Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Leuweung Larangan

15 Mei 2024   15:04 Diperbarui: 15 Mei 2024   15:17 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Luewueung Larangan-Foto: Irvan Sjafari

Para sesepuh kampung adat selalu mengingatkan kepada para wistawan yang datang  ke Desa Cibeureum   jangan memasuki Leuwueng Hedjo yang kerap disebut Leuweung Larangan  yang batasnya ada di  Curug Beureum.  Rata-rata patuh.

Kawasan ini  masih asri, tetapi jarang mendapat kunjungan wisatawan karena letaknya terpencil di pedalaman Priangan Selatan.  Mereka melihat Curug Beureum akan jatuh hati. Air terjun meluncur dari ketinggian dua puluh lima meter di antara  rerumpunan bambu yang rapat di kanan dan kiri.

Warga kampung saja tidak berani sembarangan  masuk hutan itu. Pamali!  Peneliti biologi  dari universitas ditemani sesepuh kampung atau penjaga hutan.  Mereka  mengambil sampel daun, bunga, serangga untuk mengetahui keanekaragaman hayati .

Tetapi tidak ada sampai  ke tengah hutan atau naik ke puncak gunung. Mereka harus turun sebelum matahari terbenam.  Gunung itu bukan untuk rekreasi pendakian, benar-benar untuk konservasi termasuk melindungi mata air di daerah itu.

Kamera petugas hutan pernah menangkap beberapa ekor macan tutul  lalu lalang memperkuat hutan tidak boleh sembarangan dimasuki. Babi hutan, kancil hingga lutung  yang ada di sana tidak boleh diburu.

Ada yang nekad masuk hutan  tanpa permisi?  Terakhir, ada tiga anak muda  hilang tahun lalu tidak ditemukan.  Para penjaga hutan cukup jengkel karena sudah tidak minta izin, lapor ke pos, tahu-tahu ada laporan keluarga kehilangan.

Aku suka solo hiking ke Curug Beureum untuk kontempelasi dari berbagai masalah pribadi.  Biasanya waktu week day di mana hari sepi. Aku selalu  menemui  Abah Cakra  atau Kang Anom sebelum naik dan patuh  untuk tidak melangkah jauh ke Leuweung larangan.

Tapi suatu Ketika aku menemukan lutung kecil  bulunya bagus putih keabu-abuan. Aku merasa kasihan mungkin dia terpisah dari orangtuanya dan membawanya ke atas tanpa lapor penjaga hutan atau sesepuh.

Sebetulnya takut juga mendengar suara ratusan lutung yang bersahutan di pohon-pohon dan ketika aku melepaskan lutung kecil yang segera memanjat pohon, berhenti sebentar di dahan menatapku, lalu lutung itu  naik lagi.

Gantian aku yang tersesat tidak tahu jalan turun.  Namun entah dari mana ada seorang gadis membawa kayu bakar  menuntunku ke jalan keluar kembali ke curug. Mungkin warga setempat mencari kayu.  Aku melapor ke Kang Anom dan Abah Cakra.

"Niatmu baik, alam mah tahu mana orang yang baik atau tidak?" tergiang ucapan Abah.

Salahnya, aku menulis penemuan lutung itu di blog, lengkap dengan fotonya dan menjadi perhatian banyak orang. Aku baru tahu bahwa  hanya aku bertemu spesies itu hidup. Dengan cepat tulisan itu meraup banyak viewer di antara peneliti yang ingin mengajakku ke sana.

Masalah datang. Pagi ini  empat orang  menghampiri saya di tempat kos dan memaksa saya untuk ikut mereka.

Darmawan Bimasakti, kakak kelas ku di kampus . Tak ada anak yang kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas  Indonesia Emas ini yang  berani lawan dia. Selain badannya besar, ia putra seorang pendiri ormas yang berpengaruh. Sang Ayah  pemilik yayasan kampus dan pengusaha besar.

Andika, Sonny dan Berty juga mahasiswa di sana dan anak buahnya di ormas tersebut. Ketiganya anak pejabat  yang punya pengaruh.  Mereka berempat gemar mengendarai motor trail di alam terbuka, namun kerap membuat keributan dengan warga berbagai desa karena merusak kebun sayur warga,   

"Luh di depan dengan gue, tunjukkan jalan masuk ke Leuweung Hedjo itu!" kata Darmawan dengan suara keras, Ketika kami tiba setelah naik motor dua jam dari tempat kos aku.

"Tidak permisi dulu dengan Sesepuh Desa atau melapor ke Pos Penjagaan," saranku.

"Nggak perlu!" bentaknya.

Aku berkeringat karena keempatnya membawa senjata api. Aku harap mereka hanya ingin  membuat trek motor trail.  Kami melintasi Curug Beureum dengan meninggalkan banyak kubangan yang digali ban motor trail itu Rupanya semalam turun hujan.  Aku menunjuk jalan setapak ke arah barat curug yang mendaki. Kami memasuki Leuweung Larangan  mengikuti jalan yang aku ingat pernah tempuh di antara pepohonan.

Tidak sampai setengah jam  kami tiba di batas di mana  aku dulu  mengantarkan lutung putih abu-abu kecil itu. Suara burung dan lutung bersahutan di dahan menjadi petanda sudah sampai di titik itu.

"Aku hanya tahu sampai di sini," kataku.

"Kita bisa terus Toh! Siapa tahu sampai jalan tembus ke sisi lain bukit ini!" kata Sonny. "Takut amat luh Mardi, percaya sama tahayu itu!"

Dengan mengucapkan doa sebisaku aku menurut . Suara lutung dan burung makin riuh karena deru motor trail begitu kencang.  Aku berharap kamera penjaga hutan bisa menangkap.  Sayang Sonny mengetahui keberadaanya dan merusak kamera itu dengan santainya.

Beberapa buah pinus berjatuhan menimpa Sonny. Rupanya ada lutung  menimpuk. Mungkin mereka terganggu.  

"Monyet kurang ajar!"

Sonny, Darmawan, Andika dan Berty mengambil pistol  dan senapan yang ada di tas mereka dan membidik ke atas. Empat tembakan bergema dan empat ekor lutung pun jatuh.  Mereka berbulu putih abu-abu dengan ekor panjang.

Seekor lutung lagi jatuh dipangkuanku. Sonny hendak menembaknya.

"Jangan!" teriakku. Aku melindunginya dan kemudian  aku  turun dari motor dan mendorong lutung itu Kembali ke atas pohon.

"Kamu segolongan dengan mereka, yaa! Penakut!" suara Darmawan menggelegar. "Ayo kita terus!  Akhir pekan kita bisa ajak rombongan kalau trek ini berhasil kita buat!"

Aku melihat bangkai empat ekor lutung itu dengan ketakutan yang tergeletak di tanah.

Kami melanjutkan perjalanan  menempuh bukit yang makin menanjak.  Aku terpaksa memegang erat-erat pinggang  Darmawan karena khawatir jatuh walau memakai helm.  Di balik pepohonan saya melihat seorang gadis berdiri yang rasanya pernah aku lihat.

Aku bersyukur warga tahu keberadaan kami dan aku bisa terbebas dari beban ini.  Jalan mendaki mendekati 60 derajat bahkan lebih. Yang aku rasakan oleng, aku, Darmawan serta motor meluncur jatuh. Begitu juga  tiga motor lainnya.

Tahu-tahu aku sudah terbaring di balai kayu beralas tikar. Pondok itu berlantai bambu dan dindingnya bambu.  Seekor lutung berbulu putih menatapku dari  atas lemari.  Perempuan muda  di sampingku dengan kendi air dan memberikan minuman kepadaku.

"Anjeun telah menyelamatkan lutung itu kedua kalinya, Hatur nuhun," kata perempuan itu.

Aku berupaya duduk. Mulanya berat, tetapi akhirnya berhasil. "Mana yang lain?"

Dia mengajakku mengikutinya tanpa berkata, Lalu perempuan itu menuntunku ke ruang sebelah. Di sana aku melihat Wawan, Sonny, Andika dan Berty terbaring dengan kepala terbuka.

Sebagian otak mereka sedang dipindahkan ke tubuh empat ekor lutung berbulu putih keabu-abuan itu oleh empat mahluk mirip manusia hanya mereka punya mata, hidung dan mulut yang ganjil. Aku ingin memekik, tetapi keempat mahluk tidak peduli ada aku.

"Mereka tetap hidup sebagai lutung pengganti empat ekor yang mereka bunuh, seperti terjadi pada pendaki yang hilang," kata perempuan itu.

"Siapa kalian?"  tanya aku dengan gemetar.

"Penunggu Leuwueng Larangan tepatnya.  Aku manusia seperti Aa, penghubung bekerja untuk mereka. Sudah ratusan tahun kami di sini. Aku tetap muda karena teknologi mahluk itu meregenerasi kulit dan organ tubuhku."

"Mereka mahluk gaib atau alien?"

"Bukan mahluk gaib kok.  Mereka punya teknologi transplantasi otak dari mahluk ke mahluk. Mereka datang dari satu tempat di langit ingin melindungi kehidupan  Bumi dari keserakahan. Dimulai dari tempat ini."

 "Anjeun, orang keempat yang dilihat warga terkait tiga orang hilang itu?" tanyaku.

Gadis itu mengangguk. "Aku sebetulnya menjaga mereka agar tidak keterluan di Leuweung larangan. Tapi mereka tidak patuh, ya seperti inilah nasib mereka."

"Apa tubuh mereka kan ditemukan?"

"Tidak, mereka akan jadi pupuk di Leuweung Larangan seperti tubuh kawan kakak itu.  Aa tidak akan terlibat tidak ada yang tahu, Aa ikut mereka. Semua bukti sudah mereka lenyapkan sendiri," kata cewek itu.

Wajahnya manis bahkan ayu. Dia tahu aku memperhatikannya. "Kalau  Aa kangen aku tunggulah di Curug Beureum, aku akan datang menemui Aa."

"Lalu bagaimana aku Kembali? Seperti dahulu anjeun antar?"

"Tidak, nanti kakak dicurigai bersama mereka."

"Jadi?"

"Air minum itu ada obat tidurnya," katanya tersenyum.

Tahu-tahu aku tidak sadarkan diri dan menemukan diriku terbaring di saung dekat Curug Bereum.  Kang Anom membangunkanku.

"Masih suka kontempelasi lagi ya, hari sudah siang. Ayo kita makan dulu," ajak Kang Anom.

Aku menurut.  Para penjaga belum tahu  empat motor trail naik ke Leuweng Larangan tanpa lapor.  Yang jelas ketika aku turun, sempat melihat ke atas curug. Perempuan itu berdiri di atas bukit dan melambai. Di dekatnya empat ekor lutung ketakutan.  Aku yakin mereka jelmaan kawanan Darmawan.

Irvan Sjafari  15 Mei 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun