Mohon tunggu...
Juru Martani
Juru Martani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

@jurumartani.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Masih Relevankah Istilah PKL?

19 Mei 2014   21:43 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:21 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata kenyataannya tidak begitu juga. Istilah PKL sekarang dipakai untuk mengeneralisir semua pedagang kecil yang suka melangggar aturan.

Bila merunut sejarahnya, bahwa istilah PKL diambil dari cerita pedagang yang menggunakan gerobak dan menempati lokasi yang seharusnya untuk pejalan kaki (trotoir), kini semakin bias. Sebagai contoh adalah para PKL yang ditertibkan di daerah pasar Tanah Abang beberapa waktu lalu.

Hampir seluruhnya tidak memiliki gerobak dorong sebagai alat bantu dalam menjalankan usahanya. Mereka menggelar lapak sebagai tempat berjualan, membangun tenda-tenda plastik yang semipermanen, yang tidak hanya berada di atas trotoar namun sudah melebar sampai ke aspal, dan bahkan hingga menguasai lebih dari setengah lebar jalan umum.

Atau bila dikaitkan dengan besarnya modal kerja yang digunakan, bisa jadi para PKL di Tanah Abang ada yang memiliki modal kerja sampai ratusan juta rupiah. Apakah mereka ini masih layak disebut PKL?

Dasar Hukum PKL

Lalu bagaimana awalnya istilah PKL menjadi legal dan dijadikan acuan hingga kini?
Istilah PKL muncul pertama kali di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 41 Tahun 2012 , yaitu TENTANG PEDOMAN PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KALI LIMA.

Di dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1 dengan jelas disebutkan bahwa:

Pedagang Kaki Lima, yang selanjutnya disingkat PKL, adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau
swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.

Dalam terminologi di atas sama sekali tidak disebutkan adanya gerobak atau kereta dorong atau apa pun yang dapat dianggap berkaki 3. Menurut saya, ketentuan di atas tidak jelas sasaran dan menimbulkan persepsi yang berbeda-beda. Bukankah sebuah peraturan harus jelas dan lugas, juga mudah dibaca dan dimengerti oleh masyarakat luas?

Sebagai contoh pada kata 'pelaku usaha' adalah bermakna terlalu luas. Pelaku usaha yang mana? Para konglomerat juga pelaku usaha bukan? Seharusnya bisa lebih mengerucut dengan merujuk pada Undang Undang No. 20 Tahun 2008, mengenai kriteria pengusaha sesuai dengan besar modal usahanya.

Bukankah para pengusaha besar juga tidak jarang menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dalam menjalankan bisnisnya? Namun tentu mereka telah memperoleh ijin pelaksanaan kegiatan dari instansi terkait.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun