Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gemini Syndrome: Episode Pertemuan dengan "R"

26 Mei 2024   20:33 Diperbarui: 26 Mei 2024   21:08 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hegermanah, 15 Mei 2023, subuh. Setelah selesai menaikan Salat , aku keluar dari hotel kecil  tempat aku menginap dalam kunjunganku ke Bandung. Sebetulnya bukan tempat aku biasa menginap. Tetapi  D & D Backpacker sedang penuh. Jadi terpaksa aku memilih tempat ini agar tidak jauh dari Setiabudi.   

Aku tadinya ingin mencari udara segara dan merayap di jalan sepi.   Seratus meter dari hotel, "R" menantiku di dekat mobilnya, perempuan berhijab yang aku butuhkan untuk curhat ketika menghadapi masalah asmara.

"Anjeun tahu aku di sini, Ustadzah geulis?" sapaku. Rasanya aku ingin mati karena serangan jantung mendadak.  Perempuan yang selalu hadir ketika aku butuhkan bahkan seperti punya telepati bisa tahu aku di mana?

R" tertawa: Aku bukan uztadzah Anak Jakarta. Ilmu agamaku belum cukup.  Kita sudah 23 tahun kenal, sejak umurku 18 tahun.  Aku seusia dengan Cah Ayu dari Kota Batumu itu, kan?

"Kamu kok tahu soal Cah Ayumu? Eh, iya, aku ingin bercerita soal dia dan minta pendapatmu."

"R": Aku tahu kebiasaanmu. Kalau galau suka merayap subuh.  Jadi, bagaimana kamu masih memendam rasa pada Cah Ayu  itu. Apa yang kamu lihat dari  perempuan  yang pengalaman cintanya seribu dibanding satu dengan kamu"

Dari mana "R" tahu jatuh hati pada dia.  Mungkin aku terlalu rajin bikin status di WA dan media sosial dan diam-diam mengamati.

"Iya, kamu terlalu banyak menaburkan status di media sosial," katanya.

Lalu aku  berkata, "R", Aku suka kalau dia menatap seperti menyihir dan itu yang mungkin membuat Ken Dedes menaklukan para lelaki. Dia itu pintar dan mandiri tahu!

"R" tergelak: Jadi kamu mau jadi korban ke berapa?  Hanya dia yang tahu, apa skenario dia terhadap kamu, anak Jakarta. Melankolis yang introvert seperti kamu "mati konyol" di hadapan dia.

"Lalu aku harus apa?" Aku tahu "R" selalu membuat aku tidak bisa mengelak.

"R": Sudah sana ke Batu, selesaikan. Kalau kamu sampai remuk minta pada kantormu, penugasan tiga bulan di Bandung dan aku jamin kamu lupa. Kalau perlu aku bantu dengan Hypnoterapi yang bisa menghapus ingatanmu tentang dia.

Aku tahu "R", janda satu anak perempuan, lulusan  Fakultas psikologi, sebuah universitas,  entah dia bekerja di mana.  Aku tidak mau tahu, yang penting ketika aku butuh dia  mau menjadi pendengar yang setia.  "R" tidak pernah cerita dia kerja di mana. Tetapi "R" selalu tahu aku setia di lapangan jurnalistik, bidangnya pun dia tahu.   

"Aku dengar kamu  sudah kerasan dengan para greener itu. Bidang lingkungan hidup rupanya memikatmu. Aku baca tulisan kamu di Koridor, kamu suka pada bidang itu. Mengapa? Apa ingin menyelamatkan Bumi? Di generasimu tidak banyak peduli, di generasiku juga tidak banyak, di bawah kita mungkin lebih banyak.  Sana bergaul saja dengan mereka sebagai sahabat. Siapa tahu ada yang nyantol? Jodoh itu di tangan Tuhan!"

Aku: "Ya, ada rekan greener , aktivis lingkungan yang menjemputku dua jam lagi. Dia mengajak aku melihat kawasan longsor di utara Bandung. Aku takut kalau Kawasan Bandung Utara runtuh. Kota yang aku cinta.

Kali ini "R" mengacungkan jempol kepadaku.

"R": Kamu pernah bilang kalau Bumi gersang, dan kamu pegang  satu kendi air bersih dan kamu  yang pegang kamu berikan pada dia dan buah hatinya? Itu artinya kamu bersedia untuk dia dan buah hatinya? Konyol. Aku yakin dia nggak butuh puisi. Memangnya aku nggak mengamati celotehan konyol kamu di Facebook."  Dia tertawa cekikan khas dia, tertawa yang buat aku suka.   

"Tahu dari mana?" tanyaku dengan wajah galau.

"Ada dua pilihan. Temui dia di  Batu atau tiga bulan di Bandung. Aku jamin anak Jakarta yang   sok setia pada satu cinta bisa tahan atau tidak?" Dia menantang.

"R", Aku Gemini yang banyak suka perempuan, tetapi sekali kena satu hanya itu."

Dia kembali tertawa. "Dulu kamu pernah juga curhat hal yang sama. Aku tidak lupa. Kamu punya catatan, aku juga dan jangan khawatir kamu dapat tempat."

"Ya, Ustazah, anjeun selalu ingat," Aku menunduk tak berani menatap matanya.

 "R", sudah kembali ke hotel. Jangan sampai terlambat dijemput! Lalu dia masuk mobil dan berlalu.

"R" menjalankan mobilnya berhenti sebentar dan membuka jendela: Kapan kamu jelaskan lebih detail. Sepintar apa dia! Assalamulaikum! " Dia menutup jendela dan mobilnya berlalu.

"Walaikumsalam, terima kasih anjeun kembali menjadi menjadi sahabatku."

Aku Gemini dua wajah, di satu sisi aku ingin melindungi dan menyayangi perempuan itu dan buah hatinya. Begitu saja.  Sisi lain, aku ingin berlindung dalam dirinya, mencintainya, meminta dia mengobati luka jiwa, ingin memilikinya. Mendua, bukan kepribadian ganda, sayang.  Aku ingat kalimatmu.

Bukankah dua pemimpin negeri ini Sukarno dan Suharto berada di bawah Rasi Gemini?  Hanya saja apakah mereka orang-orang yang mendua?  Bukankah keduanya yang membangun fondasi Indonesia? 

Aku kembali ke hotel untuk mandi dan berganti pakaian.  Setelah sarapan di warung dekat hotel, tepat pada pukul tujuh pagi sebuah sedan datang menjemputku. Pemiliknya, Rhyma, aktivis lingkungan dari Yayasan Cinta Alam Indonesia sudah memberitahu aku bahwa  sebagian tanah  tak jauh dari SMP Yayasan Al-Husainiyyah di Jalan Bukit Jatian, Kelurahan Hegarmanah, Kecamatan Cidadap runtuh.

Aku duduk di samping Rhyma yang mengemudi dan kami meluncur ke lokasi. Setibanya di sana sejumlah aktivis sudah menunggu, ada Erland dan Imam  relawan dari Universitas Parahyangan, serta Zulqarnaen, kawan sekomunitas Rhyma.  Panorama yang cukup mengerikan tanah yang ambruk menimpa rumpun bambu dan saluran air serta sebagian jalan setapak. 

Longsor sedalam sekira dua puluh meter dan lebar sekira 30 meter ini  rupanya sudah terjadi pada 26 April dan belum dibereskan.  Para aktivis ini mengajak aku berkeliling selain melihat lokasi petaka, untung tidak ada korban jiwa.  Ketika berkeliling aku mengamati pemukiman di lereng dan khawatir, akan runtuh.  

Setelah cukup mendapat laporan, Rhyma mengantar aku ke pool sebuah travel di Kawasan Dipati Ukur.  Aku memang berencana memang langsung pulang ke Jakarta sehabis reporting.  Aku mendapat jam yang agak sore hingga ada waktu beberapa jam untuk makan di sebuah rumah makan.

Baru saja aku duduk setelah memesan makanan, entah dari mana "R" duduk berhadapan  membawa makanan nasi goreng rempah yang sama aku pesan. Rumah makan spesialis nasi goreng itu.

"Anjeun, tahu aku di sini?"  tanyaku.

"R" tidak menanggapi, dia tetap menyantap makanan.  Tak lama kemudian, seorang anak perempuan usia sekira sepuluh tahun duduk di sebelahnya.

"Ini Om, yang Mama sering cerita, ya?" tanyanya. "Assalamulaikum Om, dia meraih telapak tanganku dan menciumnya."

Kami tidak berkata-kata. Sang bocah baru pulang sekolah ikut menyantap nasi gorengnya.  Rasanya aku nyaman walau tidak saling bicara. Bahkan sampai selesai makan.  Mereka ikut berjalan menemaniku hingga  masuk mobil travel tepat pada waktunya.

                                                                                                  ****

Kiara Condong, Bandung, 30 Desember 2000.  Gadis berjilbab itu menundukan wajahnya dengan aura menyejukan, sambil melempar senyum dalam angkot.  Ketika itu aku baru pulang menonton film  "Syukur 21", sebuah film Malaysia bersama dua adik perempuan aku di Kiara21.  Wajahnya aku tebak peranakan  Arab-Sunda. Tak ada perkenalan.  Gadis itu  mengingatkan aku pada  Wiet, staf perpustakaan di kantorku yang aku taksir. Namun aku belum tahu serius atau tidak. Namun tampaknya dia lebih muda.  

Tetapi salah seorang adik aku menegur: "Hei, matanya lihatin siapa?" 

Kami turun lebih dulu bersama kedua adikku untuk melanjutkan perjalanan ke Cicendo dengan angkot lain.  Gadis itu tetap di angkot itu, tetapi dia sempat melihatku.

Besoknya, 31 Desember  sore aku ke tempat dia naik, berkeliling.  Barangkali dia  ada di sana. Siapa dia tinggal di sana.  Setengah jam mengitari lokasi sekitar bioskop Kiara 21,  tidak ada perempuan berhijab.  Akhirnya aku memutuskan untuk kembali.  

Lalu aku ke alun-alun juga dengan perasaan kesal.  Palaguna begitu kumuh dan tak terurus, merosot kualitasnya. Kemudian mampir ke Masjid Agung untuk Salat Asar. 

Aku kemudian mencari warung makan di dekat masjid, memilih gerobak batagor. Pesannya hanya steengah porsi sekadar ngemil. Ungkapan jantung terasa melompat terjadi pada diriku, perempuan itu ada di antara pengunjung bersama temannya yang juga berhijab. Mereka tersenyum.

"Assalamulaikum!" sapa dia.

"Walaikumsalam!" jawabku.  

Lalu aku memesan batagor setengah  porsi dan duduk  berhadapan. 

"Aku melihat Abang tadi di seputaran Kiara 21, mencari apa?" tanyanya.

"Kalian kok tahu. Kalian  melihat?"

"Kami di belakang Abang atuuh."

Mukaku merah padam.

"Kemarin malam di angkot cara melihatnya jangan begitu Bang!"

Aku menunduk.

Dia tersenyum. "Mau kenalan?"  Dia menyebut namanya "R", 18 tahun,  mahasiswi  tahun pertama Fakultas Psikologi, sebuah universitas di Bandung. Kami mengobrol tanpa sekalipun bersalaman.  Tetapi dia menampik memberikan alamat yang aku minta. Aku menyebutnya sebagai sebagai jurnalis di sebuah media online.

"Kalau main ke Bandung, sering ke masjid di sini saja atuh, setiap Asar pulang kuliah aku ke sini kok," katanya.

 "Nanti tahun baruan di Dago?" Aku ingin tahu apa mereka seperti anak muda Bandung lainnya.

"Kami memilih mengaji. Abang memang setuju tahun baruan?" tanyanya.  "Kalau mau bertemu di tempat pengajian aku.  Kalau Abang, aku kasih alamatnya."

"Aku juga nggak.  Bagi aku tahun baru adalah rekaan kapitalisme. Bagian dari kultur kapitalisme agar orang menonton pertunjukkan musik di hotel, tempat rekreasi. Walau ada yang hanya menonton kembang api, tetapi semua menghamburkan sumber daya uang yang bisa dimanfaatkan untuk hal lain," papar aku.

Itu memang sikapku, bukan agar dianggap sejalan dengan dia untuk mengambil muka.  Aku duga dia pasti menentang perayaan Valentine dengan alasan sendiri. Aku juga menentang perayaan valentine karena itu perayaan Hari Kasih Sayang konstruksi kapitalisme. Kalau mau menunjukkan kasih sayang kok harus 14 Februari?

"Bagi aku tahun baru sama dengan hari lain. Apa bedanya? Mau buat ikhtiar hal yang lebih baik tidak harus tahun baru, kan?"

Dia dan temannya mengangguk. "Abang punya sudut pandang lain."

Aku memesan setengah porsi batagor lagi. Mereka melihat.

"Mengapa tidak sekalian seporsi?" tanya "R".

"Aku tidak mau buang makanan. Kalau masih lapar tambah lagi," kataku.

"Ya, memang kalau makan jangan mubazir," katanya. "Aku setuju."

"Abang, wartawan di mana?" tiba-tiba temannya menyela.

"Inilho.Com dan Indonesia Raya.Com, media online dua bahasa. Yang pertama bahasa Indonesia dan yang kedua bahasa Inggris," jawabku. Kemudian aku memberikan kartu namaku pada mereka.  "R" tertawa.

Hape aku berbunyi.  Telepon dari  Cicendo. Rupanya aku diminta pulang segera. Aku pamit.

"Jangan kahwatir. Kalau kita memang harus bertemu, ya bertemu. Percaya itu," katanya.

Malamnya memang aku di Cicendo menunggu rumah, Mama, Papa, adik-adik, sepupuku pada keluar melihat suasana tahun baru memakai dua mobil. Mungkin mereka ke Dago. Aku tidak peduli, hanya bersama Bibik. Malah asyik menulis diary tentang jalan-jalan hari ini di Bandung.

Hapeku berbunyi. Ada telepon masuk. "Assalamulaikum, Anak Jakarta!" ucapnya.  Dari "R".

"Walaikumsalam Gadis Bandung," jawabku dengan gugup.

"Aku hanya bilang, kalau serius sama satu perempuan, ya bilang saja, tidak usah lama-lama. Abang ada yang serius, nggak di kantor? Atau sama siapa pun.  Kalau main-main, jangan deh!"

"Aku memang milih-milih, aku ingin perempuan yang mendampingiku mandiri juga secara ekonomi dan pendidikan setara."

"Setuju bahwa perempuan harus mandiri, makanya aku kuliah di Psikologi. Dia juga anak kuliah kan? Abang masih mau main-main?"

Dia tahu rupanya, seperti punya telepati.  "Asalamulaikum!" Dia menutup telepon. Nomornya setelah saya cek sebuah wartel. Mungkin di kawasan Kiara Condong.

                                                                                         ****

Kampoeng Jazz, Dipati Ukur Bandung, 2 Mei 2015, Arina  vokalis  Band Mocca memesona dengan "Secret Admirer" di panggung utama. "Kamu  memilih jadi  secret admirer karena kamu takut terluka. Tapi memang kalau jodoh akan ada jalan sendiri. Dia akan tahu kok  tanpa dinyatakan."  Ada suara di belakangku,

Aku jawab:  "Aku pilih terluka. Berjodoh atau tidak."

"Jawabanmu nekad!"

Lalu menoleh ke belakang. Rupanya "R" sudah ada di belakangku tanpa aku sadari. Dia masih seperti dulu, berhijab dengan matanya yang tajam dan wajahnya yang karismatik.

"Hey, apa kabar? Assalamulaikum," sapaku.

"Walaikumsalam, Anak Jakarta, Abang apa kabar?"

"Ya, Orang Prancis bilang: Comme Ci, Comme Ca! Atau begitu-begitu saja?"

Kami mengobrol sebentar. Rupanya dia sudah menikah dan punya seorang anak perempuan masih kecil. Namun dia dalam proses bercerai entah mengapa, aku tidak ingin tahu.  Gelar psikolog dia peroleh dan aku tidak ingin tahu kerja di mana.

"Anjeun, lagi ngejar siapa lagi? Kan aku pernah bilang. Nggak usah diulur, kalau serius, bilang saja. Atau dia sudah ada yang punya, lupakan saja. Nanti nyesal loh!"

Kami menikmati santapan di sebuah gerai dadakan di lingkungan Unpad itu setelah pertunjukkan Mocca.

"Aku setuju satu hal dengan Abang nyatakan, perempuan juga  harus mandiri secara ekonomi, setidaknya punya pendidikan tinggi."

"Tapi laki-laki harus lebih dari perempuannya kan?"

"Nggak harus, tapi komitmen. Belajarlah dari kisah Khadidjah," katanya. "Kalau kamu punya masalah, datanglah ke Bandung. Aku bisa mengendus keberadaan Abang kalau punya masalah?"

"Habis ini aku menonton pertunjukkan Yura? Kalau anjeun?"

"Yura? Apa yang Abang suka dari dia?"

"Lagu-lagunya cerdas. Seperti Kataji, misalnya. Lagu Sunda tetapi gaya broadway.  Balada Sirkus juga unik."

"R" mengangguk setuju,  "Mungkin aku nengok anak dulu lagi sama neneknya  di daerah Cipaganti. Kalau sempat aku balik ke sini lagi, kan tiketnya bisa keluar masuk."

"R" memang jadi tempat curhatku  beberapa kali. Tetapi begitulah. Kalau aku tidak butuh teman curhat, dia juga menghilang.  Sepertinya dia juga tidak butuh teman curhat. Mungkin karena psikolog.

7 Desember 2022, Aku bertemu Kembali dengan  "R" kini sepulang hiking dari Patahan Lembang.  Entah bagaimana dia tahu keberadaanku, seperti 2015.  "R": Aku tahu kamu sedang jatuh hati dan membutuhkan teman curhat.  Pertanyaannya: "Kamu sungguh-sungguh?"

 "Kamu tahu aku sedang kacau ketika hiking?"

"Sudahlah, aku siap mendengarkan masalahmu.  Kalau Abang ke Bandung, tinggalkan jejak di status WA dan Facebook , aku bisa melacak."

Keajaiban dunia maya.

"Oh, ya jangan pernah sampai jatuh cinta karena pesona seorang  perempuan di dunia maya. Itu bisa menipu! Tapi Abang nggak sendiri. Perempuan juga banyak tertipu karena media sosial."

Aku mengangguk.  Aku selalu ingin bertemu kalau sudah punya masalah berat.  Aku suka karena dia tidak pernah menghakimi orang, walau tidak setuju.   Dia selalu mendengarkan aku  sampai habis energiku. Walaupun tidak selalu menanggapi (Tamat Episode Pertama)

Irvan Sjafari 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun