Tidak banyak sekuel maupun prekuel dari sebuah film Indonesia sukses yang saya tonton  bisa lebih baik secara kualitas atau menggunakan istilah sekarang naik level.  Badarawuhi di Desa Penari adalah salah satunya.
Saya melihat Sang Sutradara Kimo Stamboel  paham betul bahwa membuat film  berlatar sosial kultural Jawa Timuran  berikut sejarahnya (saya kira sekitar Banyuwangi) bukan hal mudah.  Bukan saja soal dialek, tetapi juga bentuk rumah hingga kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya.
Kesulitannya masih ditambah dengan setting sejarah 1955 dan 1980 di perdesaan dan hutan memerlukan ketelitian, mulai dari pakaian, transportasi, hingga teknologi yang ada jangan sampai salah hingga menjadi cibiran para sejarawan atau mereka paham sejarah masa itu.
Cerita dibuka dengan tradisi pemilihan dawuh untuk pesembahan penunggu hutan agar desa terhindar dari mara bahaya pada 1955. Â Tradisi ini harus dilakukan setiap 25 tahun.
Penguasa alam gaib itu ialah Badarawuhi (Aulia Sarah) akan memilih satu di antara tujuh penari perempuan yang diseleksi untuk menjadi dawuh untuk menemaninya.
Ritual di suatu pendopo di tengah hutan dengan mantera yang diucapkan sesepuh Desa yang disebut Putri ditemani Buyut sudah cukup membuat bulu kuduk merinding. Â Mereka berangkat dengan selubung kain putih. Satu persatu penari yang tidak dipilih jatuh, kecuali satu.
Namun yang satu itu justru ditukar dengan yang penari lain. Â Gadis itu diminta pergi meninggalkan desa dengan membawa sebuah perhiasan miik Barawuhi. Sempat bertemu sosok "Sang Penguasa", dara itu lolos.
Pada 1980 Mila (Maudy Effrosina) bersama dua sepupunya datang ke sebuah kota kecil untuk mengembalikan gelang milik Badarawuhi agar ibunya sembuh dari penyakit misterius.
Dengan bantuan kenalan salah seorang dari pemuda mereka menumpang pickup ke tempat yang disebut Desa Penari. Â Mereka ingin bertemu Buyut, yang dituakan di desa itu untuk bertanya soal gelang itu.
Masalahnya, misi itu tidak terlalu mulus karena tepat pada 25 tahun harus ada ritual pemilihan dawuh dan Mila adalah salah satu kandidat yang diincar.
Dari sisi sejarah Kimo tepat sekali memotret suasana 1980-an. Bisa-bisanya dia menemukan kendaraan yang ada pada masa itu dalam kondisi terlihat baru seperti saya dibawa oleh mesin waktu ke masa itu.
Kimo dan timnya bisa membuat setting pasar 1980-an lengkap papan iklan seperti masa itu dan gaya rambut serta busana anak muda masa itu.
Kimo paham menggambarkan bagaimana lelembut yang menyerupai manusia itu bisa mengecoh manusia seolah mereka makanan yang enak padahal daging monyet-sebetulnya sudah ada di KKN Desa Penari, namun cerita folkfor ini sudah banyak saya dengar dan baca.
Adegan yang cukup mengerikan ialah ketika ternak sapi, ayam milik warga desa itu jadi bangkai dan ladang jagung yang mengering juga menakjubkan bagi saya.  Bagi warga yang kental  menganut kepercayaan mistis itu pasti panik. Apalagi desa itu disebut dikeliling pemukiman lelembut.Â
Begitu juga dengan tarian dan musik gamelan tradisional yang menjadi elemen mengerikan.  Tanpa perlu penampakan yang mengagetkan.  Begitu juga pemandian untuk para penari-saya juga  pernah baca soal petirtaan Ken Dedes di dalam wilayah Kabupaten Malang jadi masuk akal secara sejarah sosial budaya bahwa memang ada pemandian untuk ritual seperti ini.
Hanya satu pertanyaan di benak saya dari segi sejarah sosial budaya, masa sih gadis muda dari kota ketika mendengar musik gamelan dari tengah hutan mau-maunya menghampiri walau ditemani Ratih (Claresta Taufan) dan bukannya minta teman laki-lakinya ikut mengawal. Â Sekalipun tidak percaya hal mistis tetapi itu daerah asing yang baru dikenalnya, masa seberani itu? Apalagi dia bukan pencinta alam.Â
Kecermatan ini membuat saya memberikan poin untuk Kimo yang menjadikan Badarawuhi di Desa Penari naik kelas dibanding KKN Desa Penari.
Saya juga mencatat  Kimo punya pengalaman membuat film yang sebetulnya dari segi sejarah sosial budaya sebangun dengan Badarawuhi di Desa Penari, yaitu Dread Out (2019) yang diambil dari game, namun punya latar budaya Sunda dan sejarah kolonial.
Dalam menggarap DreadOut Kimo sudah apik memotret bagaiana rumah tradisional Sunda, pakaiannya, hingga logatnya. Â Pada waktu wawancara dengan saya Kimo menyebut dari sekitar Cirebon. Â Baca: Â DreadOut, Game, Milenial dan Budaya Sunda Â
Sutradara Kelahiran Bandung 25 Juni 1980  juga  tahu soal cara berpikir Simpe Man karena dia juga jadi sutradara Sewu Dino juga diangkat dari karya Simple Man.  Film ini juga bernuansa budaya Jawa yang kental.  Karya debutan Kimo berjudul Bunian pada 2004  juga berbau sosial dan budaya.
Jadi dari perspektif sosial, budaya dan sejarah, Badarawuhi di Desa Penari, apik tenan.
Irvan Sjafari
Foto:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H