Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Surprise Ekonomi Digital Tahun 2017

2 Januari 2017   11:27 Diperbarui: 2 Januari 2017   12:05 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persaingan di ranah ekonomi digital semakin sengit. Pemerintah memproyeksikan nilai ekonomi digital tahun 2020 tembus angka Rp 1.734 triliun (sumber : dailysocial.id)

Taksi Express Bakal Layani Perjalanan Uber, demikian judul berita di Kompas.com yang membuat saya senyam senyum. Saya kira, kisah ini mengharu biru sekaligus pilu. Bagaimanan sebuah perusahaan yang lahir dari Rahim ledakan teknologi mampu menyeret perusahaan konglomerasi yang sudah mapan masuk ke pusaran model bisnis yang diciptakan Uber, si anak bawang, warga asli abad ledakan teknologi.

Taksi Express adalah perusahaan milik konglomerat Peter Sondakh. Forbes mendaulatnya sebagai orang terkaya ke 9 di Indonesia. Bos Rajawali Group yang juga membawahi lusinan perusahaan di berbagai bidang industry seperti RTV, Traveloka, Hotel Four Season, Novotel dan masih banyak lagi. Taksi Express, bukan perusahana kacangan. Perusahaan ini resmi beroperasi tahun 1989, 27 tahun yang lalu. Tapi toh, Express akhirnya ‘terpaksa’ menjalin aliansi dengan Uber yang baru berusia 7 tahun.

Satu bulan sebelumnya, November 2016, market leader jasa transportasi taksi, Blue Bird juga mengumumkan kerjasamanya dengan Go-Jek. Perusahaan jasa pemesanan transportasi online yang kini melakukan diversifikasi produk ke berbagai jenis layanan. Kerjasama yang belum detail diumumkan seperti apa modelnya itu, disampaikan di tengah suasana yang masih tegang antara pengemudi Blue Bird dan GoJek di akar rumput.

Masih dalam hitungan bulan dan segar dalam ingatan kita, ketika para sopir taksi (Blue Bird dan Express) melakukan demo besar-besaran menolak Go-Jek, Grab dan Uber karena mengancam eksistensi mereka. Sebagai informasi, catatan keuangan Taksi Ekspress tahun 2016 merugi Rp 81,80 miliar sementara pendapatan Taksi Blue Bird anjlok hingga 42,30 persen atau Rp 165,56 miliar. Para pegemudi, tentu yang paling merasakan pahitnya terisish di gelanggang persaingan.

Di Indonesia, Blue Bird dan Taksi Express menampakkan wajah lain dari ekonomi digital yang akhirnya harus berhadap-hadapan dengan industri tradisional. Ledakan dinamika di sektor transportasi, hanyalah satu kronik kecil dari penetrasi ekonomi digital yang semakin tak terbendung. Di satu sisi memunculkan peluang dan berbagai harapan, namun pada saat bersamaan justru jadi marabahaya.

Ekonomi digital yang tumbuh pesat, rupanya memendam bencana. Dibalik pesonanya, ekonomi yang bersenyawa dengan pekembangan teknologi ini menebar ancaman dan telah menumbangkan sejumlah pelaku ‘ekonomi konvensional’. Perusahaan mapan yang puluhan tahun menjadi jawara di industrinya, lantas didera kerugian. Jika tak dihentikan dengan kolaborasi antar platform dan model bisnis, kita mungkin akan menyaksikan banyak konglomerasi yang masih mempertahankan cara konvensional harus terseok atau bahkan runtuh disapu badai startup.

Di luar keriuhan antara pengemudi taksi konvensional dan online, kompetisi ekonomi digital yang paling sengit justru terjadi di ranah ecommerce. Di sektor ini, ada yang datang dan tumbang. Ada yang diakuisisi, merger, dan tak jarang bahkan ada yang mengibarkan bendera putih sembari angkat kaki dari Indonesia.

Alibaba, melalui Lazada yang baru diakuisisi senilai Rp 13 triliun, meniupkan terompet perang. Raja dari China ini siap berhadap-hadapan dengan starup lokal macam Tokopedia, Bukalapak, Blibli dan MatahariMall. Namun persaingan tersebut tentu akan semakin dinamis mengingat kian banyak yang tergiur untuk bertaruh peruntungan di bisnis ecommerce Indonesia.

Dengan proyeksi nilai pasar Rp 1.734 Triliun rupiah pada tahun 2020, ecommerce Indonesia adalah lahan subur untuk meraup untung. Terlebih pemerintah sudah menyeriusi industri dengan pertumbuhan tertinggi ini. November kemarin, pemerintah merilis

Maka wajar jika Amazon kemudian memasang kuda-kuda untuk juga tancap gas di Indonesia. Demikian pula Agung Podomoro Land yang memiliki jaringan ritel pedagang UKM di trade mall mereka, juga telah mendeklarasikan akan launching ecommerce untuk para pedagang di jaringan trade mall Agung Podomoro paling lambat pertengahan 2017.

Para analis mengatakan, bahwa pekerjaaan utama di bisnis ecommerce saat ini adalah menghamburkan uang. Dana-dana segar yang diraih dari para investor, mereka harus gunakan untuk mengedukasi masyarakat yang memang masih dalam tahap adaptasi dengan budaya belanja online.

Selain mengedukasi dan menarik minat masyarakat, hal lain yang menjadi tantangan pelaku ecommerce kakap, adalah membangun diferensiasi. Keunggulan ecommerce, tidak tepat semata disandarkan pada modal. Mengingat tingkat persaingan yang sangat ketat karena backup dana masing-masing yang melimpah.

Bagi ecommerce semacam Mataharimall atau Agung Podomoro yang terafiliasi dengan retailer sebagai channel distribusi (pickup point), mereka sudah mengantongi satu keunggulan yang tidak dimiliki oleh Lazada, Tokopedia, Bukalapak atau Amazon sekalipun. Yaitu integrasi online to offline (O2O) yang akan diterapkan oleh ecommerce Agung Podomoro dengan tetap memberikan pengalaman berbelanja offline(customers experience), tentu tidak dapat diterapkan oleh Lazada, Bukapalapak, Blibli atau Tokopedia.

Jaringan penjual yang mereka miliki adalah kekuatan distribusi super cepat sehingga mengirim barang dapat dilakukan pada hari yang sama ketika pesanan masuk. Bukankah menunggu itu membosankan? Dan tampaknya, ini sulit dikejar oleh ecommerce yang tidak memiliki jaringan ritel sebagai ujung tombak distribusi.

Amazon mungkin paling gila untuk menyiasati kelemahan uatama yang mereka miliki karena minim jaringan distribusi berupa toko fisik. Raksasa ritel tersebut, dikabarkan sedang menyiapkan "kapal induk raksasa" yang terus menerus mengudara dengan ketinggian 13 Km dari permukaan bumi. Airborne warehouse yang telah dipatenkan dan dirancang dari balon udara ini, nantinya berfungsi memudahkan distribusi Amazon dalam melayani pelanggan dengan mempekerjakan drone sebagai kuris. Super canggih dan futuristik.

Ide 'gila' Amazon dalam menyiasati distribusi di masa depan. Menggunakan balon udara raksasa sebagai gudang penyimpanan dan drone sebagai kurir yang mengantar barang ke rumah-rumah konsumen. (sumber twitter : @zoe_leavitt)
Ide 'gila' Amazon dalam menyiasati distribusi di masa depan. Menggunakan balon udara raksasa sebagai gudang penyimpanan dan drone sebagai kurir yang mengantar barang ke rumah-rumah konsumen. (sumber twitter : @zoe_leavitt)
Untuk kondisi kekinian dalam hal O2O, kejutan yang disiapkan oleh Agung Podomoro mungkin hanya akan berhadapan dengan Mataharimall yang juga memiliki Matahari Departemen Store di berbagai daerah. Nah, persaingan keduanya akan menukik pada tawaran hospitality yang diberikan kepada konsumen ketika melakukan pickup order. Dalam konteks ini, internalisasi human spirit yang menjadi trend pemasaran terkini, terintegrasi dengan digital.

Dalam tataran implementasi, aktualiasi ekonomi digital berbasis human spirit tersebut bisa dalam bentuk welcoming drink, café tempat nongkrong, free internet corner dan lain sebagainya. Intinya, di ranah O2O, juga kudu dibangun diferensiasi yang lebih advance dan mengedepankan human touch yang minim diperoleh di wilayah yang pure online

Trade Mall Agung Podomoro tampaknya sudah membaca hal ini. Jaringan ritel yang nantinya akan diintegrasikan dengan ecommerce tersebut telah melakukan banyak pembenahan secara fisik. Suasan TM Kenari Masa di bilangan Kramat Raya, Salemba misalnya, kini lebih modern, convinence dan hangoutable. Bagaimana dengan Matahari Departemen Store sebagai pickup point Mataharimall? MDS umumnya terdapat di mall yang dikelola oleh Lippo Group, korporasi yang memayungi ecommerce dan retail tersebut. Artinya, kedua pelaku O2O ini akan fight di wilayah persaingan yang cenderung sepi.

Trend O2O akan banyak diadopsi oleh pelaku ecommerce lain di masa depan. Ini memberi harapan bahwa ada celah untuk menyelamatkan toko offline dari serbuan ecommerce. Ekonomi digital, tidak lantas berarti semuanya harus digital. Bahwa human touch yang eksklusif hanya ada di offline, tidak bisa ditinggalkan.

Human spirit inilah yang kemudian mendasari mengapa raksasa ritel dunia, Amazon malah membuka toko dalam bentuk fisik. Padahal, Amazon lahir dan besar di habitat internet. Yang dilakukan Amazon adalah digitalisasi, bukan migrasi.

Ini sekali lagi terbukti dengan peluncuran Amazon Go. Toko fisik yang serba otomatis. Mulai dari pengambilan barang hingga pembayaran, berbasis digital. Namun, sekali lagi, dilakukan secara fisik di toko fisik. Amazon Go, adalah bentuk paling sempurna digitalisasi human spirit. Amazon Go mendelivery consumer experience dengan sentuhan digital yang manusiawi. Mampukah ekosistem ekonomi digital di tanah air melahirkan kejutan ala Amazon Go? Sebuah tantangan yang menarik kita nantikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun