Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hiking, Pendakian Gunung Tektok, "Pop Culture"

12 Oktober 2024   19:34 Diperbarui: 12 Oktober 2024   19:39 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pendakian Gunung: Sumber: kemenparekraf.go.id

Saya menyukai solo hiking yang hanya membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam  lebih sebagai healing dan uji fisik apakah saya masih sanggup berada di lapangan sebagai jurnalis. Biasanya tempat untuk hiking adalah sekitar Bandung  yang cukup menguras fisik dan reportase sudah berapa kali di Kompasiana.

Itu pun didahului persiapan fisik jogging 30-40 menit seminggu sebelumnya tiga kali.  Kalau tidak masalah, ya baru dilakukan. Karena naik sendiri, saya meninggalkan banyak jejak di media sosial agar teman-teman tahu saya sedang hiking.

Tentunya juga bekal air minum tumbler dan makanan ringan, serta pakaian ganti kalau terjadi cuaca buruk.  Saya nggak pernah menganggap enteng kegiatan hiking walaupun bukan mendaki gunung. Itu pun pernah nyaris celaka.

Ada keinginan mendaki gunung? Ada, tetapi  tentunya untuk gunung ketinggiannya di atas 3.000 meter harus menginap dan tidak bisa dilakukan sendiri dengan kendala fisik saya alami sebagai penderita darah rendah harus berhitung benar karena bisa merepotkan banyak orang.

Setahun lalu seorang teman menawarkan bersama-sama melakukan pendakian secara  tektok di Gunung Papandayan. Saya belum ngeh waktu itu apa yang diisebut sebagai pendakian tektok yaitu pendakian yang hanya butuh waktu singkat dengan perbekalan yang ringan.  

Sayang tidak terlaksana, karena sudah keburu berpisah dengan teman satu kantor karena satu atau dua lain hal. Setelah bisa Papandayan baru berpikir gunung lain yang sebangun setelah itu baru gunung yang di atas 3.000 meter dan tentunya dalam rombongan dan ada yang ekspert.

Jadi saya di dalam benak saya ada keyakinan mau hiking maupun mendaki gunung bukan sekadar gaya-gayaan atau mengikuti tren dan hobi hiking ini dimulai bersamaan ketika saya mulai menyukai bidang lingkungan hidup.

Jadi saya kesal bahwa di kawasan Jayagiri, Patahan Lembang, Gunung Putri  sekitaran Bandung itu  masih ada yang buang sampah saset dan botol air mineral hingga jejak motorcross. 

Jejak ban motor trail ini nyaris mencelakakan saya karena tanah yang saya pijak tiba-tiba amblas sedalam setengah meter di kawasan Patahan Lembang, tapi dari situ saya tahu bahwa penjaga hutan di daerah wisata itu tidak sanggup mengawasi para pengdara motortrail ini.

Nah, apalagi penjaga hutan dan gunung untuk mengawasi gunung besar seperti Gunung Slamet, Gunung Semeru, Gunung Salak, Gunung Rinjani dan sebagainya yang punya catatan banyak pendaki yang hilang. Mereka harus dibantu Tim Gabungan SAR dan pencinta alam kalau ada kejadian.

Pendakian Gunung Tektok ini menjadi sorotan karena bukan dilakukan pada gunung-gunung yang berada di bawah ketinggian 3.000 metery ang memungkinkan hal itu. Selain itu pendakian gunung dilakukan secara opentrip yang anggotanya tidak saling mengenal. 

Apa yang dialami Naomi Daviola di Gunung Slamet merupakan contoh hal itu. Catat ketinggian gunung itu 3.432 mdpl.  Dia selamat dan ditemukan tim SAR yan menurut beberapa pencinta alam senior  dari ceritanya  dia punya pengalaman dan pengetahuan yang cukup. 

Pendaki senior dari Wanadri Indonesia Evy Sylviani mengatakan cara Naomi mengirit roti yang dia punya dan air di botol mineral 1,5 liter, hingga berdiam diri di jalur  sudah menunjukkan bahwa pendaki remaja berusia 17 tahun ini sudah punya pengalaman. 

Sementara kalau orang awam kerap mencari sungai dan mengikuti alirannya. Hal itu berbahaya karena banyak satwa juga kerap turun ke sungai untuk minum. Selain itu berjalan di pinggir sungai banyak batu-batu dan licin, serta potensi  bertemu jurang.

Sebelumnya pelajar sebuah SMKN di Semarang ini juga pernah mendaki gunung pernah mendaki Gunung Unggaran dan Gunung Andong. Baca:  Cerita Naomi Daviola Setyani.  

Evy mengungkapkan tidak semua gunung bisa diterapkan untuk pendakian tektok, apalagi kalau pesertanya merupakan orang yang baru pertama kali mendaki gunung.  Pendakian seperti ini   hanya cocok  untuk gunung kecil yang biasa jadi tempat wisata. Gunung yang direkomendasikan pendakian tektok pemula adalah Gunung  Papandayan, Gunung Tangkuban Parahu,  Gunung  Prau.

Sebuah kawasan yang cocok untuk Tektok di Jawa Barat-Foto: Irvan Sjafari
Sebuah kawasan yang cocok untuk Tektok di Jawa Barat-Foto: Irvan Sjafari

Namun pendakian gunung berubah menjadi pop culture yang dilakukan kaum urban, yang kemudian menjadi populer ketika sejumlah selebritas ikut mempopulerkan. Belum lagi sejumlah film layar lebar seperti 5Cm (2012), Romeo+Rinjani 2015 ikut mendongkrak hobi yang cukup ekstrem ini.

Menurut Muhammad Doriski, pendiri pencinta alam di almamaternya SMKN 1 Ngasem dan aktivis Komunitas Pencinta Alam Sejati (PAS) pendakian gunung mulai menjadi tren semenjak berkembangnya  sejak adanya sosial media.

Keberadaan media sosial membuat informasinya tersebar secara cepat sehingga destinasi eksotis di gunung yang terlihat bagus dengan berbagai pemandangan menjadikan daya pikat pembacanya  untuk melakukan aktivitas pendakian terutama kalangan remaja yang mulai mengeksplorasi diri.

"Banyak dari anak-anak muda yang tidak begitu memahami peralatan pendakian yang dibawa  sering kali menyepelekan pendakian yang aman, anak-anak muda yang masih duduk di kelas SMP/ SMA bahkan baru tahu fungsi alat ketika dijelaskan saat menyewa," ujar pria yang karib disapa Dori yang punya jasa persewaan alat-alat pendakian ketika saya hubungi 12 Oktober 2024.

Pendakian Gunung Tektok Dasarnya Olahraga Berat

Pendakian Gunung Tektok pada dasarnya olahraga yang berat karena harus memperkirakan estimasi pendakian secara cepat dengan logistik yang terbatas. Tidak semua orang bisa tektok gunung dan pasti sangat menguras tenaga ini kurang direkomendasi untuk pendaki yang baru pertama melakukan di gunung yang dituju.

Untuk tektok gunung kita wajib mengetahui bayangan trek pendakian terlebih dahulu sehingga disarankan sudah pernah mendaki di gunung itu  satu kali atau beberapa kali sehingga sudah hapal jalur sebelum melakukan tektok.

Dori melihat jasa  open trip sering kali banyak yang belum memiliki lisensi trip organizer sehingga hanya bermodal pernah melakukan pendakian di gunung tersebut.

"Ini sangat disayangkan karena terkadang pelatihan-pelatihan di trip organizer berbagai macam mulai dari Pertolongan pertama, manajemen logistik pendakian, dokumentasi pendakian, memasak menu pendakian jika team sudah terlatih dan berlisensi maka akan semakin aman di perjalanan," ujar tutur Dori.

Dori mengingatkan sebelum melakukan pendakian kenali medan terlebih dahulu, siapkan alat sebaik mungkin secara efisien dan aman. Estimasi pendakian dengan tepat, jika selama pendakian ada situasi di luar prediksi semisal cuaca buruk lebih baik tetap bersama dengan rombongan.

Pendaki  berfikir untuk mendirikan hunian sementara dan  bivak untuk berlindung, jangan sampai mendaki seorang diri atau egois meninggalkan teman.

Selama mendaki, Dori menyampaikan  akan memastikan selama pendakian berlangsung timnya  harus mempunyai leader yang di depan untuk memberi komando dan  sweeper atau tim penyapu di belakang.

"Tugas sweeper ini  mengamankan jika ada anggota tertinggal  dan untuk antisipasi komunikasi leader maupun sweeper menggunakan HT, sehingga tidak ada anggota yang tertinggal dan  ketika berkemah jika ada yang sakit atau mau BAB/ BAK wajib mengajak  satu teman untuk mendampingi," paparnya.

Jadi memang tidak sekadar ikut tren. Menurut saya para influencer sebaiknya bukan hanya mengenalkan panorama yang ciamik, tetapi juga bagaimana menjaga konservasi, mendaki gunung dengan peralatan yang benar dan persiapannya.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun