Jakarta tidak menarik? Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan Ekonomi Jakarta pada 2023 tumbuh sebesar 4,96 persen.  Sebetulnya  tidak jauh dengan Jawa Timur sebesar 4,95%, Jawa Tengah 4,98% bahkan di Jawa Barat yang mencapai 5%.
BagaimanaPertumbuhan ekonomi DKI Jakarta lebih lambat dibanding capaian tahun 2022 yang mengalami pertumbuhan sebesar 5,25 persen, tetapi lebih tinggi dibanding dari 2021 sebesar 3,55%, pada 2020 sempat minus 2,39% dan pada 2019 sebesar 5,19 persen.
Pertanyaannya, mengapa orang-orang tetap berbondong-bondong ke Jakarta mengadu nasib? Mri buka data ekonomi Jakarta.
Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Sri Haryati dalam seminar daring "Outlook Jakarta 2024" di Jakarta awal Desember lalu menyampaikan data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan Jakarta memberikan konstribusi terbesar dalam ekonomi nasional yakni 16,62 persen pada triwulan III 2023. Capaian ini terbesar di seluruh Indonesia.  Sumber: Liputan6   dan AntaraÂ
Barometer ekonomi lainnya, yaitu investasi yang masuk ke Jakarta pada triwulan III 2023 menembus  Rp50,9 triliun.  Jakarta juga merupakan pusat perputaran uang nasional. Pada 2021, sebanyak 70 persen uang yang beredar berada di Jakarta.
Sejak kapan arus urbanisasi ke Jakarta? Rahadian Ranakamuksa Candiwidoro dalam artikelnya "Menuju Masyarakat Urban: Sejarah Pendatang di Kota Jakarta Pasca Kemerdekaan (1949-1970)" dimuat dalam Jurnal Sosiologi Volume 4 Nomor 1 2017 mengutip Susan Blackburun menyebutkan arus urbanisasi pertama terjadi antara 1948-1949.
Pada masa itu penduduk Jakarta bertambah drastis dari 823.356 jiwa menjadi 1.340.625.
Rahadian mengatakan  seiring dengan kembalinya Pemerintah Republik dari Yogyakarta ke Jakarta pada 1949 para penduduk desa melihat Jakarta sebagai tempat yang menjanjikan akan membawa kemakmuran.
Sejarawan alumni UGM ini juga melihat motivasi lain yaitu  mereka yang menghindari kerusuhan akibat pemberontakan terutama di Jawa Barat, seperti Pemberontakan DI/TII.
Pada perkembangannya terjadi kemandekan ekonomi di desa dan pada sisi lain pertumbuhan penduduk mencapai tingkat yang sangat tinggi. Â Sementara pendapat lebih rendah mamaksa penduduk desa mencari jalan lain untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Pada 1970 penduduk Jakarta menembus angka 4,5 juta. Â Hal ini membuat Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan kebijakan Jakarta sebagai Kota Tertutup bagi pendatang baru dari daerah lain pada 5 Agustus 1970.
Bang Ali menyatakan  akan mengembalikan orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan rumah kepada gubernur daerah masing-masing.
Berhasilkah kebijakan Bang Ali, sejarah membuktikan tidak berhasil. Bahkan berbagai ungkapan bahwa sekejam-kejamnya Ibu Tiri lebih kejam Ibu Kota, Siapa Suruh datang Jakarta bagaikan masuk dari telinga kiri keluar telinga kanan.
Sampai kapan pun tidak akan pernah berhasil karena Jakarta menawarkan daya tarik bagi warga desa untuk datang mengadu nasib. Â Cerita keberhasilan orang-orang daerah di Ibu Kota lebih mempengaruhi daripada kisah ketidakberhasilan.
Pada 1970-an film tentang keberhasilan orang desa sukses di Ibu Kota bahkan sudah dibenamkan di benak anak-anak lewat film Chicha (1976), Diana (1977), hingga film untuk orang dewasa Oma Irama Penasaran (1976). Â Bagaimana tidak gagal? Kalau dalam film yang penontonnya banyak sudah dikatakan: kalau mau jadi penyanyi sukses ya di Jakarta.
Pada kenyataan, Iya. Â "Tidak ada yang bisa dikerjakan di kampung, selain bertani," cerita Yusuf tukang Warung Rokok asal Garut, dekat rumah saya di kawasan Depok, perbatasan Jakarta beberapa waktu lalu.
Sudah itu tanah untuk pertanian terus berkurang. Puslitbang Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pernah melakukan penelitian tentang penyusutan lahan di Jawa Barat yang dirilis pada Desember 2020.
Penelitian itu mengungkapkan luas sawah di Jabar pada 2014 sebesar 936.529 hektar telah menyusut menjadi 898.711 hektar pada 2018.
Jadi kalau dikatakan pendatang  nekat ke Jakarta tanpa relasi dan modal tidak bisa disalahkan, karena  justru mereka yang butuh pekerjaan.
Pekerjaan informal menjanjikan bagi warga yang meninggalkan kampung halamannya karena tidak terserap lapangan kerja di sana.
Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta mengungkapkan pada 2020 jumlah pekerja sektor informal mencapai 1.780.827 meningkat menjadi 1.812.709 pada 2021, sempat turun ke 1.797.797 pada 2022 (kemungkinan karena pandemi Covid-19).
Memang selalu ada celah menciptakan lapangan kerja di Jakarta asalkan jeli. Â Mukroni, Ketua Koperasi Warung Tegal Nusantara (Kowantara) mengatakan untuk lapangan kuliner selalu ada peluang.Â
Bagaimana pun juga orang di Jakarta butuh makan sesuai dengan kemampuannya masing-masing dan kuliner warung tegal cocok untuk bagi mereka yang punya penghasilan pas-pasan. Apalagi penduduk terus bertambah.
Saat ini ungkapnya, warteg di Jakarta berjumlah sekira 25 ribu. Masih ditambah untuk sebaran di Jabodetabek kurang lebih pada kisaran 50 ribu.
"Yang menjadi Kowantara berdasarkan data berada pada kisaran 10.000 warteg  perkembangan semakin maju dengan berdirinya warteg-warteg  bercorak modern," ujar Mukroni melalui Whatsapp, 12 April 2024.
Jakarta akan terus menjadi magnet bagi  perantau. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta memproyeksikan sekira  15.000-20.000 pendatang baru di Jakarta usai Lebaran 2024.
Meskipun demikian angka ini sudah turun dibandingkan  2023 dan 2022, yang masing-masing sebesar 25.918 orang dan 27.478 orang.
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil  (Disdukcapil) DKI Jakarta menyatakan dari jumlah itu sebanyak 84,06% pendatang pasca-Lebaran 2023  paling tinggi hanya SMA.  Disdukcapil juga menyebut  62,32%  mempunyai penghasilan rendah.
"Banyak pendatang yang meminta tolong saudara atau kerabatnya di Jakarta agar bisa sekadar "menumpang" di kartu keluarga (KK)," kata Budi seperti dikutip dari BBC. Â
Menciptakan Lapangan Kerja di Desa
Jadi salah satu langkah untuk merem urbanisasi ada di hulu, yaitu menciptakan pekerjaan di perdesaan.  Sudah ada upaya itu. Tetapi tidak cukup untuk menghentikan arus urbanisasi.  Namun yang saya dapatkan  upaya itu justru dilakukan grassroot bukan pemerintah daerah.
Sugeng Handoko, seorang pemuda di Desa Nglanggeran, Kabupatan Gunung Kidul mampu kok membuat desanya menjadi  desa wisata pada 2007.Â
Dia menggagas desa wisata itu bukan saja menjaga lingkungan di kawasn itu, tetapi juga berupaya memberikan dampak ekonomi dan akhirnya mengurangi urbanisasi.
Pada 2012 Desa Nglanggeran mendapat kunjungan 27.625 wisatawan domestik dan 200 wisatawan asing dan mampu meraup  omzet sebesar Rp81, 2 juta.
Pada 2019 jumlah kunjungan meningkat menjadi 101.866 kunjungan wisatawan domestik dan 1.241 wisatawan asing dengan omzet Rp3,2 miliar.
Desa wisata ini didukung oleh perkebunan kakao seluas 40 hektar hingga perkebunan buah seperti durian dan klengkeng, selain menawarkan panorama di sekeliling desa.
Sekalipun pandemi Covid-19 sempat berdampak pada desa itu, tetapi Sugeng Handoko bisa menjadi contoh bahwa perlu upaya di tingkat grassroot untuk menahan arus urbanisasi, bukannya urbanisasi dibendung di Jakarta.
Pertanyaannya berapa banyak yang seperti Sugeng Handoko? Kemudian seberapa besar upaya pemerintah daerah menciptakan lapangan kerja di daerahnya yang lebih menjanjikan dibandingkan mereka ke Jakarta?
Kalau saja kantung-kantung penyerap tenaga kerja dengan jumlah cukup besar, penghasilan menjanjikan, lengkap dengan fasilitas pendidikan, kesehatan dan hiburan bisa tercipta di desa, bukan tidak mungkin malah yang terjadi deurbanisasi dari Jakarta ingin menetap di desa.
Oh, ya kalau itu terjadi, hati kecil saya mah lebih suka tinggal di kota kecil dan desa menikmati udara dan lingkungan yang lebih asri.Â
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H