Beberapa waktu lalu media diramaikan dengan statement yang datang dari Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang mengatakan, jika saat ini terjadi perang, Indonesia hanya sanggup berperang selama tiga hari. Pernyataan ini dinilai beberapa pihak seperti membuka kelemahan pertahanan keamanan (hankam) Indonesia di depan umum serta melemahkan mental para prajurit.
"Pernyataan Ryamizard seolah-olah menyetujui data dari militer dunia," tegas anggota Komisi I DPR Sukamta kepada media di Jakarta, Minggu (22/2/2015)
Tidak ada yang bisa memastikan apakah pernyataan ini hanya serta merta terlontar atau sebuah bentuk keprihatinan atas realitas yang terjadi. Banyak pihak menduga hal ini berkaitan dengan minimnya ketahanan energi di Indonesia. Memang ketahanan di dalam sebuah perang tidak serta merta hanya melibatkan faktor pertahanan fisik semata.
Padahal pertahanan fisik berupa kekuatan armada TNI sejak tahun 2014 bisa dibilang cukup meningkat. Mantan Presiden SBY telah menyetujui anggaran US$ 15 Milyar untuk belanja dan modernisasi alutsista. Bahkan jumlah yang digelontorkan untuk pengadaan alutsista periode 2015-2019 bisa meningkat hingga US$ 20 Milyar. Sementara dalam Rencana Strategis Anggaran (Renstra) TNI periode 2015-2019 mencatat, TNI AU rencananya akan menambah sedikitnya 3 skuadron jet tempur tangguh. Untuk armada laut, paling tidak perlu tambahan 30 KCR, 10 Korvet dan 8 Fregat. LPD juga dirasa masih kurang, masih perlu 4-5 unit lagi apalagi jika diperlukan untuk mobilisasi MBT. Kapal selam jelas masih perlu tambahan 3-4 unit lagi. Sedangkan untuk matra darat akan diperkuat dengan tank kelas berat, tank medium dan panser. Ditambah pula dengan pengadaan rudal SAM jarak sedang, MLRS dan Howitzer untuk batalyon artileri dan batalyon rudal. Heli tempur seperti Mi35 dan Apache atau yang setara dengannya, perlu juga ditambah payung tempur untuk TNI AD.
Patut disyukuri juga bahwa Industri Pertahanan (Inhan) dalam negeri ternyata sudah mampu memproduksi Panser canon, Tank medium, kapal Light Fregat dan Kapal selam sendiri. Artinya pengadaan alutsista strategis kecuali jet tempur sudah dikuasai oleh industri hankam dalam negeri. Dengan kata lain pada periode renstra 2015-2019 itu 70% kekuatan militer kita sudah based on industri hankam dalam negeri.
Pemakaian Inhan dalam negeri merupakan sebuah sinyal baik seperti yang diungkapkan oleh Direktur Utama PT Dahana, Harry Sampurno di berbagai media tahun 2014 lalu bahwa lemahnya kekuatan Indonesia disebabkan peralatan perangnya yang sebagian besar masih berasal dari impor jadi negara lain mengetahui kuantitas dan kualitas senjata yang dimiliki Indonesia.
"Mereka (negara asing) tahu Indonesia kalau perang dua hari selesai karena ketahuan jumlah pembelian berapa roket dan pelurunya" pungkasnya.
Realitanya meski belanja alutsista semakin meningkat, kita masih jauh tertinggal. Tidak perlu berbicara tentang kekuatan militer raksasa USA atau Rusia. Di tingkat regional saja, Cina misalnya, sudah membangun kekuatan militer besar-besaran, Korea Utara cukup maju dengan rudal canggihnya dan Korea Selatan dengan kapal selam mutakhirnya bahkan India pun kini tampil makin matang dalam militer. Mungkin masih segar dalam ingatan saat jet tempur Sukhoi India melakukan patroli di Andaman dan tertangkap radar militer kita akhir tahun 2011 yang menghadang hanya 4 jet Hawk 200 dari Pekanbaru. Itupun harus berhenti dulu di Pangkalan Udara (Lanud) Iskandar Muda Banda Aceh untuk ambil nafas alias isi avtur dan secara militer jelas itu kalah jauh.
Maka untuk menyikapi visi misi Kabinet Kerja Presiden Jokowi yang ingin Indonesia menjadi poros maritim dunia. Pertanyaannya, apakah bisa dilakukan dengan sistem pertahanan Indonesia yang cuma sanggup berperang selama 3 hari? Boleh jadi ucapan Menhan tentang hanya mampu perang 3 hari adalah bentuk sindiran halus bahwa Indonesia sudah darurat energi dan sudah harus memikiran untuk membangun cadangan energinya karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan peta pergolakan politik regional maupun global di masa mendatang.
Menilik kondisi saat ini saja, 4 kapal perang AS yang disebut LCS ditargetkan akan beroperasi di Singapura pada tahun 2018 dan sejak tahun 2012 lalu, Sekretaris Menteri Pertahanan AS Leon Panetta memang telah mengumumkan bahwa Washington akan menggeser sebagian besar armada angkatan lautnya ke Pasifik pada tahun 2020 sebagai bagian dari fokus strategis baru di Asia.
Sementara Cina terlibat dalam sengketa maritim dengan empat negara Asia Tenggara – Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam – serta dengan Taiwan atas klaim teritorial di Laut Cina Selatan. Cina memandang perairan tersebut sebagai halaman belakangnya yang kemudian dimasukkan dalam peta maritim Cina 1992 yang meliputi sembilan titik tak terputus (dash line) di Laut Cina Selatan yang menegaskan klaimnya dan sampai saat ini sengketa tersebut belum menunjukkan penyelesaian.
Memang Indonesia tidak bersengketa secara langsung tapi jangan lupakan dalam nine dash line, ada wilayah Indonesia yang pernah diklaim Cina dan bahkan sempat dimasukkan ke dalam passport negaranya tahun lalu. Wilayah tersebut adalah Kepulauan Natuna, yang digadang menyimpan cadangan gas terbesar di dunia. Ini menunjukkan sebenarnya besar peluang bagi Indonesia untuk terkena imbas (spill over) dari sengketa itu. Ingat beberapa waktu yang lalu, TNI AL sempay memperketat penjagaan di Natuna dengan menerjunkan beberapa kapal patroli tambahan.
Benarkah ketahanan energi menjadi bargaining power utama didalam perang? Sudah sejak lama sumberdaya energi memang menjadi barang yang diperebutkan banyak negara, khususnya minyak serta gas bumi dan tidak jarang peperangan dan konflik dipicu karena persoalan ini. Negara-negara seperti Venezuela, Rusia, Bolivia, dan Iran telah menunjukkan powernya menggunakan isu energi untuk meningkatkan bargainingnya dengan negara lain. Rusia misalnya, menggunakan energi sebagai senjata andalannya untuk menjaga pengaruhnya di negara-negara persemakmuran (eks Uni Soviet) dan negara Uni Eropa yang 50% pasokan minyaknya berasal dari Rusia.
Sementara para pemikir strategi AS pernah memiliki sebuah pandangan bahwa siapa pun yang menguasai minyak Teluk Persia akan menguasai ekonomi dunia, memiliki posisi tawar yang lebih atas semua negara kompetitor lainnya. Hal senada juga pernah disampaikan oleh Presiden Amerika saat itu, Richard Nixon yang mengatakan, ”Sekarang ini, siapa yang menguasai kawasan Teluk Arab dan Timur Tengah,maka dia akan menguasai dunia ini. Dan kawasan ini pada suatu hari akan merasakan kemakmuran yang luar biasa dan dia bisa mengendalikan nasib dunia ini dengan jari-jarinya”. Sedangkan Presiden Amerika lainnya, Jimmy Carter pernah mengungkapkan kepada penasehatnya, ”Kalau saja Tuhan menjauhkan minyak Arab sedikit saja ke Barat, niscaya masalah kita akan lebih mudah.” Hal itu membuktikan bahwa sumberdaya energi bisa dijadikan alat politik yang efektif bagi negara-negara adidaya.
Ini juga mengingatkan kita kepada tulisan ekonom AS, Larry Lindsey, dalam Wall Street Journal (15/9/2002), yang menyatakan AS menyerang Irak karena minyak. Sepuluh tahun lagi, untuk pertumbuhan ekonominya, China, Uni Eropa, dan Jepang akan amat bergantung pada minyak kawasan Teluk Persia dan Laut Kaspia. Di kawasan Laut Kaspia, Rusia juga sedang meluaskan pengaruhnya.
Pusat Riset dan Pengembangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memperkirakan cadangan energi fosil berupa minyak dan gas bumi Indonesia diperkirakan semakin berkurang dan habis pada 2025. Sementara US Geological Survey Oil and Gas Journal, 1995 – 2000 lalu dalam laporannya memperkirakan, cadangan minyak bumi Indonesia mulai menipis, yang kini diperkirakan hanya tersedia untuk jangka waktu sekitar 15 tahun. Hitungan tersebut dengan asumsi tingkat konsumsi tinggi seperti sekarang, yang berada pada kisaran tingkat pertumbuhan konsumsi 5-6 persen setahun. Perkiraan itu bisa lebih parah lagi kalau pola hidup dari masyarakat Indonesia yang sangat boros dalam penggunaan energi fosil ini masih dipertahankan. Sulit dibayangkan apa yang terjadi pada negeri ini jika mengalami kekurangan pasokan energi yang berkepanjangan.
Padahal negara lain seperti Amerika juga telah bertindak sangat pintar dengan mengamankan cadangan energinya. Penemuan shale gas di Amerika Serikat secara signifikan telah membawa berbagai dampak secara sosial, politik dan ekonomi bukan saja di dalam negeri tetapi secara global. Pengembangan shale gas dan tight oil di AS telah mengubah pasar energi global. AS kini sama sekali tidak mengimpor LNG lagi bahkan menjadi eksportir. Rusia yang memiliki cadangan energi terbesar di dunia bahkan telah berekspansi melakukan pengeboran minyak hingga ke wilayah Arktik (Kutub Selatan). Negara besar di Asia seperti Cina juga telah melakukan pengeboran hingga ke Teluk Persia dan Laut Kaspia. Cina juga menyimpan cadangan gasnya dan memutuskan mengimpor gas untuk kebutuhan masyarakatnya.
Maka tidak ada salahnya jika Indonesia menanggapi pernyataan Menhan sebagai ‘early warning’ dan mengambil sikap antisipasi sedini mungkin dengan membenahi sistem cadangan energi kita. Seperti yang diucapkan dengan gamblang oleh Mantan Panglima TNI Moeldoko yang dikutip dari laman intelijen.co.id
“Akan percuma kita beli (tank) Leopard, pesawat tempur kalau tidak ada bahan bakarnya, karena hanya bisa dipanasi, itupun memakai matahari,” bebernya usai Talkshow TNI Mendengar di Mabes TNI, Cilangkap, Kamis (12/3/2015).
Indonesia harus secepatnya mengoptimalkan cadangan energi baru dan terbaharukan seperti energi dari nabati (bioetanol), arus laut, angin, panas bumi, tenaga surya dan juga ombak. Tidak ada salahnya jika Indonesia mulai berbenah diri melirik potensi energi lain seperti energi nuklir dan mineral yang ada di dasar laut dan sebagainya. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Brazil, China, India dan beberapa negara Eropa sudah bersiap-siap untuk mengatasi pasca habisnya minyak bumi. Mereka sudah mulai memanfaatkan etanol dan biodiesel sebagai alternatif pengganti energi minyak bumi mereka.
Bisa diibaratkan politik energi masa depan selayaknya teori ayam dan telur, dimana perang di masa depan dilakukan dengan tujuan politik mencari bahkan merebut cadangan energi karena jelas siapa yang memiliki cadangan energi besarlah yang akan memainkan peran paling strategis dalam percaturan politik dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H