Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bertemu Mahluk Dunia Lain

9 Agustus 2024   23:04 Diperbarui: 9 Agustus 2024   23:10 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hutan bambu  Kredit Foto: indonesia.go

Aku tidak tahu mengapa  ayah menamakan aku  Hijau Bumi Lestari.  Padahal nama ayahku  adalah Garuda  Jatayu.  Ibuku bernama  Raden Laksmi Martasasmita, masih kerabat  dari Prabu Wastu Kencana, raja kami.  Tidak ada kawan-kawan sebaya aku  yang namanya seaneh itu di kerajaan ini.  Seolah aku datang dari dunia luar dihadirkan ke kerajaan ini.

Usiaku kini menginjak tujuh belas tahun. Aku beruntung diberi kebebasan untuk belajar apa pun oleh ayahku, asal aku suka dan sungguh-sungguh.  Tetapi aku memilih belajar bertani  dari paman  Ki Bodas dan meramu masakan  dari  Nyi Tirtawangi, juru masak istana. 

Aku ingin membuka rumah makan bagi rakyat kerajaan.  Ayah dan ibu aku tidak menghalangi bahkan mendukung.  Prabu Wastu Kencana bahkan terharu keponakannya mau berada di tengah rakyat jelata dan tidak merasa sebagai bangsawan istana.  

Sang Prabu pernah mengintip aku melayani seorang pedagang yang makan di kedaiku, bukan orang yang bekerja padaku, menuangkannya minuman.  

"Seandainya Ananda anakku bisa menjadi penggantiku kelak. Aku ingin putra mahkotaku seperti anjeun rendah hati dan mau berada di tengah rakyat," kata Prabu suatu ketika.

Orangtuaku dan Prabu membiarkan putri dari kraton seperti aku berkeliaran di pasar masuk hutan bahkan tanpa pengawal.  Tidak ada pencuri apalagi di kerajaan ini karena semua rakyat cukup makan, sandang dan punya rumah.  Hanya satu mereka pinta aku tidak melewati batas tengah hutan ditandai rumpun bambu dan dua pohon besar berbentuk gerbang.  

"Pamali kamu akan masuk dunia lain!" kata ayahku dengan keras.

"Memang ada apa di dunia lain itu Abah?" tanya aku pada ayahku. 

"Dunia lain itu penuh mahluk jahat, mereka suka mencelakakan orang dari kerajaan kita. Jangan sekali-sekali ke perbatasan kecuali ditemani pengawal kerajaan!"  Ayahku tegas.

Senapati Rajamandala sudah sering mengumumkan warga kerajaan yang hilang  ketika melintas perbatasan dan pulang sudah menjadi mayat.  

"Aku pernah mendengar ramai, Kak Hijau! Itu Dari jarak berapa tumbak dari hutan bambu dan pohon besar itu," cerita Wulan, anak petani hutan yang juga suka mengambil daun-daun, akar-akaran dan umbi-umbian buat obat-obatan untuk ibunya,  Ambu Sekar  yang bekerja sebagai tabib.

Kerajaan kami punya aturan untuk tidak serakah mengambil daun, buah, akar-akaran dan umbi-umbian. Apalagi untuk menebang pohon.  Kata Prabu itu untuk keberlanjutan kerajaan kami ke depannya. 

Kami punya aturan tidak boleh buang makanan dan boros terhadap air.  Nah, kata Ayah nama aku itu karena terinpirasi undang-undang kerajaan ini. Agar negeri kami tetap Hijau Lestari.

Sayang, aku tidak pernah tahu ayah datang dari kerajaan mana, karena tidak ada silsilahnya. Kata Ibu dari jauh. Ayah pandai dan bekerja di perpustakaan kerajaan dan mengajar anak-anak soal bagaimana menggunakan air.  Ayah mengajarkan menampung air hujan dan menyimpannya di tanah.

 Ayah mengajarkan mengelola sampah sisa makanan menjadi pupuk hingga negeri kami bersih. Hal yang belum pernah sebelum ayah hadir.  Bahkan ayah mengajarkan menggunakan  kantong belanja dari anyaman bambu yang lebih kuat dari akar dan bungkusnya daun jati atau daun pisang.

Ilmu pengetahuan kami ditulis di daun lontar dengan tinta dalam bentuk gulungan-gulungan oleh sesepuh kami kerap rapuh. Ayah menyalinnya lagi dengan cara yang lebih awet. Bahkan ayah membuat sebuah kitab dari lembaran daun lontar yang diawetkan.

Selain Ayah tidak mau menceritakan  asal-usulnya, ayah juga melarang aku membuka peti yang di simpan di bawah tempat tidur dari negeri asalnya.  Namun sebagai anak nakal, aku pernah membuka peti itu ketika ayah dan ibu aku dipanggil Prabu untuk suatu rapat .

Aku membuka peti itu dan menemukan sebuah kitab pengetahuan  dengan bahan yang aneh dan tulisan dari bahasa yang tidak aku mengerti. Bahkan ada sebuah benda aneh yang satu bagiannya mengkilap dengan ada tonjolan di sampingnya. 

Benda-benda apakah ini?  Di peti itu juga ada celana dan baju yang tidak aku temui di negeri ini.  Bahkan gambar ayah dengan celana dan baju ini bersama dua orang lainnya dengan pakaian yang sama.  Apakah ini baju dari negeri ayah? Tetapi itu ayah waktu muda.   

Diam-diam aku menyimpan benda aneh itu, sehelai gambar ayah waktu muda  dan sebuah kitab di dalam tas anyamanku dan kemudian ke kamar.  Keduanya sudah berdebu berarti sudah lama ayah tidak membukanya.

Ternyata  Wulan juga ingin tahu seperti apa dunia lain itu.  Ketika aku perlihatkan kitab dan benda aneh itu Ajeng terkejut. "Aku pernah melihat ada sesosok mirip kita  membawa benda mengkilat ini dari balik dua pohon besar itu. Pakaiannya mirip dalam gambar itu!"

"Mengapa anjeun tidak cerita?"

"Aku baru tahu kalau ternyata ayah kakak punya benda itu, kan?"

"Temani aku ke wilayah hutan bambu itu, Wulan!"  ajak aku.

Wulan mengangguk. Kami memakai celana hitam dan baju hitam, serta ikat kepala  lengkap dengan kalung berisi jimat kalau ada mahluk yang menganggu kami jika di hutan pemberian tetua di sini bagi mereka yang kerja di hutan.

Masih tengah hari ketika kami memasuki hutan dan berarti bisa pulang sore sesuai aturan kerajaan.  Butuh satu jam untuk sampai ke rumpun bambu dan dua pohon besar itu.

 Tetapi kami berdua harus mengendap-endap di belakang pepohonan karena melihat dua pengawal kerajaan membawa mayat seorang rakyat dan seekor kancil peliharaan kami dari belakang dua gerbang itu.  Mereka bawa obor? Kok terang membawa obor? Kami ingin tahu ada apa ini?

"Mengapa Prabu tidak memerintahkan kita bertempur dengan  mahluk jahat yang ada di seberang?" terdengar percakapan seorang pengawal.       

"Iya, mereka sudah merusak hutan milik kita dan membunuh warga kita. Apa tidak keterlaluan?"

"Iya, tetapi Prabu mendengarkan orang asing itu. Kata dia jika banyak mahluk yang celaka,akan makin banyak mahluk jahat datang. Akhirnya malah  merusak negeri kita.  Orang asing itu  hanya membenarkan kalau keterlaluan bawa saja mahluk yang merusak untuk jadi budak di ladang!"

Para pengawal membawa mayat anak kecil dan kancil.  Aku dan Wulan nyaris menjerit.  Badannya berdarah, seperti diserang sesuatu. Menakutkan. Tetapi rasa ingin tahu kami lebih kuat dan kami mendengar suara-suara aneh.

"Ayo kita lewati dua pohon besar berbentuk gerbang itu!" ajak aku pada Wulan.

Kami berdua melewati gerbang itu dan mendapatkan suasana hutan yang malam. Inikah dunia lain itu?  Kami melihat ada cahaya dan sebuah tempat tinggal aneh di mana ada beberapa manusia  berkumpul.  Usia mereka lebih tua  dari aku dan Wulan.

Ada yang melihat kami.

"Jangan ganggu mereka.  Kamu sudah saya briefing agar tidak senasib dengan kakak kelas kita yang hilang delapan belas tahun lalu dan mungkin dibawa mahluk seperti mereka.  Om kamu Irsyad!"

"Yang hilang itu paman aku Irwan Said, kata ibu dia dulu kerja di LSM Lingkungan melindungi hutan ini dari pembalakan dan pemburuan liar.  Dia pernah menggagalkan rencana investor untuk menjadikan kawasan di bawah menjadi resort hingga bisa membuat penunggu hutan ini marah," tutur  laki-laki yang paling muda dipanggil Irsyad.

"Saksi mata melihat  Om kamu dibawa seorang perempuan aneh ke dalam hutan lalu hilang ketika dia terluka ditembak kaki tangan investor karena melindungi dua ekor kera," ucap salah seorang.

Kami mendekat  kepada mereka.

"Jangan takut, mereka tidak jahat kepada kita!"

Aku memperlihatkan benda aneh dan kitab berdebu itu kepada Irsyad tanpa bicara. Dengan takut dia menerimanya dan terkejut.

 "Ini kan ponsel milik Om aku dulu. Irsyad bisa menghidupkan benda itu dan menyala.  Dia juga menerima kitab itu dan membukanya. "Buku harian Om aku!"

"Siapa kalian? Mahluk dari dunia lain? Kang Irwan ada di sana?"

Baru saja aku menjawab ada derap langkah berat di belakang kami.

"Hijau! Wulan kemari!" terdengar suara ayah datang bersama  beberapa pengawal. Mereka membawa obor.

Tiga lelaki itu berdiri dengan rasa takut.  Irsyad meatap ayah dengan haru. "Om!"

"Kamu sudah besar Irsyad. Kamu dan adik kelas-kelas aku lanjutkan perjuanganku mempertahankan hutan ini dari keserakahan. Aku tidak bisa kembali ke dunia kalian!" suara ayah lantang.

Lalu kami kembali. Ayah sambil tersenyum memeluk aku. "Tidak apa. Sudah saatnya kamu tahu."

Kami kemudian kembali ke negeri kami. Ayah berhenti sebentar dan menatap Irsyad. "Berikan kedua benda pada keluarga kita! Bilang ke mereka kalau sayang aku, ikut jaga hutan  digunung ini."

Irsyad menatap kami dari kejauhan dengan menangis. "Om Irwan!" Teriaknya.

Tetapi kemudian kami meninggalkan mereka. Kami kembali ke dunia kami yang masih siang. 

 

Irvan Sjafari 

Kredit Foto:  https://indonesia.go.id/kategori/keanekaragaman-hayati/6927/bambu-sebagai-mitigasi-perubahan-iklim?lang=1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun