Ada kalanya nasib buruk menimpa Anda seperti tragedi di film-film, dan itu bukan buatan Anda sendiri. Seperti ketika Anda tiba-tiba disingkirkan oleh perusahaan, itu bukan salah Anda.
Bekerja di kawasan Bogor memang menyenangkan dibandingkan di kawasan padat industri. Udaranya segar dan lalu lintas tidak terlalu pada seperti di kota besar. Bekerja di tempat seperti itu, apalagi dengan atasan yang baik hati pada karyawan selalu menjadi favorit. Karena itu sebut saja Wati bekerja hampir 13 tahun, dengan segenap hati, tanpa hitung-hitungan. Dari masih amat muda sampai sudah mempunyai suami dan anak, Wati setia bekerja di bagian admin personalia.
Air tenang jangan dianggap tak berbuaya.Â
Manajemen yang baik hati jangan sampai dianggap selamanya membela karyawan. Hari itu di bulan Februari 2018, atasan Wati tiba-tiba memanggilnya dan memberinya surat mutasi, dari Bogor ke Bekasi. Tanpa sebelumnya menanyakan kesediaan atau keberatan Wati, manajemen memberitahu bahwa Wati harus segera bekerja di Bekasi. Harus?Â
Badai Tidak Berlalu, Haruskah Dihadapi?
Manajemen tak pernah memberitahukan kemungkinan ini sebelumnya. Asas terbuka, bebas, obyektif dan adil seperti amanat pasal 32 UU Ketenagakerjaan tak diterapkan dalam keadaan ini. Wati terkejut dan tidak pernah terpikir bahkan terbayang sebelumnya untuk bekerja di Bekasi, menempuh 4 jam dari rumah sampai ke tempat kerja. Wati harus hadapi badai ini.
Minggu depannya Wati pergi juga dengan segala badai kesulitannya. Ia melapor ke orang-orang yang tepat di kantor Bekasi dan sekaligus menyatakan keberatan. Bahkan begitu mendapat surat mutasi, Wati sudah mengirim surat ke direktur operasional. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Semua kesulitan Wati tidak ditanggapi dengan baik, badai tetap tak berlalu.
Tugas Utama Kita Semua Adalah Mendengarkan, Bukan Berbicara
Beberapa hari kemudian Wati memutuskan untuk menghadap ke disnaker Bogor dalam mengadukan permasalahannya. Mediator mendengarkan dengan baik dan memanggil perwakilan perusahaan juga. Seperti semua perusahaan, perwakilannya dengan tegas menyatakan bahwa tindakan mutasi adalah hak perusahaan. Tidak ada yang salah dengan keputusan mutasi. Semua itu hak istimewa perusahaan, karyawan harus menerima.
Memang bukan Wati saja, tapi juga semua karyawan yang menerima mutasi seperti itu tidak dapat melawan tindakan sepihak ini. Perusahaan selalu menang dan karyawan selalu kalah bila melakukan perundingan bipartit. Untungnya saat mediator tampil dalam perundingan tripartit, mediator mendengarkan dengan baik. Mediator membela Wati, namun ada satu hal yang keliru.
Di Sebuah Proses Yang Panjang, Setiap Manusia Bisa Lelah
Periode mediasi adalah 1 bulan sejak Wati mengajukan keberatan. Tentu saja selama itu perusahaan mengulur waktu. Perwakilan tidak datang ke mediasi, sampai habis periode itu. Nah disinilah titik kekuatan perusahaan.
Sepanjang satu bulan lebih Wati bekerja di Bekasi. Dapat dibayangkan waktu dan tenaga sudah terkuras. Di akhir satu bulan, mediator mengeluarkan permintaan, belum anjuran; Meminta agar perusahaan menjawab surat keberatan Wati. Saat itu tanggal 12 April dan mediator menyampaikan pada Wati agar tidak usah masuk kerja dulu di Bekasi, karena sedang mediasi. Wati yang sudah lelah bolak balik, jatuh secara mental, mempunyai sedikit kelegaan atas saran mendiator.Â
Manusia Umumnya Terlalu Cepat Percaya
Mendengarkan adalah hal yang magnetis dan aneh, kekuatan kreatif. Mediator yang mendengarkan Wati adalah orang-orang yang ia sukai. Saat Wati didengarkan, itu membuatnya kuat dan hatinya berbunga-bunga. Wati kembali di Bogor dan percaya atas anjuran mediator yang baik itu. Ia akan melawan manajemen dengan didukung oleh mediator. Di ujung jalan, Wati percaya kemenangannya dan sudah membayangkan akan kembali bekerja di kota hujan. Disinilah titik kesalahan Wati, terlalu cepat percaya.
Di Bekasi, manajemen sudah lama mengintai dan melihat celah ini. Suasana proses mediasi seperti air tenang. Namun Wati tidak sadar apa yang ada di dalam air. Begitu Wati tidak masuk kantor tanpa pemberitahuan, dengan cepat manajemen melayangkan surat panggilan yang sah dan patut, agar Wati masuk ke kantor Bekasi. Pemahaman Wati, ia tidak usah masuk karena mediator mengatakan begitu.
Saat Mengambil Keputusan, Saat Takdir Terbentuk
Jadi Wati memutuskan tidak masuk selama lima hari tanpa keterangan dan manajemen mengirimkan takdir, surat panggilan dua kali. Ini formula penting yang dipakai di seluruh Indonesia oleh perusahaan. Seharusnya semua karyawan tahu bahwa ayam berkokok harikan siang. Karyawan tidak masuk selama lima hari berarti dianggap takdirnya; mengundurkan diri, sederhana. Pasal 168 UU Ketenagakerjaan!
Perusahaan bersorak kegirangan menang. Wati akhirnya sudah tidak masuk selama lima hari. Dengan cepat perusahaan menyatakan Wati mengundurkan diri dan mengirimkan surat PHK. Surat  diterima oleh Wati pada tanggal 20 April. Habislah sudah proses mediasi dan perjuangan panjang Wati, sederhana.
Hidup Tak Selalu Baik, Kadang Sebaliknya
Wati maju ke pengadilan, tapi berdasarkan kenyataan lima hari yang melegakan itu percuma. Tali yang kuat, ujungnya longgar dapat dipakai untuk bunuh diri. Hakim hanya melihat akhir dari perjuangan, ujung yang longgar itu; Bukan perjuangan Wati, bukan itikad perusahaan di awal perselisihan.
Lebih dari itu hakim menyatakan bahwa mediator disnakertrans telah memberi keputusan melampaui kewenangannya, yaitu memutuskan agar 'Wati tidak usah masuk kerja', karena sedang proses mediasi.Â
Dadu telah dilempar dan Wati menjadi pecundang. Proses hidup dan perjuangan yang baik, berakhir sebaliknya. Percuma menyalahkan mediator. Nasi sudah menjadi bubur karena hakim memutuskan berdasarkan kebenaran bahwa Wati mangkir 5 hari. Karena itu Wati hanya berhak atas uang penghargaan masa kerja (UPMK), bukan pesangon.
Belajar Dari Hari Kemarin, Berharap Untuk Masa Depan
Dari seluruh soal-soal Wati di hari 'kemarin', sebenarnya kita tahu perusahaan bertindak sewenang-wenang di balik peraturan perusahaan. Di lain pihak, hakim terlihat mengabaikan seluruh fakta dan kurang memakai hati nurani. Di sisi Wati, seharusnya ia bisa banding, tapi karena bernasib buruk seperti di film-film Tapi Wati berhenti dan menerima takdir.
Banyak pertanyaan tersisa untuk masa depan. Di awal permainan yang dirancang perusahaan, sebenarnya apa niat manajemen memindahkan Wati dari Bogor ke Bekasi?Â
Dalam yurisdiksi putusan hakim di Pekanbaru, hakim membela karyawan. Hakim menyatakan bahwa mutasi sewajarnya berdasarkan dua hal.
Pertama, ketidak tersediaan orang yang ahli dalam bidang tertentu di lokasi yang dituju. Artinya mutasi Wati seharusnya karena berdasarkan tidak ada lagi pekerja yang ahli dalam admin personalia di Bekasi. Kedua, adanya kesepakatan. Bila karyawan tidak sepakat, maka seharusnya mutasi tidak terjadi dan putus hubungan kerja.
Setiap karyawan yang mendengar putusan hakim di atas, tahun 2019 itu masih punya harapan.
Setiap Orang adalah Kapten Kapalnya dan Penguasa Nasibnya, Benarkah?
Meskipun pasang surut adalah bagian dari kehidupan, kapten kapal haruslah dapat menguasai kapalnya, kecuali terjadi badai. Bukan hanya Wati, Titanic pun tenggelam. Semua tak bisa menghindar atas badai dan nasib buruk. Dan itu bukan semata-mata disebabkan kecerobohan seorang kapten kapal.
Sumber dari putusan nomor 46/Pdt.Sus-PHI//2019/Pn.Bdg dan 4/Pdt.Sus-PHI/2019/Pn.Pbr.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI