Dia menggagas desa wisata itu bukan saja menjaga lingkungan di kawasn itu, tetapi juga berupaya memberikan dampak ekonomi dan akhirnya mengurangi urbanisasi.
Pada 2012 Desa Nglanggeran mendapat kunjungan 27.625 wisatawan domestik dan 200 wisatawan asing dan mampu meraup  omzet sebesar Rp81, 2 juta.
Pada 2019 jumlah kunjungan meningkat menjadi 101.866 kunjungan wisatawan domestik dan 1.241 wisatawan asing dengan omzet Rp3,2 miliar.
Desa wisata ini didukung oleh perkebunan kakao seluas 40 hektar hingga perkebunan buah seperti durian dan klengkeng, selain menawarkan panorama di sekeliling desa.
Sekalipun pandemi Covid-19 sempat berdampak pada desa itu, tetapi Sugeng Handoko bisa menjadi contoh bahwa perlu upaya di tingkat grassroot untuk menahan arus urbanisasi, bukannya urbanisasi dibendung di Jakarta.
Pertanyaannya berapa banyak yang seperti Sugeng Handoko? Kemudian seberapa besar upaya pemerintah daerah menciptakan lapangan kerja di daerahnya yang lebih menjanjikan dibandingkan mereka ke Jakarta?
Kalau saja kantung-kantung penyerap tenaga kerja dengan jumlah cukup besar, penghasilan menjanjikan, lengkap dengan fasilitas pendidikan, kesehatan dan hiburan bisa tercipta di desa, bukan tidak mungkin malah yang terjadi deurbanisasi dari Jakarta ingin menetap di desa.
Oh, ya kalau itu terjadi, hati kecil saya mah lebih suka tinggal di kota kecil dan desa menikmati udara dan lingkungan yang lebih asri.Â
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H