Pemborongan kegiatan umumnya dilakukan oleh suatu perusahaan, namun tidak jarang suatu pekerjaan diterima oleh individual. Individu yang sering disebut pekerja borongan adalah pekerja yang bekerja berdasarkan volume atau satuan hasil kerja. Idealnya mereka menerima pekerjaan dari perusahaan penerima kerja. Tapi tidak jarang mereka menerima pekerjaan dari perusahaan pemberi kerja.
Status pekerja borongan lazim dan tepat diterapkan di usaha konstruksi dengan kontrak yang bukan saja jelas dan transparan, tapi juga tertulis. Hal ini relatif mudah karena kriteria penyelesaian satuan hasil kerjanya jelas. Bila perusahaan kelapa sawit menerapkan kriteria penyelesaian berdasarkan satuan hasil kerja, biasanya berkaitan dengan jumlah tandan buah segar (TBS).
Jadi asumsi pertama adalah karyawan berstatus sebagai pekerja borongan. Para karyawan benar-benar pekerja borongan, seperti yang disampaikan oleh anggota DPRD. Kalau benar demikian, maka para karyawan tidak berhak atas kompensasi seperti PKWT atau apalagi pesangon. Mereka tidak berhak apa-apa. Perusahaan kelapa sawit sudah betul dengan tidak memberi mereka apa-apa lagi, karena kontrak borongan tidak membebani perusahaan kewajiban lain.
Ada dua pihak yang menyebutkan kebenaran tentang kasus ini. Sahabat yang sungguh ingin kasus selesai dengan cepat atau musuh di dalam selimut.
Bagaimana bila status mereka sebenarnya bukan status borongan?Â
Bukan Status Borongan
Asumsi kedua adalah tidak; Dianggap status borongan, tapi sebenarnya tidak! Benar para karyawan dianggap pekerja borongan oleh perusahaan, namun anggapan perusahaan tidak tepat dan tidak sah. Alasannya adalah tidak ada kontrak tertulis dan tidak ada kriteria penyelesaian satuan hasil yang jelas. Bila hanya ada kontrak tertulis namun tidak dengan terang benderang menyebutkan satuan hasil maka bukan kontrak borongan.Â
Kasus yang mirip terjadi di Manado tahun 2017 antara 70 pekerja borongan dan perusahaan yang memproses kelapa tempat mereka bekerja. (3) Pekerja borongan tersebut diberi target berdasarkan satuan kelapa dan diberi upah berdasarkan dua hal, yaitu pencapaian target dan jumlah hari masuk dalam sebulan.Â
Namun di tahun 2016, singkatnya kelapa yang harus dikerjakan itu habis. Penyebabnya adalah kiriman kelapa tersendat karena kemarau. Dalam sebulan, para pekerja hanya bekerja kurang lebih 10 hari saja. Mereka masuk tiap hari, namun tidak bekerja karena tidak ada kelapa. Setelah setahun berjalan seperti itu, mereka menuntut di PHK dengan pesangon melalui pengadilan.
Dalam pemeriksaan di pengadilan, hakim menemukan bahwa mereka tidak mempunyai perjanjian kerja dengan perusahaan. Sekalipun mereka dianggap pekerja borongan, hakim memutuskan, bahkan sampai Mahkamah Agung memutuskan bahwa para pekerja borongan tersebut dianggap pekerja tetap. Artinya dengan adanya PHK, perusahaan harus membayar pesangon 2 kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak, karena memakai undang-undang ketenagakerjaan lama.
Memang banyak perusahaan seperti perusahaan kelapa ini. Perusahaan telah melihat hubungan kerja melalui asumsi yang salah dan melalui mata ketakutan. Asumsi dan keyakinan itu membuat perusahaan bebas, tapi juga akhirnya kalah.
Bila terjadi seperti ini maka kontrak tersebut bukan kontrak borongan dan karenanya hubungan kerja otomatis menjadi tetap atau PKWTT. Sama seperti pekerja di perusahaan pemrosesan kelapa di Menado. Apalagi bila pekerjaan utama perusahaan adalah apa yang dilakukan oleh para karyawan tersebut. Bila masuk pengadilan, maka hakim akan memutuskan bahwa mereka seharusnya karyawan tetap. Selanjutnya perusahaan harus memenuhi hak-hak mereka seperti pesangon.
Kewajiban kita adalah menolak kesalahan tetap dipertahankan, menolak status quo, menolak tidak adanya perubahan.
Asumsi ketiga adalah bagaimana bila kontrak mereka bukan pekerja borongan, tapi kontrak pekerja waktu tertentu atau PKWT?
Kontrak, Bukan BoronganÂ