DI ruang pers berkumpul belasan wartawan. Penuh sekali ruangannya karena jarang mereka bersatu semacam ini. Siang itu, mereka akan mengikuti acara konferensi pers.
Di tengah gelak tawa, tiba-tiba datang seorang wanita yang wajahnya baru pertama kali itu terlihat di ruang pers. Kontan, semua wartawan terdiam.
Semua wartawan berpikir wanita ini ingin mengadukan sesuatu. Soalnya, sebelum-sebelumnya juga begitu. Tiap ada warga yang datang, pasti merupakan korban kekerasan rumah tangga, seks, atau kasus kriminal lainnya. Dan masing-masing ingin dibantu melalui publikasi.
Itu pertanda bagus. Menjadi salah satu gejala bahwa mereka sangat percaya kepada media pers. Media mereka jadikan saluran untuk menyampaikan aspirasi atas ketidakadilan yang mereka terima. Dengan demikian, khalayak mengetahuinya untuk kemudian bisa mengambil pelajaran dan pengambil kebijakan pun bisa mencatat untuk selanjutnya jadi bahan pembuat kebijakan. Kira-kira begitulah.
Tapi, ternyata wanita yang baru datang tadi bukan ingin mengadu. “Aku wartawan,” katanya untuk memperkenalkan diri.
“Ooooo, kirain siapa,” kata si Sengkluh, seorang wartawan dari media nasional. “Masuk aja, mbak.”
Mendapati keramahan para wartawan, si mbak itu pun masuk. Lalu, duduk dekat pintu. Kelihatan dia baru pertama kali datang ke ruang pers, soalnya celingak-celinguk terus. Seakan-akan tidak enak hati di antara wartawan-wartawan pria.
“Dari mana, mbak,” kata si Sengkluh.
“Dari rumah, dik,” kata si mbak.
Mendengar jawaban itu, sebagian wartawan tertawa. Mereka menertawakan si Sengkluh. Sepertinya mereka puas sekali melihat si Sengkluh dikerjai orang.
“Maksud saya, dari media mana, mbaknya, gituuuuhh,” kata Sengkluh.