Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Dunia Perempuan dalam "Mereka Bilang Saya Monyet" dan "Perempuan Punya Cerita"

22 April 2024   19:29 Diperbarui: 22 April 2024   19:29 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Januari 2008 saya menyaksikan dua film  tentang perempuan yang punya nafas feminisme kuat, yaitu Mereka Bilang Saya Monyet" dan "Perempuan Punya Cerita" hanya dalam waktu tiga hari. Untung saya saya mencatat opini saya di catatan harian hingga bisa dipersembahkan untuk tanangan dari komunitas KOMiK.  

Kekuatan kedua film ini ialah karena baik penulis maupun sutradarnya perempuan hingga menyajikan sudut pandang yang kuat untuk menggambarkan ketidakberdayaan perempuan.

Bagi saya membaca kumpulan cerpen karya Djenar Maesa Ayu bertajuk Mereka Bilang Saya Monyet jauh lebih sulit dibanding menonton filmnya bertajuk sama untuk memahami  apa "ideologi" sang sineas.  Kebetulan Djenar adalah sutradaranya sendiri. Ada  tiga catatan yang saya tangkap ketika menonton film ini pada 14 Januari 2008.

Pertama, Djenar bertutur melalui simbol-simbol. Di antaranya, saya menfasirkan lintah adalah lambing laki-laki brengsek perusak hidup tokoh utama film ini, Ajeng.

Lelaki brengsek itu selain mendekati ibunya juga melakukan pelecehan terhadap dirinya yang digambarkan sebagai lintah yang hinggap di paha dan bahunya hingga di bak mandi.

Hidup Ajeng sudah suram sejak awal karena mengalami child abuse sejak kecil. Sang ayah suka selingkuh dan ibunya over protective.

Kedua, lewat film dan juga cerpennya  ini Djenar jelas memproklamirkan sebagai seorang feminis melalui sebuah perdebatan dengan tokoh lelaki, penulis senior, mentornya, yang sudah punya istri.

Lewat sebuah dialog Ajeng mengecam Sang Senior  yang boleh memiliki perempuan lain, tetapi dia tidak memperbolehkan perempuan yang sudah dimilikinya memiliki lelaki lain.

Ketiga, Titi Sjuman berhasil menguak dunia Djenar lewat cerpennya.  Sebuah adegan menarik  ketika Ajeng berada di depan kacasambi mendengar pesan telepon yang memuji cerpennya berjudul Lintah.  Sebetulnya justru hal itu menyayat hatinya.

Djenar bertutur dengan berpindah-pindah antara masa lalu dan masa kini.  Terlihat absurd pada ending cerita: ketika Ajeng dewasa melambaikan tangan dari jendela ke Ajeng kecil  yang hendak naik mobil.

Sejumlah kata kasar berseliweran dalam film Mereka Bilang Saya Monyet membuat penonton seperti saya untuk mengerti apa yang dialami tokoh utamanya.  Oh, film ini layak diberikan rated 21.

 

Review Perempuan Punya Cerita

Kira-kira tiga hari kemudian saya menonton film yang bertema perempuan dengan nafas feminis yang kuat "Perempuan Punya Cerita", kumpulan empat film pendek yang semua penulis skenario dan sutradaranya perempuan. Film ini adalah produksi Kalyana Shira.

Pertama, Kisah dari Pulau  bercerita tentang bidan Sumantri (Rieke Dyah Pitaloka) yang bertugas di sebuah pulau.  Dia berupaya melindungi anak angkatnya Wulan (Rachel Maryam) penyandang autis dari berbagai gangguan, seperti gerombolan pemuda, hingga pemerkosaan. Namun ketika Sumantri  melaporkan ke polisi tidak digubris  karena Sumantri pernah punya kasus melakukan aborsi.

Sumantri berupaya melawan tetapi terbentur tembok.  Keluarga Wulan lebih butuh daripada memberikan keadilan pada anaknya. Pelaku pemerkosaan memberikan uang pada neneknya.  Sumantri dan suaminya akhirnya pergi dari pulau itu.  Tangisan Wulan mengiringi kepergian mereka menandakan kekalahan perempuan.

Menonton, film pertama ini sekalipun lebih dari 15 tahun lalu, kok rasanya masih relevan. Bukan saja budaya patriaki, tetapi uang juga mengalahkan perempuan yang jadi korban dalam posisi marjinal.  Hanya saja mungkin masa itu media sosial tidak sekuat sekarang yang bisa mengangkat ketidakadilan menjadi viral.

 

Kedua, Cerita dari Yogyakarta yang paling menarik bagi saya.  Tokoh utamanya Safina (Kirana Larasati), siswi sebuah SMA di Yogyakarta menjadi pemandu seorang wartawan Jakarta, menyamar sebagai mahasiswa  bernama Jay Anwar (Fauzi Baadilah) yang melakukan investigasi perilaku seksual anak SMA di kota gudeg itu.

Berkat Safina, Jay bisa masuk mendekati para siswa SMA, termasuk mendapatkan informasi siswi yang hamil di luar nikah.

Persoalannya, hubungan Jay dan Safina juga terlalu jauh.  Wartawan itu mencampakan saja siswi SMA yang sudah dikencaninya dan banyak membantunya.  Dia marah ketika laporan dari Jay membongkar skandal yang juga menyebut nama sekolahnya.

"Jay itu wartawan penipu besar. Dia mengaku mahasiswa. Oh, Ya Mas, mengapa tidak ada cerita kamu dengan aku? Suda lupa?' ucap Safina di depan televisi dengan lantang. 

Saya suka perlawanan Safina.   Yang mengutarakan aib Sang Wartawan walau harus membongkar aibnya sendiri. Tidak terbayangkan pacarnya Jay yang ada di sampingnya mendengar pernyataan Safina. Keren.

Namun rasanya untuk kasus ini sulit terjadi masa sekarang, karena perbuatan Jay punya konsekuensi hukum lain, yaitu melanggar undang perlindungan anak jika Safina ada di bawah umur.  Pada masa itu 2007 belum ada.

Sang sutradara Upi Avianto seperti mengkritik moralitas dalam perkara Susila yang lebih banyak menyorot perempuan.

Kirana Larasati-Foto: Ahmad Furqon (alm)/Dok Tabloid Ponsel/Dok Irvan Sjafari 2008
Kirana Larasati-Foto: Ahmad Furqon (alm)/Dok Tabloid Ponsel/Dok Irvan Sjafari 2008

 

Ketiga, Kisah dari Cibinong yang disutradarai oleh Nia Di Nata bercerita tentang perdagangan manusia.  Kisahnya lebih mirip cerita pertama di mana pelaku utama perempuan kalah di mata hukum.  Apalagi mereka dari kalangan marjinal.

Para pelakunya sulit dilihat hitam putih baik laki-laki muapun perempuannya karena sama-sama bodoh dan miskin. Hanya saja sistem yang membuat fenomena perdagangan perempuan ini bisa merajalela patut digugat.  Oh, undang-udang perdagangan manusia masa itu belum ada.

 

Keempat, Kisah dari Jakarta, tokoh utamanya Laksmi (Susan Bachtiar) divonis menderita HIV/AIDS tertular dari suaminya yang kecanduan narkoba dan tewas karena over dosis. Laksmi jadi single parent menghidupi anaknya Belinda.  Dia tidak menginginkan Sang Anak diambil mertuanya yang kaya raya.  Namun akhirnya dia menyerah.   

Adegan yang paling menyentuh ialah Laksmi menyaksikan Belinda kembali ke sekolah untuk terakhir kalinya. Pembantunya yang setia pulang kampung dan menolak diberikan uang, karena Belinda lebih membutuhkannya.

Film keempat ini yang disutradarai Lasja Fauziah menyentuh dan bisa membuat menangis. Bukan saja soal ketidakberdayaan perempuan tetapi juga stigma pada penyandang HIV/AIDS. Terutama bila yang terkena adalah perempuan.

Saya suka tokoh Laksmi yang orangnya lebih mengutamakan kebahagian anaknya. Itu sesuai dengan pernyataan filsuf Erich Form cinta yang palig tulus adalah cinta ibu pada anaknya yang tidak mengharapkan balas jasa.  Laksmi tidak bersalah sama sekali.  Saya menyesalkan tokoh suami sudah punya istri cantik dan hidup berada tetapi malah terjerumus narkoba.

Keseluruhan film dikemas dengan apik seperti film Kalyana Shira lainnya dan dengan riset  yang tidak main-main.  Cuma cukup jadi pertanyaan mengapa rumah produksi ini berani mengungkapkan soal-soal yang bisa mendatangkan kontroversi.  Walapun tidak semua gagasan dalam film-film Kalyana Shira yang  saya suka, tetapi ratingnya di mata selalu antara bintang 4 dan 5.

Irvan Sjafari

Sumber Foto: https://www.berlinale-talents.de/bt/project/profile/2630

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun