Mohon tunggu...
Jusak
Jusak Mohon Tunggu... Konsultan - Pelatih Hukum Ketenagakerjaan Pro Bono dan Direktur Operasional di Lembaga Pendidikan

Memberi pelatihan kasus-kasus ketenagakerjaan berdasarkan putusan hakim, teamwork, kepemimpinan. Dalam linkedin, Jusak.Soehardja memberikan konsultasi tanpa bayar bagi HRD maupun karyawan yang mencari solusi sengketa ketenagakerjaan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Isu Ketenagakerjaan yang Tak Pernah Tersuarakan dalam Perppu Ciptaker

15 Januari 2023   20:58 Diperbarui: 15 Januari 2023   21:10 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak perppu nomor 2 tahun 2022 tentang Ciptaker digulirkan pemerintah, sejumlah pihak langsung menyatakan perppu ini cacat formil. Ada yang langsung menggugat dengan suara keras ke MK dan mendapat hadiah nomor urut perkara 5 di tahun baru. Minggu berikutnya partai buruh berusaha menggerakan 10,000 massa melalui 9 poin tuntutannya. Semua ini menunjukan tak henti-hentinya muncul perasaan tidak adil dalam dada banyak pekerja atas tindakan pemerintah. Tapi benarkah suara-suara itu sudah mewakili perasaan dan kepentingan hidup sejumlah besar pekerja?

Menurut BPS, jumlah pekerja di Indonesia tahun 2022 adalah 55,06 juta orang. Sedangkan jumlah tenaga kerja di sektor industri menurut Menperin Agus Gumiwang ada 18,64 juta orang. Artinya kira-kira paling tidak sepertiganya bekerja sebagai buruh, seperti yang tampaknya ingin diwakili oleh partai buruh. Berarti masih 36 juta lebih pekerja yang mempunyai isu lain dan penting bagi mereka. Apa saja isu itu? 

Isu yang memang tak begitu relevan dengan buruh, tapi penting bagi sejumlah besar pekerja bukan buruh dapat kita ketahui melalui putusan pengadilan atau jurisprudensi. Salah satu isu yang kurang seksi tapi banyak diputuskan oleh Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) adalah perselisihan atas target. Intinya adalah perusahaan dapat melakukan PHK bila karyawannya tak capai target.

Dari sejak tahun 2003 sampai sekarang, pemerintah tidak pernah mengatur tentang target pekerja. Masalah ini diserahkan sepenuhnya pada perjanjian pengusaha dan pekerja. Tapi tidak pernah pekerja menentukan targetnya sendiri. Sebaliknya pengusaha dapat menentukan target setinggi-tingginya. Tentu target itu untuk kepentingan pemilik perusahaan dan menurut pengusaha untuk dapat menggaji pekerjanya.

Penentuan target ini tentu tak pernah transparan. Dari mana asalnya target dan berapa keuntungan pengusaha atas target ini tak pernah disampaikan dengan terang benderang pada pekerja. Akibatnya manfaat terbesar dari pencapaian target adalah bagi pengusaha, sedangkan manfaat minimal yang sesuai undang-undang bagi pekerja. Alhasil pekerja yang sudah bekerja keras tetap saja tak mendapatkan pembagian keuntungan perusahaan dan menurut pengusaha, pekerja sudah cukup mendapat gaji.

Pekerja yang terus menerus mencapai target logikanya tetap ada batasnya. Force majeure seperti pandemi, bancana alam, peraturan pemerintah yang berubah akan mengancam kelangsungan pencapaian itu. Bila target tak tercapai, pengusaha akan segera melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan memberi pesangon sesuai peraturannya.

Untuk menghindari pelanggaran hukum bila pengusaha harus melakukan PHK dan memberi pesangon kecil, pengusaha memasukan target, mekanisme dan peraturan dengan serinci mungkin di dalam peraturan perusahaan. Secara hukum perjanjian, tindakan ini tak melanggar undang-undang, karena disepakati kedua pihak, pengusaha dan pekerja dan tampaknya adil. Tapi benarkah?

KISAH PERSELISIHAN PHK 

Kasus seorang karyawan dengan posisi kolektor dalam perusahaan keuangan di Pekanbaru menceritakan kisah perselisihan PHK yang dianggap tak adil. Pengusaha yang telah menggunakan kewenangan menetapkan target dengan rinci, termasuk sanksinya bila tak tercapai di peraturan perusahaannya dan telah disahkan oleh dinas ketenagakerjaan. Selama 8 tahun bekerja, sang kolektor telah bekerja keras mencapai target. Namun tiba-tiba terjadi pandemi Covid-19 dan keadaan ekonomi terguncang.  

Di tahun ke-9 karyawan itu bekerja di perusahaan, sang karyawan tak sanggup mencapai target. Seperti panas setahun dihapuskan oleh hujan sehari. Sehubungan dengan itu perusahaan dengan tiba-tiba melakukan PHK dan memberi pesangon tidak sesuai undang-undang, tapi sesuai peraturannya sendiri dimana jumlahnya jauh lebih rendah dari ketentuan perusahaan. Ada dua pertanyaan penting disini, bisakah perusahaan melakukan PHK karena karyawan tak capai target dan bisakah perusahaan memberi pesangon di bawah ketentuan undang-undang. 

Si karyawan tidak terima di PHK karena tak capai target, dengan alasan karena keadaan ekonomi yang amat berat akibat pandemi. Namun bila memang harus di PHK, karyawan itu menginginkan perusahaan memberi pesangon PHK dengan alasan untuk mencegah kerugian perusahaan. Atas dasar itu pengusaha seharusnya memberi pesangon sebesar 1 kali dari ketentuan.

Namun hakim dalam putusannya nomor 65 tahun 2022 di pengadilan Pekanbaru membenarkan tindakan pengusaha melakukan PHK. Alasannya adalah kedua pihak telah sepakat dan ketidakmampuan pencapaian target adalah tindakan pelanggaran peraturan perusahaan. Jadi isu ketidakadilan dalam ketenagakerjaan adalah perusahaan dapat melakukan penetapan target sepihak dan sewenang-wenang tanpa kontrol.

Hanya saja hakim tidak setuju jumlah pesangonnya di bawah ketentuan undang-undang. Jumlahnya harus berdasarkan alasan pelanggaran peraturan perusahaan. Atas dasar itu, pengusaha harus memberi pesangon sebesar 0,5 dari ketentuan.

ISU YANG BELUM TERSUARAKAN

Tindakan hakim harus diacungi jempol. Keadilan dan kebenaran yang ditetapkan amat masuk akal. Namun hal ini seperti tumpukan jerami yang ditaruh di atas bara api. Jauh di dalam jerami semua pekerja berdasarkan target pasti setuju bahwa masih ada ketidak adilan disini. Semua pekerja seluruh Indonesia dapat menerima target amat tinggi yang tak wajar dari pengusaha.

Inilah isu ketenagakerjaan yang berdampak pada semua tenaga penjual dengan target. Ini ketidak adilan yang dialami sekelompok pekerja, yang menurut sebuah situs medium.com, jumlahnya di Indonesia sekitar 12 juta orang. Lalu siapa yang harus menyuarakan ketidak adilan ini? 

https://medium.com/@ahop/ada-berapa-jumlah-orang-di-divisi-sales-di-indonesia-47e260515782

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun