Jumlah pekerja di perkebunan kelapa sawit kira-kira 16,2 juta orang. Mayoritas perusahaan kelapa sawit berada di Riau. Di Maret 2023 ini, salah satu perusahaan kelapa sawit di Riau melakukan PHK terhadap 92 karyawannya. Namun para karyawan mengadu pada media dan DPRD Riau karena mereka tidak diberi hak-hak mereka. (1) Namun pepatah mengatakan tidak ada penerjun payung yang mengadu, tidak berarti semua parasut sempurna.
Titik perselisihan antara perusahaan dan karyawan adalah perusahaan menganggap karyawan sebagai pekerja borongan, jadi perusahaan tidak perlu memberi pesangon PHK. Sedangkan karyawan menganggap sekalipun mereka pekerja borongan, perusahaan harus memberi pesangon PHK. Sebenarnya siapa yang benar, perlu diselidiki lebih lanjut.
Menurut seorang anggota DPRD setempat, kedepannya seharusnya tidak boleh ada sistem kontrak antara perusahaan dan perorangan, tapi bolehnya antara perusahaan dan perusahaan.Â
Opini kadangkala menyatakan apa yang tidak diketahuinya dan pengetahuan. Terlalu sering seseorang mengekspresikan kenyamanan berpendapat, tanpa memperhatikan kebenaran dari berbagai pihak.
Apa persisnya hal-hal yang diperselisihkan?
Status Antara Kebenaran dan AsumsiÂ
Bila diperhatikan, perselisihan ini bersumber dari status para karyawan dan ketidak mengertian karyawan akan hak-hak dari status itu. Media mencatat pekerja di industri ini bukan tenaga kerja terdidik (2). Jadi mereka rentan untuk tidak mengetahui kebenaran. Karena itu sebenarnya bukan saja perlu diperjelas apa status dan hak mereka, tapi juga perlu edukasi bagi para pekerja kelapa sawit untuk menghindari provokator dan perselisihan yang tak perlu.Â
Hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan di bidang ini cukup kompleks. Namun dapat dibagi menjadi beberapa isu sederhana. Isu pertama dan terpenting adalah pertanyaan bahwa apa status karyawan itu pekerja tetap dengan PKWTT, kontrak dengan PKWT, atau borongan.
Status Borongan
Status borongan atau disebut juga pemborongan kegiatan adalah hubungan kerja yang dipakai antara pemberi dan penerima kerja. Apakah kegiatan itu dilakukan di tempat pemberi kerja atau di tempat penerima kerja, tetap saja namanya borongan.Â
Biasanya kegiatan itu dapat diputuskan dengan jelas kapan waktu selesainya atau kriteria penyelesaiannya. Bila kriterianya sudah terpenuhi dan dicatat dalam kontrak, maka pekerjaan selesai dan tanpa ada kewajiban pemberi kerja untuk memenuhi hak-hak pekerja di luar kontrak borongan.
Pemborongan kegiatan umumnya dilakukan oleh suatu perusahaan, namun tidak jarang suatu pekerjaan diterima oleh individual. Individu yang sering disebut pekerja borongan adalah pekerja yang bekerja berdasarkan volume atau satuan hasil kerja. Idealnya mereka menerima pekerjaan dari perusahaan penerima kerja. Tapi tidak jarang mereka menerima pekerjaan dari perusahaan pemberi kerja.
Status pekerja borongan lazim dan tepat diterapkan di usaha konstruksi dengan kontrak yang bukan saja jelas dan transparan, tapi juga tertulis. Hal ini relatif mudah karena kriteria penyelesaian satuan hasil kerjanya jelas. Bila perusahaan kelapa sawit menerapkan kriteria penyelesaian berdasarkan satuan hasil kerja, biasanya berkaitan dengan jumlah tandan buah segar (TBS).
Jadi asumsi pertama adalah karyawan berstatus sebagai pekerja borongan. Para karyawan benar-benar pekerja borongan, seperti yang disampaikan oleh anggota DPRD. Kalau benar demikian, maka para karyawan tidak berhak atas kompensasi seperti PKWT atau apalagi pesangon. Mereka tidak berhak apa-apa. Perusahaan kelapa sawit sudah betul dengan tidak memberi mereka apa-apa lagi, karena kontrak borongan tidak membebani perusahaan kewajiban lain.
Ada dua pihak yang menyebutkan kebenaran tentang kasus ini. Sahabat yang sungguh ingin kasus selesai dengan cepat atau musuh di dalam selimut.
Bagaimana bila status mereka sebenarnya bukan status borongan?Â
Bukan Status Borongan
Asumsi kedua adalah tidak; Dianggap status borongan, tapi sebenarnya tidak! Benar para karyawan dianggap pekerja borongan oleh perusahaan, namun anggapan perusahaan tidak tepat dan tidak sah. Alasannya adalah tidak ada kontrak tertulis dan tidak ada kriteria penyelesaian satuan hasil yang jelas. Bila hanya ada kontrak tertulis namun tidak dengan terang benderang menyebutkan satuan hasil maka bukan kontrak borongan.Â
Kasus yang mirip terjadi di Manado tahun 2017 antara 70 pekerja borongan dan perusahaan yang memproses kelapa tempat mereka bekerja. (3) Pekerja borongan tersebut diberi target berdasarkan satuan kelapa dan diberi upah berdasarkan dua hal, yaitu pencapaian target dan jumlah hari masuk dalam sebulan.Â
Namun di tahun 2016, singkatnya kelapa yang harus dikerjakan itu habis. Penyebabnya adalah kiriman kelapa tersendat karena kemarau. Dalam sebulan, para pekerja hanya bekerja kurang lebih 10 hari saja. Mereka masuk tiap hari, namun tidak bekerja karena tidak ada kelapa. Setelah setahun berjalan seperti itu, mereka menuntut di PHK dengan pesangon melalui pengadilan.
Dalam pemeriksaan di pengadilan, hakim menemukan bahwa mereka tidak mempunyai perjanjian kerja dengan perusahaan. Sekalipun mereka dianggap pekerja borongan, hakim memutuskan, bahkan sampai Mahkamah Agung memutuskan bahwa para pekerja borongan tersebut dianggap pekerja tetap. Artinya dengan adanya PHK, perusahaan harus membayar pesangon 2 kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak, karena memakai undang-undang ketenagakerjaan lama.
Memang banyak perusahaan seperti perusahaan kelapa ini. Perusahaan telah melihat hubungan kerja melalui asumsi yang salah dan melalui mata ketakutan. Asumsi dan keyakinan itu membuat perusahaan bebas, tapi juga akhirnya kalah.
Bila terjadi seperti ini maka kontrak tersebut bukan kontrak borongan dan karenanya hubungan kerja otomatis menjadi tetap atau PKWTT. Sama seperti pekerja di perusahaan pemrosesan kelapa di Menado. Apalagi bila pekerjaan utama perusahaan adalah apa yang dilakukan oleh para karyawan tersebut. Bila masuk pengadilan, maka hakim akan memutuskan bahwa mereka seharusnya karyawan tetap. Selanjutnya perusahaan harus memenuhi hak-hak mereka seperti pesangon.
Kewajiban kita adalah menolak kesalahan tetap dipertahankan, menolak status quo, menolak tidak adanya perubahan.
Asumsi ketiga adalah bagaimana bila kontrak mereka bukan pekerja borongan, tapi kontrak pekerja waktu tertentu atau PKWT?
Kontrak, Bukan BoronganÂ
Artinya bentuk kontrak mereka tidak seperti yang disampaikan anggota DPRD, tapi kontrak berdasarkan jangka waktu tertentu. Bila PKWT berakhir, berarti mereka hanya berhak atas kompensasi. Perusahaan wajib memberi mereka kompensasi atas berakhirnya PKWT mereka.
Asumsi ketiga, perlu dilihat apakah kegiatan mereka kegiatan utama atau bukan. Bila mereka mempunyai kontrak PKWT, namun pekerjaan yang dilakukan adalah secara jelas dan terang benderang termasuk kegiatan utama, berarti hubungan kerja mereka bukan PKWT. Bila kegiatan utama seperti itu, maka otomatis PKWT berubah menjadi PKWTT, selanjutnya mereka berhak atas pesangon.Â
Setiap kontrak menyiratkan tanggung jawab, seperti menjalani hidup ini, kontrak akhirnya tak selalu berkewajiban memberi para pihak apa yang mereka harapkan.
Segunung Opini
Anggota DPRD itu juga tidak tepat dengan tidak mengizinkan sistem kontrak antara perusahaan dan perorangan, karena undang-undang mengizinkan sistem itu. Tentu masyarakat dapat mengerti kelemahannya di kondisi ini, karena perusahaan dapat melakukan tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan undang-undang. Tapi penting juga pemerintah melakukan edukasi terus menerus atas pengertian undang-undang ketenagakerjaan.Â
Kewajiban kita bukanlah memberi segunung opini, tapi memberi makna pada kehidupan dan edukasi pada yang memerlukan, dengan demikian mengatasi kehidupan yang pasif dan acuh tak acuh.
Goriau.com, "Di-PHK, 92 Karyawan PT DSI Mengadu Ke DPRD Riau," 17 April 2023.
Kontan, 4 Nov 2022, Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja di Industri Sawit Bakal Terus Meningkat
Putusan nomor 16/Pdt.sus-PHI/2017/Pn.Mnd.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H