Saya belum menemukan laporan kekerasan di sekolah pada masa penjajahan bahkan di sekolah yang dikelola orang Indonesia sendiri seperti Muhammadiyah, Taman Siswa apalagi sekolah Belanda. Koran-koran yang saya baca tidak memuat satu pun kasus. Â
Apakah anak sekolah masih patuh pada norma? Â Saya memastikan guru-guru masa itu masih banyak dididikan Belanda dan menguasai ilmu pendidikan. Yang bukan sekolah yang terkait Belanda cara mendidiknya juga mengacu pada cara pendidik sekolah Belanda. Â Â
Pada akhir 1960-an juga pernah saya tulis sudah ada kekhawatiran terhadap dekadensi moral di kalangan anak muda dari komik dan film, tetapi  belum saya temukan laporan adanya kekerasan di sekolah.
Saya menduga kekerasan di sekolah bahkan juga di luar sekolah di kalangan anak-anak dan remaja bukan berakar dari sejarah sosial dan budaya Indonesia.  Ada perkelahian, tetapi satu lawan satu. Tidak ada tawuran massal  hingga akhir 1960-an.
Sejak 1970-an?
Saya sendiri menduga kekerasan di sekolah di mulai pertengahan 1970-an, terutama di Jakarta, dengan adanya tawuran terhadap di kawasan Kebayoran dan terus meningkat dengan munculnya geng-geng sekolah era 1980-an.
Saya sendirikan merasakan bagaimana jadi korban kekerasan dan melihat kekerasan di sekolah dan tidak dilaporkan. Norma mulai longgar karena arus deras dari film dan mulai munculnya video memberikan stimulus, pornografi juga mulai bisa diakses dengan mudah.
Saya tidak tahu angkanya zaman dahulu berapa kasus kekerasan di sekolah. Bisa saja tinggi, cuma tidak terungkap karena tidak menjadi perhatian media massa, belum ada internet. Â Â
Namun pada zaman sekarang lebih banyak karena banyak terungkap berkat peran media dan media sosial. Hanya saja media sosial tampaknya menjadi pemicu dan stimulus kekerasan di sekolah.Â
Anak-anak bisa mengakses konten kekerasan hingga pornografi sekalipun pemerintah sudah berupaya melakukan pembendungan, namun tetap ada jalur yang bisa mereka dapat. Â Bagaimana bisa mencekal sekian juta situs? Anak sekarang lebih cerdik dalam hal teknologi informasi.
Karina Maharani , pimpinan sebuah sekolah alternatif di kawasan Ciawi, Bogor mengatakan  tidak bisa hanya satu pihak yang menanggung fenomena bullying dan kekerasan yang semakin terbuka sekarang.