Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kekerasan di Sekolah Bukan Berakar dari Sejarah Sosial dan Budaya Indonesia?

5 Oktober 2024   10:16 Diperbarui: 5 Oktober 2024   10:21 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: sumber gambar: bbpmpjatim.kemdikbud.go.id

"Hal ini adalah tanggung jawab keluarga, orang tua, organisasi, pembuat kebijakan, tapi yang utama anak tidak akan belajar membully.  kalau pembullyan itu tidak terjadi di rumah," kata Karina yang saya hubungi, 3 Oktober 2024.

Berapa sih angka kekerasan di sekolah? Simfoni Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA)   mencatat selama 2021  ada 594 laporan terkait kekersan terhadap anak dengan  korban 717 anak.  Baca: Kenali bentuk kekerasan

Kompas 16 Desember 2023 mengutip data dari Yayasan Cahaya Guru menyebutkan 136 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan.  Data ini mengungkapkan 134 pelaku, 339 korban kekerasan dan 19 di antaranya meninggal.

Namun data itu hanya yang terpantau pemberitaan media massa dan tersifikasi Dewan Pers  antara 1 Januari hingga 10 Desember 2023. Sementara data dari kekementerian adalah kasus yang dilaorkan.  Bagaimana yang tidak terpantau?

Metode yang sama juga dilakukan Federasi Guru Indonesia (FSGI)  menghimpun data kekerasan di satuan pendidikan Januari hingga Juli 2024 sebanyak 15 kasus.  Kekerasan itu mayoritas yaitu 40 persen terjadi di jenjang sekolah menengah pertama. 

Pelakunya mayoritas sesama anak didik, senior maupun sebaya.  Namun guru dan kepala juga disebut melakukan tindakan kekerasan. Harus dikaji apakah guru-guru ini produk era di mana budi pekerti sudah tidak diajarkan lagi?  Padahal budi pekerti adalah akar budaya dan kearifan lokal Indonesia.

Juga harus dilihat di sekolah-sekolah mana kekerasan terjadi, saya kira tidak terjadi sekolah yang iklim akademiknya kondusif dan kegiatan belajar-mengajar aman. Tidak terjadi di sekolah passing grade untuk masuk sekolah itu saja tinggi. Entah setelah diterapkan sistem zonasi.

Secara umum, yang lebih mengkhawatirkan anak-anak tidak lagi mempunyai teladan, mereka juga membaca berita anggota parlemen yang notabene harusnya terdidik dan matang emosinya berkelahi, diketahui media massa.  Anak-anak tinggal bilang: Tuh orang dewasa saja melakukan kekerasan?

Kalau dari penyaluran energi berlebih, banyak kegiatan tersedia dan lebih beragam, basket, cheerleader, pencinta alam, PMR di luar yang wajib seperti Pramuka.  Namun mata pelajaran juga banyak dan jam pelajaran banyak. Tingkat stressing anak-anak sekarang lebih tinggi karena banyak pekerjaan rumah daripada generasi sebelumnya.  Juga kepastian terhadap masa depan.

Namun saya yakin kekerasan di sekolah  bukan berakar dari sejarah sosial dan budaya di Indonesia. Daerah mana pun. Karena bukan berakar dari sejarah, sosial dan budaya, kekerasan sekolah di Indonesia seharusnya bisa diatasi dengan mengembalikan ke akarnya, di antaranya dengan menghidupkan pendidikan budi pekerti. (Bagian Kedua dari Dua Tulisan).

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun