Menteng , Jakarta, 21 Maret 1957 malamÂ
"Widy! Norma! Bagaimana ceritanya kalian mau-maunya berkelahi membela anak nakal ini," Hanief Andrian sambil tertawa, Â Sepupu Syafri menunjuk Lutfi yang juga terkekeh-kekeh.
Dia duduk berhadapan dengan Widy dan Norma. Â Sementara Lutfi diapitnya di antara dia dan istrinya yang diperkenalkan sebagai Tanja, bule asal Yugoslavia yang kini jadi warganegara Indonesia.
Tanja berusia 28 tahun sebaya Syafri. Â Dia sama tingginya dengan Hanief. Â Dia fasih berbahasa Indonesia. "Adik saya juga senakal dia. Dia lahir persis ketika Berlin jatuh ke tangan sekutu, namanya Tito May."
"Wah, keluarga Anda pengagum Josep Broz Tito? Pimpinan Partisan," tanya Widy dengan antusias.
"Semua orang Yugoslavia pengagum Tito, Widy," jawab Tanja. Â "Aku ikut geriliya bersama ayahku ketika masih kecil. Rasa nasionalisme aku naik. Â Jadi aku bersimpati pada bangsa Indonesia karena Belada menyerbu tidak ada bedanya dengan Nazi."
"Pertanyaan istrimu itu cerdas Syafri. Kalau kamu pernah tanya mengapa tokoh PSI Sukanya cewek-cewek Bule, seperti Syahrir dan Sutan Takdir? Begitu kan? Padahal kamu anak kuliahan."
Widy tertawa geli. "Kang Syafri suka dansa juga kan? Sok-sokan anti Barat. Kamu Sukarnois pisan euy!"
Syafri tersenyum. "Suka dansa bukan berarti kebarat-baratan."
"Jangan minder sama bule. Orang Belanda itu, terutama  yang dari Afrika Selatan itu juga minder sama yang negeri Belanda, mereka ketika di Indonesia sombongnya bukan main. Penjajah pikir orang Asia dan Afrika itu mudah ditaklukan, padahal itu karena ketinggalan pengetahuan dan teknologi saja, kalau sama?" jelas Tanja.