Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Dilan 1983: Wo Ai Ni", Tidak Gombal dan Terbaik

18 Juni 2024   21:20 Diperbarui: 18 Juni 2024   21:40 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan Dilan 1983: Wo Ai Ni _Sumber Foto: https://pasundanekspres.id

Hanya sedikit film di bioskop yang membuat saya melakukan standing aplaus dengan spontan. Salah satu film itu adalah "Dilan 1983": Wo Ai Ni" dan ternyata diikuti penonton lain di Studio 3, Cinere 21.  Saya lega Pidi Baiq membuktikan Dilan Universe kali ini  yang diekskusi dengan baik oleh Fajar Bustomi  tidak mempertontonkan kegombalan, seperti  "Dilan 1990", "Dilan 1991",  "Milea: Suara dari Dilan", serta "Ancika: Dia Bersamaku 1995".

"Dilan 1983: Wo Ai Ni" membantah cibiran sebagian warganet mengajarkan anak SD pacaran. Tidak sama sekali. Tidak ada satu pun adegan yang memperlihatkan Dilan kecil (Muhammad  Adhiyat) jalan berdua, berkeliling kota Bandung bersama Mei Lien Merry Oei (Malea Emma Tjandrawinata) dengan sepedanya, seperti dalam film-film Dilan sebelumnya.

Yang ada, hanya tingkah laku Dilan yang centil di kelas kepada Mei Lien, dengan sengaja duduk di sampingnya ketika baru "kembali" ke SD-nya di Bandung setelah dua tahun ikut ayah dan bundanya bertugas di Timor Timur pada 1983.  Padahal teman sebangku Mei Lien sedang ditugaskan gurunya di papan tulis.  

Mei Lin menanggapinya dengan jutek. Tetapi Dilan juga tidak memburunya seperti orang kasmaran malah tetap bermain dengan tiga teman lamanya.  Sekalipun di kelas tetap menggoda Mei Lien.  Hingga akhirnya ada suatu peristiwa membuat Mei Lien akhirnya luluh dan ketika mengikuti garis kapur yang dibuat Dilan dari sekolahnya hingga ke rumahnya "agar tidak tersesat" adalah hal manis dan membuat tersenyum. Orisinal.

Jadi kalau dihitung total adegan kecentilan Dilan pada pujaannya mendominasi film ini, tidak sampai sepertiganya.  Bahkan lebih banyak bersifat persahabatan. Saya terkesan ketika Mei Lien membawakan makanan buka puasa untuk kawan-kawan sekelasnya bahkan tanpa sepengetahuan orangtuanya.

Tetapi hubungan "suka" (saya tidak menyebutnya sebagai cinta) di akhir film  justru menyentuh perasaan saya.   "Dilan 1983: Wo Ai Ni" bukanlah "Ada Apa dengan Cinta" dengan kejar-kejaran di bandara. 

"Dilan 1983:  Wo Ai ni"  mengingatkan saya pada Andre Hirata alias Ipang mengungkapkan rasa suka pada Mei Ling-nya dalam  "Laskar Pelangi" terhadap  lawan jenis berbeda ras ketika masih duduk di bangku SD. Namun akhir yang ditawarkan Fajar Bustomi dan Pidi Baiq justru membuat air mata saya jatuh dan bakal menimbulkan kesan.  

Selain itu catatan sejarah hubungan antara etnis Tionghoa dan masyarakat lokal  di Belitung berbeda dengan Kota Bandung yang punya catatan yang tidak baik dalam sejarah dengan Peristiwa 10 Mei 1963 dan 5 Agustus 1973. Nah, "Dilan 1983: Wo Ai Ni" ini menjawab hubungan keduanya sudah jauh lebih harmonis. 

Saya percaya bahwa Dilan adalah pengalaman pribadi Pidi Baiq dan apa yang diungkapkannya dalam Dilan Universe benar-benar pas dengan realitas sosial dan zaman yang juga saya alami ketika berkunjung ke Bandung pada 1980-an dan 1990-an, ketika Bandung masih asri dan sejuk.

"Dilan 1983: Wo Ai Ni" mampu membawa saya kembali ke era 1983, pada masa puncak kejayaan Orde Baru. Opening scene ketika Dilan dan seorang kawannya bernama Lopez dalam Bahasa Tetun di Dilli juga menarik.  Sebagai  catatan,  Ayah Dilan,  bernama Letnan Faisal (Bocek Depp) adalah anggota TNI yang sering pindah tugas.  Nah, dalam dialog perpisahan ketika Dilan kembali ke Bandung, Dilan dengan santai mengatakan: Salam pada Xanana Gusmao (pimpinan Fretelin setelah pemimpin sebelumnya tewas) dan Lopez bilang: Salam pada Soeharto.

Begitu juga dengan persoalan penembakan misterius, diselipkan dalam film ini memperkuat gambaran bagi penonton bahwa ini 1983, ketika kawanan Dilan menemukan tubuh terbungkus karung dengan diperlihatkan tattoo di bagian tubuhnya.  Bahkan Bunda Dilan (Ira Wibowo) membicarakannya dengan anak-anaknya seperti halnya pembicaraan orang masa itu tanpa mengetahui siapa dalang peristiwa itu. 

Realitas sosial lain ialah undian harapan dan porkas, judi yang dilegitimasi dan menjadi keresahan masa itu digambarkan oleh kutbah Kakek Dilan (Cok Simbara) yang menjadi guru mengaji anak-anak.  Film ini menyindir kebiasaan sosial itu ketika  Dilan tanpa sungkan mengambil cerutu untuk sesaji dari mereka yang mengharapkan menembus nomor untuk diberikan pada kakeknya. Luar biasa.

Dilan kecil punya kenakalan dan bukan anak yang "maha sempurna", misalnya menyembunyikan petasan di balik kasur neneknya (dimainkan dengan baik oleh Nniek L Kariem) karena kesal dimarahi menyalakan petasan dan mempermainkan marbod masjid dengan mengunci pintu WC.  

Perkelahian antara Dilan dan kawan-kawannya dengan geng Gigin (Quentin Stanislavni Kusnandar)  juga merupakan kenakalan anak-anak biasa.  Perkelahian satu lawan satu dan tidak mengesankan ke arah kriminal seperti geng motor pada era setelah 2000.

Saya juga suka dengan Bunda Dilan yang mengemudikan jipnya sementara ayahnya justru di sampingnya mencerminkan kemandirian perempuan dan kesetaraan. Bunda tidak marah pada Dilan yang pulang sehabis berkelahi tetapi didengarkan. Saya suka akting Ira Wibowo yang duduk di samping Mei Lin di beranda rumahnya: Mei Lin kamu itu cantik loh!"

Oh, ya saya pernah diskusi dengan salah seorang penikmat film apakah secara sienmatografi Fajar bisa mengambil Bandung 1980-an? Ya, memang ada pedagang buku kaki lima di dekat Cikapundung, Alun-alun, sebagian kawasan Braga masih bisa jadi wakil 1980-an dan untungnya banyak sekolah di Bandung mempertahankan bangunan tua, juga Daihatsu orang tua Mei Lin dan Jip keluarga Dilan, serta angkot masa itu. Okelah, memang jadi terbatas sih untuk membuat film sejarah dengan setting Bandung. 

Hanya saja catatan saya, penontonnya banyak yang datang dari usia SD, mungkin karena tokoh utamanya anak SD film ini tontotanan untuk anak SD. Harusnya dengan bimbingan orangtua, karena film ini lebih tepat untuk remaja  hingga generasi saya.  Bagaimana mereka menangkap masalah Petrus dan  kekerasan kriminal di salah satu adegan?  Sayangnya anak SD segera pasti pernah menonton itu entah di media sosial. Apa boleh buat.

Secara total "Dilan 1983: Wo Ai Ni" adalah yang paling terbaik di antara seluruh film Dilan yang sudah ada. Saya merasa tidak berlebihan memberikan standing applaus.  Ceritanya yang didukung pemainnya luar biasa, begitu juga sinematografinya.     

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun