Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jakarta Mendatang, Sebaiknya Tambah RTH, Urban Farming, dan Transportasi Massal

7 Juni 2024   19:22 Diperbarui: 8 Juni 2024   04:21 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebet Eco Park, contoh Revitaliasi Taman yang berhasil | Foto: Irvan Sjafari

Di mata saya keunggulan Jakarta hanya dua kok. Pertama, peluang kerja dan peruntungan lebih terbuka untuk mencari uang. Kantor pemerintahan dan swasta di berbagai bidang yang punya jaringan luas umumnya berpusat di swasta, kantor media yang terkemuka, hotel-hotel besar, otomatis usaha jasa, kuliner untuk mendukung kebutuhan itu juga banyak.

Kedua, Perpustakaan Nasional dan perpustakaan besar berada di Jakarta. Isinya literasi yang sebagian besar tidak ada di internet karena digital yang lengkap sulit terwujud dan sebetulnya bukan di Indonesia saja.   Pendeknya Jakarta mempunyai kekuatan informasi.

Jika Ibu Kota pindah apakah keunggulan itu lenyap? Tidak. Kantor-kantor pemerintahan dan swasta akan tetap di Jakarta. Peluang kerja  akan tetap besar di Jakarta. Semua didukung infrastruktur yang lebih tertata.   

Tidak mungkin juga memindahkan perpustakaan nasional keluar  ke Ibu Kota Nusantara (IKN). Saya tidak membayangkan repotnya karena itu menyangkut naskah lama yang berisiko. Perlu berapa tahun dan biaya yang sangat besar.

Hanya dua hal itu membuat saya masih berpikir untuk tinggal di pinggiran Jakarta dan menjadikan Jakarta untuk tumpuan. Selain memang karena lahir di Jakarta. Kalau seandainya saya orang kaya dan punya dana besar, saya sudah berencana hengkang ke Bandung atau Malang dengan membawa buku-buku, literasi. Bekerja atau membuka usaha di salah satu dari dua kota itu.

Saya yakin dan pernah saya tulis tanpa dua hal ini dan seandainya di daerah tersebar pusat ekonomi, serta perpustakaan memadai serta infrastruktur mencukupi, saya jamin malah akan  terjadi deurbanisasi. Para pendatang dan keturunanannya yang punya keterikatan budaya kuat dengan daerah asalnya akan kembali. Mungkin fenomena mudik tinggal sejarah dan kalaupun ada hanya sedikit.

Perluas RTH dan Revitalisasi Taman

Baiklah, kalau begitu apa masukan bagi Jakarta. Pertama, perluas ruang terbuka hijau untuk meredam polusi. Dikutip dari data boks pada 14 Desember 2023, RTH  Jakarta  hanya 5,2 persen atau sekira 33,4 juta meter persegi dari seluruh luas lahan. Sangat tidak memadai dari syarat 30% untuk persyaratan minimum sebuah kota. 

RTH ini bisa mengurangi banjir dan sekaligus menjadikan taman-taman rekreasi yang bisa meredam stress akibat kerasnya kehidupan, serta gratis. Sejumlah RTH direvitalisasi menjadi taman  menunjukkan hasil yang bagus. Contohnya Tebet Eco Park, yang langsung disambut oleh warga Jakarta sebagai tempat rekreasi yang murah meriah. Ini yang harus banyak dibutuhkan warga Jakarta. Penggagasnya juga cerdas karena didukung konservasi air. 

Ingat situs Iqair.com selalu menyebut Jakarta, serta daerah sekitarnya seperti Tangsel sebagai kualitas udara yang terburuk  bahkan kerap jadi juara dunia, berada dalam kisaran 160-an hingga 180-an. Tentunya berdampak bagi kesehatan warga. Semakin banyak RTH ini maka karbon terserap makin banyak.

Selain itu   buat warga Jakarta dan suburbannya untuk naik kendaraan umum yang nyaman tentunya dan harus dicontohkan pejabatnya. Mereka bawa mobil pribadi karena hal urgent. Karena masyarakat kita patrimonial ya, pejabatnya harus naik kendaraan umum juga dong, mulai dari Gubernur, Ketua DPR hingga ke bawah.

Mereka bisa ngobrol  dengan rakyat di kendaraan umum. Mereka bisa mendengar langsung keluh kesah rakyat. Kalau perlu dukung dengan kampanye dari para artis bawa naik kendaraan umum itu keren dan harus dicontohkan di Jakarta, daerah akan terinspirasi. Mintalah artis-artis itu setidaknya dalam sebulan berapa kali naik kendaraan umum, serta memviralkannya via medsos.    

Setahu saya tahun 1980-an ada artis atau model naik metromini dan kereta api jabodetabek yang luar biasa buruknya, nggak apa-apa tuh. Tidak terdengar mereka diganggu atau jadi korban kejahatan. Saya pernah naik Kereta komuter jabodetabek bareng seorang artis dan juga model mahasiswi Fakultas Sastra UI ke Cikini dari Stasiun Kampus UI pada 1990-an, tidak ada yang berbuat usil.

Urban Farming dan Pendestrian

Kedua, terkait dengan RTH,  Kepala Daerah Jakarta harus lebih menggalakan urban farming yang bisa memberikan manfaat lingkungan sekaligus ekonomis dengan menggunakan lahan sempit, atap bangunan dengan menggunakan sistem hidroponik  dan kalau perlu dibantu biayanya. 

Titik urban farming di Jakarta menurut data yang saya dapat  pada 2020 sekitar 900 titik, itu pun karena didorong oleh penerapan work form home. (Sumber: Peluang) Namun pada 2023 Pemprov DKI Jakarta hanya mengakui 625 titik. Seperti dikutip dari Antara. Yang benar mana nih. Turun nggak? Tapi kalau proporsi dengan jumlah RW di Jakarta 2.744, bagus 1:4

Bandung misalnya lebih kecil dari Jakarta tetapi punya 375 titik dan didukung oleh Program Kang Pisman (pemilahan sampah) hingga kompos dari sampah organik untuk mendukung urban farming. Pemkotnya punya target pada 2024 ini menjadikannya 400 titik.  Jumlah yang lumayan karena RW-nya 1.500-an.  Jadi sekitar 1:4 juga.

Jadi Kepala Daerah Jakarta mendatang menjadikan urban farming plus pemilahan sampah jadi program. Bukankah kota-kota besar lain juga begitu? Jangan ragu belajar dari Bandung. Kota Milan saja mau belajar dari Bandung. Pemilihan sampah plus urban farming ada di sejumlah titik dan setahu saya ada di Pangkalan Jati, Jakarta Selatan.

Bermanfaat kok untuk ketahanan pangan. Jadi ketika cabai naik karena ada kendala di daerah pemasoknya, maka pelaku urban farming juga punya lahan cabai bisa barter dengan yang punya sayuran dan ikan lele. Saya yakin urban farming ini kalau bisa mencakup titik yang lebih luas bakal meredam inflasi.

Ketiga, yang paling membuat saya merasa kehilangan Jakarta ialah berkurangnya lapangan bermain. Dulu ketika saya masih duduk di SD di kawasan Tebet pada 1970-an tiap pulang sekolah main bola, seperti lapangan dekat menara air. Kini lapangan demi lapangan sepertinya lenyap. Haruslah ada penambahan lapangan bermain.

Keempat, menurut saya harus diakui pedestrian adalah hal yang penting. Trotoar yang lebar membuat Jakarta nyaman menurut saya. Apalagi dengan kendaraan pribadi  berlalu lalang  berkurang karena sudah naik kendaraan umum. Plus penanaman  pohon-pohon yang rindang di pedestrian, itu pembangunan pro rakyat kebanyakan.

Pedestrian di Jalan Thamrin | Foto: genpi.co
Pedestrian di Jalan Thamrin | Foto: genpi.co

Dukung Pedagang Kaki Lima dan Pasar Tradisional

Kelima, Kepala Daerah Jakarta mendatang memberikan banyak sentra pedagang kaki lima yang mudah diakses karyawan atau orang yang tingkat ekonominya seperti saya.  Seperti  di Jalan Sabang cukup bagus kok. Ada pedagang sate, nasi goreng, nasi gulai dengan harga terjangkau. 

Jadi, ketika saya turun dari perpustakaan Nasional bisa menemukan makanan yang enak dan lebih murah daripada kantinnya. Begitu juga di jalan kecil  dan trotoar di kawasan Salemba sepiring sate ayam (5 tusuk) dan nasi Rp15.000 serta nasi goreng, nasi gado-gado dengan harga sama sangat disukai pelajar dan pekerja yang punya budget terbatas.

Kalau perlu kuliner kaki lima ini  jangan dikenakan pungutan yang tinggi karena mereka menjadi katarsis untuk lapangan kerja dan juga makanan mereka yang penghasilannya kecil di tengah ekonomi yang sulit.  Buktikan bahwa Jakarta bukan hanya untuk orang kaya.

Hanya saja minta mereka untuk ikut berperilaku minim sampah, menyediakan tempat sampah dan menjaga kebersihan. Oh, ya Kepala Daerah Jakarta mendatang lebih menyediakan tong sampah jangan sampai orang sulit mencari tempat membuang sampah.

Keenam, perbanyak revitalisasi pasar tradisional jangan mal terus diperhatikan. Buatlah berkunjung ke pasar tradisional menjadi hal yang nyaman. Saya merindukan pasar tradisional Blok M tahun 1970-an yang bersih  nyaris seperti  M Bloc Space sekarang. Saya suka makan sate ayam di Restoran Jaya di ujung blok pasar itu  di udara terbuka. Sayang Blok M sekarang malah crowded.

Ubah citra pasar tradisional identik dengan becek, bisa kok. Kalau saya makan di dalam pasar tradisional seperti Cihapit Bandung menyenangkan kok, mungkin karena warung Mak Eha ya?  Kalau di Pasar Pondok Labu atau warung nasi kapau enak. Dulu. 

Jadi tidak usah mimpi membuat Jakarta seperti Singapura, New York atau Melbourne, prasyarat ke arah situ tidak terpenuhi terutama mindset yang lebih sulit daripada fisik. Misalnya disiplin mengantre, jangan meludah sembarangan, jangan merokok di area publik dan sebagainya. 

Selain itu pemerintah bereskan dulu kesenjangan sosial, secara nasional, pemerintah plus  pertanian (termasuk lingkungan hidup), pendidikan dan kesehatan, saya yakin masalah Jakarta akan ikut beres juga. 

Irvan Sjafari

Sumber:

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/12/14/ruang-terbuka-hijau-jakarta-hanya-52-pada-2023-ini-luas-per-kotanya

https://www.antaranews.com/berita/3800340/festival-urban-farming-jadi-upaya-pemprov-dki-hijaukan-jakarta

https://www.iqair.com/id/indonesia/jakarta

https://peluangnews.id/peluang-usaha-urban-farming-di-jakarta-masih-terbuka-lebar/

Foto:

https://www.genpi.co/berita/4852/pedestrian-jalan-mh-thamrin-sudirman-aman-dari-laka-lantas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun