Suatu hari Desember 1994, saya memanfaatkan liburan dari kantor untuk pergi ke Malang untuk sebuah proyek pribadi mewawancarai para pengusaha pribumi yang mampu bertahan sejak masa Hindia Belanda hingga masa itu.
Lalu saya ngobrol dengan rekan wartawan  dari Surabaya, irit naik apa ya? Ekonomi saja ke Malang seperti para pencinta alam? Kira-kira begitu pertanyaan saya dengan lugunya, karena belum pernah ke Jawa Timur.
"Jangan, itu menyiksa diri, 27 jam baru sampai. Ikut saya saja ke Surabaya dulu, naik kereta bisnis sudah itu naik kereta ke Malang. Ya memang mahalan sedikit, sampeyan bukan pencinta alam mau naik gunung," selorohnya.
Opsi ini saya ini saya pilih. Benar, nyaman dan saya tidak pernah merasakan sengsaranya naik kereta api ekonomi tahu  itu terutama musim mudik menjelang hari raya. Liburan sambil mengerjakan proyek pribadi mulus dan pulang naik bus AC mahal sih, tetapi tidak mengalami cerita buruk dari mulut ke mulut.
Kereta Ekonomi tepatnya kereta rakyat bahkan saya hindari walau ke Bandung masa itu, gara-gara nonton film" Cinta Pertama "1973, diajak ayah dan ibu kalau nggak salah lihat tokoh utama Slamet Rahardjo dan Christine Hakim naik kereta pakai kursi rotan.Â
Saya pernah mengalami waktu kecil diajak orangtua naik kereta yang kursinya masih rotan tahun 1970-an. Karena dipangku sih, makan, minum terjamin, lalu ke toilet diantar nyaman-nyaman saja. Nggak tahu ayah dan ibu yang waktu itu sudah punya tiga anak.  Tetapi ketika kereta api parahyangan bisnis beres sejak 1980-an dan 1990-an  barulah nyaman.
Tetapi 1980-an, 1990-an hingga 2000-an sebelum ada travel naik Kereta Api Parahyangan bagi saya jadi rekreasi sendiri.  Antrilah di loket (seperti kata band P. Project gambaran yang saya alami), terutama setelah Stasiun Gambir-waktu sudah layang- begitu juga di Bandung lalu makan  sambil menunggu waktu kereta datang.Â
Bagi saya kelas bisnis Kereta Api Parahyangan  sudah nyaman dengan hampir 4 jam perjalanan  termasuk berdiri nggak masalah.  Pergi sendiri karena berlibur atau kerjaan merupakan keasyikan karena bisa menambah teman baru, mengajak mereka yang pergi sendirian mengobrol. Â
Bahkan waktu pulang ke Jakarta sering iseng intip di loket ada mahasiswi ITB atau Unpad pulang ke Jakarta, nah saya beli tiket dekat mereka dan ajak ngobrol. Modus sih.
Tahun 1995 saya sudah kerja sebagai jurnalis kenalan sama anak Plannologi ITB 1993 atau 1995? Â Namanya kalau nggak salah Anne Cihe, karena saya waktu itu liputan perkotaan ya, nyambung ngobrolnya dari Stasiun Bandung ke Stasiun Jatinegara tempat dia turun tidak terasa berdebat soal tata kota Bandung, saya dan dia kayaknya sepakat, bisa-bisanya kota yang ada ITB, tetapi semberawut.Â
Kami juga ngrobrol hingga pola-pola perkotaan, saya baca buku di British Council soal Tata Kota dan catatannya saya perlihatkan ternyata cocok dengan kuliah dia.  Anne juga cerita soal Ospek, dia diminta seniornya  jadi pedagangan gerobak biar merasakan penderitaan rakyat kecil. Bagus juga idenya.  Nggak terasa tiga setengah jam habis tanpa terasa.
Sampai-sampai saya ikut turun-seharusnya di Gambir, bela-belain mengantarkan dia dapat taksi. Dia ke Bekasi, baru saya pulang ke Cienere, Depok. Â Iseng banget. Belakangan saya tahu mengapa dia open, karena tahu saya wartawan dan dia juga punya kakak wartawan televisi.
Kereta kita segera tiba, di Jatingera kita kan berpisah  Berilah nama, alamat serta, lirik lagu Juwita Malam yang jadi bahan obrolan.
Ditindaklanjutin? Dideketin? Nggak juga. Memang waktu saya cuti ke Bandung berapa bulan kemudian datang ke kosnya kasih majalah, dia terkejut, tapi sudah. Senang ngobrol saja. Sudah itu lupa.
Tahun 1990-an naik Jabodetabek? Ngeri-ngeri sedap. Memang sumpek, kumuh,tidak hygenis tetapi banyak cerita yang didapat karena kantor di dekat Stasiun Jayakarta pulang naik kereta ke Pasarminggu. Begitu juga kalau liputan.
Saya sih toleran terhadap pengamen dan pedagang asongan yang berseliweran, tetapi ketika ada anak kecil memegang batu ditangan smabil minta duit reseh juga.  Kasih sih, tetapi masih kecil kok begitu?  Lalu Mei 1998, ketika  gas air mata ditembakan  masuk dalam gerbong Jabodetabek  seorang rekan saya ke kantor dengan mata nyaris tidak melihat.
Saya nggak tahu kenapa aparat menembakan gas air mata ke gerbong, mungkin ada demonstran menimpuk dari atas kereta di jembatan layang ke bawah. Untung nggak ada korban. Yang menimpuk juga salah dan aparat menembak juga salah, karena yang tidak ada kaitannya bisa kena.
Cerita bagusnya kalau ramai-ramai naik kereta jabodetabek, ketika sama-sama teman-teman PMR SMAN 28 ke Kebun Raya Bogor, berbagai bekal, begitu juga dengan teman-teman kantor.
Kalau zaman now. Ketika naik kereta komuter maupun jarak jauh sudah membaik termasuk kelas ekonomi. Â Tepatnya ketka KAI di bawah Iganatius Jonan sejak 2009.
Sayangnya, kereta api parahyangan mendapatkan saingan yang lebih  efsien akibat hadirnya Jalan Tol Cipularang yang diikuti jasa shuttle travel membuat perjalanan ke Bandung terasa main-main karena hanya dua jam. Berangkat hari pagi dan malamnya pulang. Pemandangan terutama setelah Purwakarta juga lebih indah. Ada Rest Area untuk sekadar ngopi lima belas menit.
Bahkan lebih nyaman Pulang Pergi Jakarta Bandung daripada Kelapa Gading-Cinere yang waktunya tiga jam, bahkan pernah tujuh jam karena macet dan hujan. Saya pernah kerja
Hanya saja ada yang berubah, saya seperti kehilangan mengobrol dengan sesama penumpang ketika naik shuttle, apa karena jadi lebih individual  atau memang zaman berubah karena era digital.  Mereka asyik dengan Blackberry dan ponsel androidnya dengan Facebook dan belakangan WA. Akhirnya saya juga.
Naik kereta jarak jauh saya alami ikut rombongan nikahan sepupu ke Madiun pada 2007 naik Gajayana Eksekutif, lalu Agustus 2015 ada tugas sebuah majalah wisata ke Yogyakarta, yaaa...karena eksekutif ya nyaman-nyaman saja. Masih beli di loket. MCK bagus itu yang terpenting, perjalanan malam dan tiba di Yogyakarta dini hari.
Sayangnya saya tidak berani beli tiket pulang sekalian karena takutnya liputan jadwal molor dan benar. Akibatnya pulang naik bus karena kehabisan tiket.
Nah, baru September 2023 naik kereta api ekonomi Jayabaya ke Malang untuk suatu urusan pribadi. Pesan lewat online yang baru saya lakukan jadi tahu tanggal berapa yang penuh. Sampai di Stasiun Senen saya beli tiket pulang-pergi belajar  pengalaman ke Yogykarta. Ingin merasakan sih.
Pada waktu ini KAI sudah dipimpin Didiek Hartantyo, yang kabarnya sudah membawa banyak perbaikan termasuk di kereta ekonomi. Jadi ingin tahu seperti apa perubahannya. Benarkah Mendidiek lebih baik?
Perjalanan pribadi untuk urusan pribadi ini mengingatkan saya pada lagu penyanyi favorit saya Yura Yunita: Kuampiri Engkau Meskipun kau jauh. Sendiri kutempuh hanya untuk bertemu denganmu.Â
Ternyata, kereta ekonomi nyaman kok. Semua penumpang dapat tempat duduk yang nyaman. Kereta ekonomi pakai AC. Bayangan menyiksa diri pun sirna. Bisa tidur, kalau mau, tinggal sewa bantal, tetapi saya memilih nggak tidur.
Pelayanan makanan dan minuman berkala. Namun saya hanya minum kopi karena makan saya bawa pakai misting dan air minum melalui tumbler karena berada di desk lingkungan hidup menghindari membuat sampah. Â Tetapi akhirnya ketika dua botol tumbler habis beli botol air mineral saja karena perjalanan sekitar 12 jaman, membuat air habis.
MCK, bagus kok, saya bahkan bisa wudhu dan salat di tempat duduk. Tersedia air yang cukup dan layak. Ini olak ukur kedua setelah tempat duduk dan AC untuk kenyamanan kereta.
Kebersihan? Bersih. Berkala petugasnya hilir mudik dari gerbong ke gerbong. Jadi naik kereta ekonomi berasa eksekutif memang benar. Tetapi itu Kereta Jayabaya di jalur utara tidak tahu di jalur selatan yang kabarnya lebih lama.
Dalam perjalanan pulang berapa turis bule backpacker  dan ada juga ekspatriat di kereta yang saya tumpangi. Mereka tertib antri menunggu toilet.  Ketika saya ajak obrol mereka memberikan apresiasi.  Pergantian antar penumpang di beberapa stasiun juga berlangsung mulus yang saya lihat.
Stasiun Senen dan Stasiun di Malang bersih. Â Bangku untuk menunggu cukup. Yang jadi bikin khawatir justru di luar stasiun karena untuk naik ojek online atau taksi online sulit masuk ke dalam areal stasiun oleh ojek atau taksi yang mangkal.
Kalau ingin dapatkan ojek atau taksi online hingga harus ke spot tertentu, yang bikin ketar-ketir keamananannya. Â Terutama ketika pulang dari Malang tiba di Stasiun Senen dini hari. Tetapi alhamdullah selamat sampai ke rumah.
Secara umum naik kereta sudah lebih nyaman setidaknya di Jawa yang saya tahu. Â Masukan untuk PT KAI menunggu realisasi rencananya untuk reaktivisi jalur Banjar hingga Cijulang, Pangandaran.
Sebab kalau itu terwujud dengan kereta yang sama memadai dengan kereta ekonomi Jayabaya, maka perjalanan Bandung-Pangandaran akan diringkas dari sekitar lima hingga delapan jam dengan mobil menjadi sekitar tiga jam, maka akibatnya kan dahsyat.
Wisatawan atau warga Pangandaran yang kerja di Bandung atau sebaliknya  bisa pulang-balik dalam sehari (jika perjalanan pulang pergi juga sampai malam).  Tidak ada lagi bayangan akan macet di Nagrek yang pernah saya alami dan menjengkelkan buang waktu berapa jam.  Dengan mobilitas tinggi ekonomi UKM juga lebih terbantu karena ada distribusi yang cepat.
Lainnya ialah kereta komuter kalau bisa direaktivasi  nyambung dari Stasiun Kota hingga Sukabumi- Cianjur hingga nyambung dari Stasiun Kota, Jakarta setidaknya untuk berapa pemberangkatan saja.
Maka situs wisata mulai dari Lido, Jembatang Gantung Sukabumi hingga  Gunung Padang juga akan terdongkrak pengunjungnya dan mobilitas juga terbantu.  Biaya perjalanan hingga waktu tempuh juga bisa dipangkas.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H