Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak Kecanduan Gawai, Salah Siapa? Ini Masalahnya

28 April 2024   17:53 Diperbarui: 28 April 2024   17:53 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini setelah dibelikan ponsel sendiri, maka dia gemar sekali  dengan video youtube. Untungnya keponakan saya tidak  tahu cara akses game online.  Biaya kuota untuk internet termasuk nonton video youtube  tentunya cukup besar dan bagi saya sama dengan biaya internet untuk kerja.

Pemborosan ini terjadi karena banyak orangtua dari kalangan berada sibuk dan memberikan gawai pada anak adalah cara memberikan kesibukan- pada anak-anak mereka, di luar mereka belajar dan memang ampuh.  Pada sisi lain televisi sudah membosankan bagi anak-analk toh ada layanan streaming di ponsel kalau mencari hiburan di luar main game dan nonton Youtube.

Itu juga kesalahan stasiun televisi mainstream dengan sinetron dan tayangan infotainment , sekalipun ada serial seperti " Upin dan Ipin", "Marsha dan Beruang" yang diulang-ulang episodenya. Inovasi untuk acara anak-anak hampir tidak ada. 

Film untuk anak-anak pun di bioskop berapa banyak? Jadi ke mana anak-anak cari hiburan?  Pemerintah punya uang nggak untuk buat konten anak-anak dan meminta stasiun televisi memutarnya kalau perlu tanpa iklan.

Makin Terbatasnya Ruang Publik

Loh, ini kan kehendak zaman, cetus seorang kawan. Iya,  keberadaan gawai memang keniscayaan, memang betul.  Tetapi  bagi anak-anak dan remaja mendatangkan masalah yang lain bahkan mencerminkan masalah yang sebenarnya:  Semakin terbatasnya ruang publik untuk bermain.

Dulu zaman saya kecil di kawasan Tebet Jakarta, seminggu dua kali  pulang sekolah SD main sepak bola karena lapangan begitu banyak bertebaran.  Ketika main ke rumah kakak Ibu di Bandung, juga main sepak bola dengan anak-anak sekitar Cicendo.  Lapangan gratis masih banyak.

Kalau sekarang?  Banyak lahan kosong menjadi bangunan komersial.  Memang masih ada taman yang direvitaliasi di Jakarta, Bandung dan berapa kota bisa menjadi tempat interaksi publik, untuk bocah di bawah lima tahun ada ayunan, main perosotan, tetapi untuk menghabiskan energi sudah tidak banyak.

Saya menduga jangan-jangan prestasi sepak bola Indonesia -terlepas dari apa yang dicapai Shin Tae Young dengan PSSI U23-juga terkait dengan terbatasnya lapangan untuk bermain bola.  Beruntung untuk lapangan bulutangkis masih ada tempat di perkampungan karena tidak membutuhkan lahan yang luas.  Jadi bisa dijawab kan mengapa bulutangkis bisa terus berprestasi.

Saya sih setuju kalau gawai hanya boleh diberikan pada mereka usianya paling sedikit 13 tahun (SMP), itu pun dikontrol.  Di bawah usia itu juga bisa dan dibatasi.  Namun untuk mengalihkan energi mereka  itu yang jadi tanda tanya. 

Jadi anak-anak itu disuruh apa dong kalau orangtua dan kalangan pendidik ingin anak-anak tidak kecanduan gawai, ketika saluran untuk menyalurkan energi anak lain semakin minim? Lalu otoritas apa tanggungjawabnya? Jangan buat hanya membuat kawasan komersial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun