Saya pernah mengalami lebih baik bolak-balik Jakarta-Bandung untuk kerja daripada Depok-Kelapa Gading, dua-duanya saya bekerja di sana. Waktu tempuhnya sama-sama dua jam-an. Bahkan kerap lebih lama dari Kota Satelit ke tempat kerja di Jakarta.
Hanya saja Jakarta-Bandung naik shuttle travel-waktu 2011 masih murah-dengan teman mengobrol yang menyenangkan dan pemandangan di jendela yang tidak membosankan, sekalipun lebih mahal. Kebetulan Baraya waktu itu buat pool di Cinere hanya jalan kaki dari rumah dan tempat kerja di Bandung begitu turun di Pasteur, naik sekali angkot ke Naripan dekat alun-alun.Â
Saya berangkat subuh dan tiba di Bandung sekitar pukul delapan pagi, pulang jam tujuh malam dan tiba di Cinere sekitar setengah sepuluh malam. Transport dibiayai oleh teman yang punya majalah. Â Saya pulang dua kali seminggu dan pergi maupun pulang tidak waktu weekend.
Produktivitas lebih baik, semangat kerja lebih baik, karena lingkungan di Bandung berdasarkan pengalaman saya lebih baik, teman sekantornya lemah lembut dan santun. Makan banyak pilihan. Kalau menginap bisa di kantor atau rumah teman saya atau rumah adik saya.
Kebetulan medianya tentang pariwisata, hingga week-end justru kerja di Bandung, pulang Senin malam besoknya berangkat lagi dan pulang kamis pagi, Jumat pagi berangkat lagi. Â Sayang hanya sekitar tiga bulan, karena ada masalah miss management. Â
Saya kerap bertemu dengan sesama pekerja yang rumah di Jakarta dan kerja di Bandung atau sebaliknya bahkan mereka setiap hari-saya juga pernah berapa hari pulang-pergi. Â Mereka merasa tidak penat, karena tidak menyetir mobil. Karena pulang-pergi bukan pada jam sibuk, maka dua jam tidak melelahkan atau bikin bete. Â Tidak pernah merasa jompo atau uzur waktu itu walau usia kami di atas 30 tahun.Â
Yang bikin kesal ialah kok bisa pulang-pergi dari Kelapa Gading-Cinere sama waktunya dengan Jakarta-Bandung? Saya naik bus AC antara 2002-2006 dan 2008-2011, kerap tidak duduk kalau jam sibuk, bus AC dan busnya jarang hingga waktu tunggunya lama. Macet ya pasti, apalagi kalau hujan deras pernah sampai tujuh jam berdiri di dalam bus walaupun AC.
Ongkosnya memang memang lebih murah sekitar Rp20-30 ribu, dari Cinere-Kelapa Gading naik bus Patas AC dan masuk ke dalam naik angkot lagi dua kali, turun di Fatmawati naik angkot lagi dua kali. Untungnya penumpang Patas AC 135 karena itu-itu saja saling kenal hingga bisa mengobrol juga sambil menunggu bus, tetapi perjalanan membosankan pemandangannya bikin sumpek.
Ada Transjakarta mengurangi masalah keamanan, tetapi tidak mengurangi waktu tempuh tetap saja macet. Â Akses ke Transjakarta dari kantor Kelapa Gading juga pakai angkot. Begitu juga akses ke Transjakarta. Jadi ini sama dengan persoalan mengapa orang malas naik kendaraan umum, akses naik ke kendaraan umum itu. Â Ongkos lebih murah dan pegal sama saja.
Selanjutnya saya nggak pernah kerja lagi dengan karap cukup jauh, masih di Jakarta Selatan dan bisa menginap di kantor dengan akses tempat makan yang sama waktu kerja di Bandung. Â Jadi pulang dua kali seminggu.Â
Berapa tahun belakangan ini bisa kerja dari rumah karena bisa menulis karena internet semakin baik dan ke kantor juga alau ada rapat atau lagi liputan. Keberadaan ojek online bisa membantu memangkas waktu. Memang hybrid, sebagian WFH dan sebagian di kantor juga solusi.
Kuncinya ternyata umumnya tempat bekerja mereka yang ada di Kota Satelit dengan kantornya umumnya terpusat di lokasi tertentu, seperti Jakarta Pusat, atau daerah bisnis seperti Kelapa Gading, Jakarta Barat yang untuk kos di sekitar tempat itu mahal.
Sementara kota satelit seperti Depok dan Bekasi jalan-jalannya kecil dan macet pula. Jadi pada jam sibuk, sudah macet di Jakarta, macet juga di kota satelit. Â Praktis Depok atau Bekasi hanya kota dormitory (hanya untuk tidur).
Kalau di Bandung agak beda, sebaran tempat kerja lebih merata, hanya saja jalan-jalannya kecil dan rasio kepemilikan kendaraan bermotor dengan populasi nyaris setara.
Sementara Jakarta rasionya memang kurang tetapi arus kendaraannya melalui jalan-jalan itu saja, seperti Jalan Rasuna Said, Sudirman-Thamrin, Gatot Subroto, Pasarminggu, walau lebih besar, tetapi kendaraan lewat lebih banyak. Â Ada MRT memang ada pengaruhnya tetapi saya kira untuk akses Lebak Bulus- Thamrin. Â Itu pun bagi yang mau.
Kehilangan gairah untuk olahraga? Ya, tentu saja. Kalau di Bandung, suntuk bisa kabur ke Taman Hutan Raya Djuanda atau Babakan Siliwangi. Â Masih ada hutan kota yang segar. Ruang Terbuka Hijau di Bandung 12 persen.
Kalau Jakarta, ya bisa di Senayan, selebihnya harus jogging di udara  polusi dan saya biasanya olahraga kalau menginap di kantor paginya atau sorenya. Ruang Terbuka Hijau di Jakarta 5 persen.
Harus Kompasiana tanya sama yang kerja dan tinggal di Yogyakarta apakah ada problem yang sama? Apa mereka menghabiskan waktu satu jam di jalan. Jangan-jangan tidak.
Jangan-jangan jompo sebelumnya waktunya adalah problem Jakarta dan sekitarnya, mungkin juga di Surabaya dan Medan. Â Tetapi coba tanya dengan yang di Padang atau ibu kota yang lebih kecil atau kota seperti Malang.
Problem mungkin bagi yang tinggal di Bandung adalah kuliah di kawasan Jatinangor-tetapi ada Jalan Tol sih, saya pernah coba dengan Bus Damri tidak terlalu macet karena ada akses tol, sementara kuliah di dalam kota sekitar Dipati Ukur problem bagi mereka yang tinggal di pinggiran Bandung.
Untuk Jakarta, mereka yang kuliah di UI atau kampus lain di Lenteng Agung-Margonda, ada kereta commuter memang ramai tetapi mengurangi waktu tempuh dan relatif nyaman, sementara naik bus macet di jalan pada jam sibuk karena singgungan dengan mereka yang kerja.
Kalau yang dari kota satelit kuliah di Jakarta wah, problemnya pasti sama yang kerja di Jakarta. Iya,solusinya memang mengurangi jumlah kendaraan dan memperbaiki moda transportasi massal.
Namun menyuruh lebih banyak warga pemilik kendaraan umum butuh waktu dan harus dicontohkan oleh pejabat itu sendiri. Saya nggak pernah bertemu anggota DPR atau pejabat negara di MRT atau Transjakarta.
Irvan Sjafari
Sumber Foto: Â https://bandung.kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H