perbendaharaan sosok-sosok filantropi. Di bidang pendidikan misalnya, siapa yang tidak kenal dengan Sukanto Tanoto. Melalui Tanoto Foundation, konglomerat yang merintis usaha dari bawah ini malang melintang di dunia beasiswa Indonesia. Bagi pelajar dan mahasiswa, nama "Tanoto" mungkin lebih dikenal sebagai pemberi beasiswa ketimbang pemilik Asian Agri dan berbagai bisnis di bawah naungan group Royal Golden Eagle International.
Tanoto Foundation, bisa dikatakan sebagai 'brand' donatur beasiswa legendaris. Sukses melahirkan SDM-SDM berkualitas. Ini dibuktikan oleh data bahwa sebanyak 67% dari peraih beasiswa Tanoto Foundation berkarir di perusahaan papan atas. Mulai dari perusahana multi nasional, BUMN maupun perusahaan swasta nasional. Tak heran bila kemudian beasiswa Tanoto Foundation menjadi incaran para pelajar dan mahasiswa.
Dalam skala NGO swadaya, kita tentu tidak meragukan lagi reputasi Dompet Dhuafa yang 24 tahun terakhir mendedikasikan potensi keuangan umat menjadi gelombang kebaikan yang berdampak sosial ekonomi. Lembaga yang sejarahnya tak bisa dilepaskan dari rahim dan nama besar Republika ini, telah menebarkan manfaat dan melebarkan sayap hingga memiliki lima cabang di luar negeri.
Hasil kajian dan rumusan University of Oxford dan United Nation Development Program (UNDP) memetakan multidimentional poverty index (MPI). Bahwa kemiskinan multidimensi mencakup banyak hal. Bukan soal akses ekonomi atau penghasilan semata, tapi juga terkit dengan sektor lain. Termasuk pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi.
Maka tepat dasar pemikiran yang diajukan oleh lembaga filantropi seperti Tanoto Foundation maupun Dompet Dhuafa. Bahwa penanggulangan kemiskinan yang efektif membutuhkan pendekatan holistik yang meliputi pendidikan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas hidup. Gerakan filantropi yang menyentuh multidimensi pengentasan kemiskinan dilakoni oleh lembaga-llembaga filantropi untuk memberikan dampak berkelanjutan.
Filantropi Digital
Hal menarik dari perkembangan filantropi dewasa ini, bahwa spektrum gerakan filantropi kian inklusif. Mengalami transformasi seiring terjadinya digitalisasi di berbagai sektor. Untuk mengoptimalkan dampak, filantropi mengadopsi perkembangan teknologi komunikasi. Filantropi semakin digemari, termasuk oleh anak-anak muda sebagai motor utamanya.
Di kanal-kanal digital, kita mengenal beberapa lembaga filantropi yang dijalankan dengan platform daringl. Gerakan filantropi berbasis aplikasi di smartphone, bukan didirikan oleh konglomerat. Tapi ia lahir dari rahim keterpanggilan anak muda yang ingin berkontribusi membangun  negeri. Filantropi digital besutan anak bangsa seperti Kitabisa.com, mempertemukan arus kedermawanan masyarakat dengan gelombang digital.
Inovasi filantropi, tentu saja semakin mengoptimalkan dedikasi yang bisa diberikan. Juga menggugah semangat kebersamaan secara efektif dan bertenaga. Filantropi digital, sekaligus bentuk nyata upaya merawat budaya berbagi dengan pendekatan kontributif nan modern.
Kampanye penggalangan dana teranyar dari Kitabisa.com misalnya, mengajak anak-anak bangsa untuk ikut berkontribusi mewujudkan impian Presiden Indonesia Ketiga, B.J. Habibie yang juga menjadi impian kita untuk melahirkan pesawat buatan anak bangsa. Kampanye bertajuk "Dukungan Untuk R80" menggema di media sosial dan berbagai saluran digital, dan hingga saat ini telah mengumpulkan donasi lebih dari Rp 1 miliar.