"Ketika Jepang datang mereka terbirit-birit. Ketika orang Acehnya yang dididik Fujiawara Kikan pada 1942, mereka juga kalang kabut. Kalau saja senjata kita masa revolusi sama..." sahut Hanief.
"Seperti Prancis di Dien Bien Phu, knock out! Saya tidak yakin Vietnam Selatan bisa bertahan dari Vietnam Utara, karena penguasa korup. Bule-bule Prancis itu  bertekuk di kaki orang Asia berpakaian piyama. Itu ketika senjata sama," jelas Tanja.
"Jadi orang PSI itu tidak minder sama bule," kata Angku Mansyur. "Kami dari Masyumi juga."
"Ya Angku," kata Syafri.Â
Azrul yang ada di sebelah Norma mulanya diam. Tetapi kemudian, dia bertanya, "Yang aku mau tahu mengapa berapa politisi Masyumi dan juga PSI  condong ke Amerika Serikat. Bukankah dulu sekutu membantu  Belanda ingin menjajah lagi?"
"MSA, yang buat Kabinet Sukiman jatuh, itu  maksud kamu Azrul?" kata Hanief. "Kami  anti komunis. Kami dari PSI beda dengan mereka terutama sejak Amir Syarifudin bertindak gegabah."
"Kami di Yugoslavia tidak mau jadi sekutu Uni Soviet, kami juga mengakui hak milik pribadi tetapi ada batasannya," kata Tanja.
Mereka menyantap aneka macam hidangan dari Sumatera , ayam gulai, sayur kacang, sayur  asam, termasuk gulai taucho Medan. Lidah Widy mulai terbiasa, malah makan lebih lahap.  Dia juga takjub dengan Tanja yang lidahnya tidak lagi bermasalah.
Hanief dan Tanja dianugerahi seorang puteri bernama Luna Mahardika, umurnya masih lima tahun. Â Dinamakan Luna dari Yugoslavia berarti bulan dan Mahardika dari Indonesianya. Kompromi yang baik. Â Walaupun kulitnya seperti bule, tetapi rambut Luna hitam.
Sementara Azrul dan Norma mendapat bayi laki-laki yang baru berumur sembilan bulan diberi nama Yunus Bahar. Â Dia ada di kereta di samping Norma.
Selain Azrul dan Norma, Widy juga baru mengenal sepupu Syafri lainnya Oyong Jalil, dia pemain sepak bola amatir. Tetapi sehari-hari menjalankan rumah makan Padang di kawasan Kebayoran yang dijalankan bersama istrinya Uni Hamidah. Mereka menyumbangkan makanan Ikan Pangek.Â
