topeng monyet tidak lagi sesuai dengan zaman, seiring dengan semakin tingginya risiko zoonosis, hingga aspek lingkungan. Namun masih ada dilema allih profesi pekerjanya hingga habitat MEP.
Pertunjukkan"Sarimin naik kuda!" teriak Abang pekerja topeng monyet itu. Kalimat itu masih tergiang di telinga saya melayang ke masa kecil ketika tinggal di kawasan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan  era 1970-an, ketika masih duduk di bangku SD.  Â
Yang dimaksud Sarimin adalah seekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang  memakai topeng, diberi pakaian dan topi menunggang seekor anjing yang dianggap sebagai kuda.  Kemudian salah satu di antara dua pekerja memukul gendang.
Monyet ekor panjang itu bercermin dengan terampil naik motor mainan hingga akrobatik dan anak-anak bertepuk tangan, lucu dan menghibur. Untuk itu mereka menerima bayaran dari penyewanya.
Seingat saya, ayah pernah sekali  menyewa pertunjukkan ini di halaman rumah kemudian ditonton anak-anak dari tetangga saya. Hal yang lazim waktu itu, pertunjukkan juga kerap diadakan di halaman rumah hingga lapangan.
Tidak terbesit di kepala saya waktu itu bahwa apa yang dilakukan dalam pertunjukkan topeng monyet itu memberikan risiko kesehatan kalau monyetnya menggigit penonton (masalahnya tidak terdengar kasusnya), bisa menularkan rabies.Â
Tampaknya baik monyet maupun anjing terlatih. Hanya saja pada perkembangan pertunjukkan topeng monyet kebanyakan tidak lagi membawa anjing, tetapi menggunakan sepeda motor mainan dan enggrang kecil. Mungkin karena biaya makannya dan mulai banyak penonton takut atau geli dengan anjing.
Belakangan setelah saya menjadi jurnalis lingkungan ada hal lain yang tidak baik dari pertunjukan topeng monyet ini, yaitu penyiksaan binatang. Â Bukankah monyet ekor panjang (MEP) sebetulnya adalah satwa liar dan saya kerap melihatnya di Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda.
Sejak kapan sih pertunjukkan topeng monyet, pelacakan saya sih sudah ada sejak masa Hindia Belanda dan kemungkinan itu bukan asli budaya tradisional suku-suku di Indonesia. Â Itu dibawa dari Eropa dan kemudian meyebar ke negara-negara Asia.
Buktinya adalah novel karya sastrawan Prancis Hector Malot "Sans Familie" terbitan 1878 atau pernah saya baca waktu kecil diterjemahkan sebagai "Sebatang Kara".
Dalam novel itu disebut Remi, tokoh utamanya adalah anak jalanan yang menyambung hidup di pertunjukkan dengan monyet dan anjing. Â Pertunjukkan topeng monyet itu bagian dari sejarah sirkus.
Kini pertunjukkan topeng monyet dilarang di banyak negara di seluruh dunia dengan alasan zoonosis, aspek lingkungan hidup, animal welfare karena sebetulnya merampas kemerdekaan satwa liar dari hutan.
Femke de Haas dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN) mengungkapkan praktik dalam pertunjukkan topeng monyet kejam dan dia kerap menemukan pemilik memotong gigi dan menyiksa  monyet ekor panjang untuk bisa dilatih.
"Banyak sekali monyet yang kami  terima dalam keadaan sakit. Monyet dapat menularkan penyakit berbahaya seperti tuberculosis. Monyet kerap dibiarkan sakit tanpa pengobatan dan hanya jadi alat mencari uang," ujar Femke ketika saya hubungi, 21 September 2024.
Dia menyambut baik kebijakan pelarangan pertunjukkan topeng monyet secara nasional di Indonesia pada 2019, dimulai dari Jakarta era Joko Widodo sekitar 2014.Â
Monyet ekor panjang yang ditangkap diserahkan ke berbagai pihak untuk direhabilitasi. Femke mengaku pernah menerima sekira 100 ekor monyet untuk direhabilitasi dari pelaku pertunjukkan topeng monyet.
Antara 2013 hingga 2018 Â otoritas terkait dan JAAN mampu menampung 170 MEP dari berbagai penjuru Jakarta. Sebanyak 18 persen di antara MEP itu positif menderita TBC dan semuanya cacingan. Sumber : AntaraÂ
Yang paling mengkhawatirkan jika monyetnya sudah tua, maka pemiliknya akan melepasnya begitu saja. Tidak ada pikiran bahwa MEP ini bisa membahayakan kesehatan masyarakat.
Alih Profesi
Timbul satu persoalan yang menyangkut perut. Para pekerja topeng monyet itu perlu alih karya atau alih profesi. Sebetulnya profesi ini adalah pengamen dalam bentuk lain. Â Namun sejumlah pihak sudah berupaya melakukan alih profesi.
Yang paling anyar dilakukan Balai Besar KSDA Jawa Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon menggandeng Yayasan Jaringan Satwa Indonesia medio September 2024 ini seperti dikutip dari akun instagramnya.Â
Mereka menjaring 22 pelaku pertunjukkan topeng monyet dan terlebih dahulu melakukan edukasi dan sosialisasi  tentang bahaya zoonosis.
Pada 18 September 2024 Â kolaborasi ini melakukan pemeriksaan medis para pekerja untuk kemudian diberikan pelaihan berdagang hingga kerajinan. Â Keesokan harinya sebanyak 13 MEP diserahkan ke Yayasan JSI untuk direhabilitasi.
Namn ada juga para pekerja topeng monyet  menyerahkan secara sukarela. Misalnya pada awal Maret 2023, di Madiun sebanyak 23 MEP diserahkan kepada BBKSDA Jawa Timur untuk dilepasliarkan.  Oleh pihak BKSDA, setiap pekerja mendapat bantuan Rp3,5 juta untuk modal alih profesi untuk tidak berprofesi terkait satwa ini lagi .  Baca: Republika Â
Persoalan lain menunggu ialah habitat monyet ekor panjang juga terancam.  Sebuah artikel di Mongabay mengutip tulisan dari Yatna Supriatna (2000)  menyebutkan bahwa  MEP sudah kehilangan habitatnya dari semula 217.981 kilometer persegi menjadi 73.371 kilometer persegi.  Baca: Mongabay. Â
Pada sejumlah daerah konflik antara manusia dan MEP sudah terjadi. Yang saya tahu persis di Kawasan Bandung Utara (KBU). MEP tidak segan-segannya berkunjung ke pemukiman mencari makan. Â Saya kira juga terjadi di daerah lain yang berbatasan dengan hutan.
Kebiasaan wisatawan di Taman Hutan Raya Djuanda yang memberikan makan kepada MEP itu memberikan masalah lain, yang membuat mereka jadi berani mendekati manusia untuk mendapatkan makanan.
Pertunjukkan Topeng Monyet memang sudah tidak sesuai dengan zaman, namun masih meninggalkan dilema selain alih profesi pelepasliaran MEP menghadapi ancaman penyusutan tempat habitat.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H