Membanggakan, Indonesia kembali masuk dalam jajaran negara paling dermawan di dunia. Dalam daftar World Giving Index 2017 yang baru saja dirilis Charities Aid Foundation (CAF), Indonesia menempati posisi kedua. Di atas Indonesia, ada Myanmar yang mengisi posisi pertama. Tetangga jauh yang justru merobohkan makna kedermawanan akibat tragedi kemanusiaan Rohingya.
Bila berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan sebagai tonggak kedermawanan (filantropi), maka Myanmar tentu tak layak menyandang predikat dermawan. Budaya berderma Myanmar, boleh saja kuat. Tapi pengusiran terhadap Rohingya yang jadi sorotan dunia, mencederai nilai-nilai kedermawanan. Berderma, semestinya menegakkan kemanusiaan, menyulam jalinan kebersamaan. Bukan menistakan seperti yang terjadi terhadap Rohingnya.
Dalam sub kategori kedermawanan mengorbankan waktu untuk membantu sesama, Indonesia berada di posisi puncak. Menungguli semua negara di dunia, masyarakat Indonesia paling aktif mendedikasikan waktu demi membantu sesama. Ini artinya, kedermawanan masyarakat Indonesia juga disertai aksi nyata turun ke lapangan. Membersamai dan merasakan apa yang dialami oleh mereka yang membutuhkan uluran tangan.
Eskalasi Filantropi
Eskalasi gelombang filantropi di negeri ini memang memberikan optimisme. Meski belum ada data valid mengenai jumlah lembaga filantropi yang beroperasi di Indonesia, tapi kita bisa menyaksikan sekaligus merasakan betapa masif inisiatif gerakan kedermawanan di tengah-tengah masyarakat. Ada yang bersifat swadaya, tak sedikit pula yang disokong oleh institusi bisnis, pemerintah maupun NGO.
Semuanya seolah berkompetisi dalam menebar kebaikan. Tak terkecuali lembaga filantropi berbasis keagamaan, juga turut mengambil peran signifikan dalam aksi-aksi sosial kemanusiaan. Mengaktualisasikan pesan-pesan keagamaan yang sarat solusi sosial.
Menurut Charities Aid Foundation, aspek religiusitas merupakan faktor penting yang mendorong maraknya gerakan kedermawanan. Agama, bertabur pesan untuk berbagi dan peduli. Maka di setiap agama kita mengenal adanya konsep berbagi seperti zakat, infaq atau sedekah dalam agama Islam.
Menariknya, meskipun dilatari oleh spirit reliji, gerakan filantropi mampu menerobos sekat-sekat perbedaan. Tak memilah penerima manfaat berdasarkan jenis agama yang dianut. Semua yang membutuhkan diberi uluran tangan.
Dalam gerakan aspiratif umat Islam bertajuk #Aksi299 misalnya, peserta aksi berinisiatif menggalangan dana untuk korban letusan Gunung Agung di Bali. Meski Bali dikenal sebagai basis komunitas bagi saudara-saudara kita yang beragama Hindu, namun tidak menjadi tembok penghalang bagi umat Islam untuk peduli dan berbagi.
Cakupan gerakan filantropi pun kian beragam. Ada yang bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi dan kebencanaan. Yang terakhir ini paling marak. Tentu saja tak terlepas dari kondisi geografis Indonesia sebagai daerah rawan bencana sehingga butuh solidaritas tinggi untuk saling membantu.
Gerakan filantropi, bisa jadi dipandang sebagai jalan sunyi dalam borkontribusi membangun negeri. Tak seriuh jalan bisnis atau politik yang selalu menyedot sorot kamera dan tepuk sorak masyarakat. Tapi filantropi berbeda, karena ia lahir dari panggilan jiwa dan memberikan kenikmatan batin bagi mereka yang melakoni gerakan sosial ini.