Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Adakah Spesies Lebih Kuat dari Manusia?

23 Agustus 2024   21:06 Diperbarui: 23 Agustus 2024   21:15 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bagaimana kalau ada spesies lain yang lebih kuat dari manusia dan berada pada puncak rantai makanan tiba-tiba hadir di muka Bumi ini? Bagaimana kalau mereka merampas kemerdekaan manusia dengan menjadikannya sebagai peliharaan karena dinilai eksotik?" maki aku kepada  Yanto dan Kabul.

Kedua orang yang tertangkap polisi hutan karena membawa dua ekor bayi orangutan dalam kotak tertutup hendak dibawa ke perbatasan dengan sepeda motornya.

Yanto dan Kabul menatap padaku dengan pandangan dingin. Mereka menunjuk jempol ke bawah. Mereka ingin mengatakan bahwa aktivis  pembela satwa seperti aku akan berakhir tragis, seperti sejumlah aktivis lingkungan di Kalimantan ini.

Ini bukan pertama kalinya mereka tertangkap. Sebelumnya mereka tertangkap ketika membawa bekantan dengan cara yang sama.  Ya, mereka ditangkap, tetapi kemudian dibebaskan karena ada yang membayar denda mereka. Itu kejadian di daerah lain, sebelum mereka dibawa ke pos polisi sudah ada yang menghampiri.

Aku tahu bos mereka adalah Yongki Aribowo, seorang pedagang satwa illegal. Dia juga punya penadah di seberang.

Nama Wahyu Zulkarnaen, yaitu aku sudah menjadi target mereka untuk dicelakakan.  Sebab aku nekat membebaskan dua ekor hewan sejenis beruang madu aku kira, pada suatu malam, yang juga sedang dicari Rafika Aminarti, sahabatku yang juga kerja di NGO keanekaragaman hayati.  

Menurut dia beruang  madu itu  spesies baru karena warna bulunya merah maroon, bukan hitam atau cokelat. Hanya sedikit yang pernah bertemu kedua hewan itu, aku, Rafika dan seorang mahasiswa dari Bandung bernama Nugi Herdian yang pernah bertemu dua beruang itu.

Menurut cerita mereka, kedua beruang itu membuat sarang  berbentuk kubah dari ranting-ranting kayu, lalu ditutup daun-daun dengan rapat  hingga tidak tembus air hujan.   Spesies ini seperti berang-berang membuat sarangnya.

"Apakah hewan ini termasuk cerdas seperti simpanse atau lumba-lumba?" tanya aku.

"Kemungkinan iya," jawab Rafika. "Sarangnya terlalu rapi untuk dibuat hewan. Polisi dan petugas BKSDA malah menduga mereka menempati bivak yang dibuat para pencinta alam bukan membuat."

Aku sempat bertatapan mata dengan dua hewan itu, ketika aku sendirin  nekat membebaskan mereka dari jerat yang mengikat kaki mereka dan merusak kurungannya, ketika Yanto dan Kabul sedang makan, karena lapar lama menunggu kedua hewan yang sudah lama diintai kabur.

Kedua beruang itu berdiri dengan mata yang tajam. Ketika mereka berdiri sama dengan tinggi rata-rata beruang madu sekitar 1,4 meter.  Di otakku ada ucapan terima kasih, kata mereka satu saat mereka akan membalas budi. Tetapi itu mungkin itu khayalan aku saja.

Tentu saja Yanto dan Kabul berang, karena kerja mereka seminggu jadi sia-sia. Cuan yang besar jadi hilang.  Aku dikejar dengan parang dan nyaris tertangkap, kalau tidak bertemu petugas BKSDA dan polisi hutan yang patroli. Mereka pun menyingkir.

Itu sebabnya ketika aku menampakan diri di depan kedua orang itu setelah mengintai dan melaporkan mereka menangkap orangutan, Mereka memperlihatkan wajah dendam.

Aku tidak takut dan percaya kalau aku baik pada alam, maka alam akan melindungi aku.  Setelah memfoto mereka dengan barang bukti lalu memviralkannya di media sosial aku pulang dengan puas. 

Kalau pun aku harus mati, aku puas demi memperjuangkan kemerdekaan hewan-hewan yang dilindungi dan kekayaan hayati Indonesia. Mereka berhak punya habitat sendiri. Bukankah orangutan masuk ke kebun sawit karena itu dulu habitat mereka? Bukankah bekantan masuk kampung karena mencari makan?

Yongki Ariwibowo  benci sekali pada aku. Karena aku juga yang menggagalkan penyelundupan burung kakak tua jambul kuning di Sumatera Utara ketika hendak diselundupkan lewat laut di dalam botol bekas air mineral.

Ketika itu sebetulnya aku sedang berlibur bersama pacarku mahasiswi biologi Unpad bernama Rahma Putri Pertiwi dan dua orang temannya.  Naluriku yang terbiasa mendengar suara burung dari sebuah koper walau pun pelan.

Aku dengan santai menghampiri petugas bea cukai dan menunjuk dua orang berbadan besar yang kemudian diketahui bernama Sudin dan Pongki dan ditemukan hewan-hewan itu.

Entah mengapa aku punya kegemaran berfoto bersama tersangka dan lalu memviralkannya di media sosial, dengan kalimat provokatif: Ini loh wajah-wajah yang merampas kemerdekaan hewan-hewan. 

Diikuti dengan kalimat seandainya ada spesies yang lebih kuat dari manusia dan menjadikan manusia berada di dalam sejenis botol besar untuk diangkut ke planet lain, bagaimana?

Tentu saja banyak komentar anonym atau pakai akun tidak nama asli memujiku dan sebagian lagi dengan ancaman. Lalu aku tinggal menjawabnya: "Tidak takut!"    

Belakangan aku tahu bos mereka sama: Yongki Ariwibowo.  Yang sudah berulang kali aku rusak bisnisnya. 

Namun malam ini aku terima chat dari Rahma Putri Pertiwi minta bertemu di sebuah warung makan di kota kecil tempat organisasi nirlabaku bermarkas. Kok dia berani ke kota ini? Tempat yang cukup berbahaya. Mungkin tugas dari kampusnya.

Masalahnya memang hubungan kami tidak direstui orangtua Rahma yang tidak suka pada aktivis lingkungan yang gemar mencari bahaya seperti aku untuk membela satwa liar.  Walau secara finansial aku bisa menghidupi dia, karena banyak yang memberikan dukungan donasi pada kami di dalam dan luar negeri.

Pukul 11 malam, Rahma menungguku di rumah makan yang cukup sepi. Dia mengenakan jins dan jaket dengan rambut dikucir dan tas ransel.

Naluriku merasakan ada yang tidak beres.  Aku pikir Rahma bersama kawan-kawannya seperti dichatnya.  Namun rupanya dia bersama Sudin dan Pongki yang rupanya sudah bebas. 

Kali ini Yongki Ariwibowo bersama dua orang lain menunggu membawa pistol entah bagaimana mereka bisa menyandera Rahma dan memaksanya untuk memancing aku.

"Bawa mereka ke hutan. Sudah saatnya kawan kita ini berakhir petualangannya. Biar ditemani kekasih hatinya," kata Yongki.

Aku merasa seperti masuk dalam jerat dan menurut ke dalam jip landrover mereka.  Aku  dan Rahma dibiarkan berdua di tengah mobil dengan todongan pistol.

Di jendela aku sempat melihat jalanan yang sepi.  Kota ini sebetulnya sudah sepi pada pukul sembilan malam.  Penjaga warung tampak ketakutan.  Yongki juga punya orang di kota itu. 

Tidak tampak seorang pun, tetapi sekilas aku melihat beruang berbulu maroon seperti yang pernah aku tolong berdiri di trotoar, seolah berkata: Jangan Takut!

"Mengapa kamu kemari? Nggak bilang-bilang!"

"Kakak kelas aku, seorang alumni  bilang ada proyek. Aku dikasih DP dan tiket pesawat. Tetapi ternyata dia ikut komplotan ini," bisik Rahma ketakutan.

Tiga jam kemudian kami sudah berada di hutan.  Di situ ada sebuah pondok  berbentuk kubah.

"Kalian yang membangun pondok yang bagus ini?"

"Bukan Bos. Ini bivak yang dibangun mencinta alam.  Kelihatannya bagus untuk kita bermalam sambil bersenang-senang pada mereka beruda," ucap Sudin.

Rahma ketakutan. Aku juga takut untuk pertama kalinya berhadapan dengan pemburu satwa liar.  Di dekat pondok itu sebuah tong besar.

"Nah, itu tempat kalian berdua nanti. Asyik, kan? Bermesraan. Lalu tong kami tutup dan kami buang di sungai," kata Yongki tertawa.

Kami diikat berdua berpunggungan. Tubuh kami berpeluh dan duduk dengan kaki berselonjor.

"Silahkan bos, kita masuk ke dalam," ajak Yongki. "Kita makan dulu! Habis itu kita masukan mereka ke dalam tong!"

Sudin, Yongki dan dua orang lain masuk ke dalam pondok, mereka membawa lentera dan kotak makanan. Seorang lagi mengawasi kami dengan tatapan mata dingin.

"Yang cewek boleh dicobain dulu nggak..!" terdengar suara Sudin di dalam pondok yang cukup besar dulu.

Namun belum sempat dia bersuara pondok berbentuk kubah itu mengunci pintunya  dan daun-daun serta ranting yang tadi menutup. Lentera mereka terlemar keluar.  Bola itu  terbuat semacam kulit  transparan yang mengetat membuat mereka berempat  tidak bergerak. 

Yang satu lagi terkejut.  "Ada apa nih?"

Namun tujuh beruang berbulu maroon itu bermunculan di sekelling mereka.  Entah dari mana.  Pemburu yang satu lagi mencoba membuka bungkus itu tetapi justru tersedot ke dalam. Hebatnya bola pernagkap itu ada lubang untuk bernafas.

Dua ekor beruang itu menatap padaku, kemudian salah satu membuka ikatan kami dengan mudah.

"Kalian bebas dan pergilah. Kami sudah berhasil menangkap buruan kami spesies yang paling istimewa di Bumi."

Mereka bicara pada kami dengan telepati. Jerat yang berhasil membuat manusia tak berdaya. Rupanya pondok  yang diceritakan Rafika itu jerat. Jelas mereka lebih cerdas.

Tanpa banyak bertanya aku membawa Rahma meninggalkan hutan itu. Beruang maroon itu sudah meninggalkan semacam kunang-kunang dan memberi kami petunjuk jalan. Mahluk itu membalas budiku.

"Mahluk apa itu? Dan mereka akan dijadikan apa?"

"Ingat kakaktua yang di dalam botol?" jawabku.

Irvan Sjafari

Depok, 23 Agustus 2024.

Foto: Surya/Ahmad Zaimul  https://jateng.tribunnews.com/2015/06/25/mereka-tega-masukkan-burung-ke-semangka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun