Sang Pencerah saya tonton Pada 12 September 2010 di sebuah bioskop di wilayah Depok.  Saya mencatat ulasan yang cukup panjang di diary saya.  Untuk Kompasiana, saya memulai mencicil satu demi satu tulisan yang tadi jadi catatan pribadi menjadi catatan untuk publik, di antarnya ulasan tentang Sang Pencerah.  Berikut ulasannya.
Sang Pencerah: Review
"Kyai Agama itu apa?" tanya seorang murid Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Kyai itu tidak menjawab. Dia hanya memainkan biolanya. Kelima muridnya mulanya terheran-heran. Namun akhirnya menikmati permainan musik itu dengan beragam ekspresi.
"Apa yang kalian rasakan?" tanya Kyai Haji Achmad Dahlan.
"Indah!"Â cetus salah seorang muridnya.
"Begitulah agama itu indah dan membawa kedamaian," ucap Dahlan.
Lalu ia meminta  salah seorang murid memainkan biola. Hasilnya murid memainkan musiknya tidak enak terdengar di telinga.
"Demikian juga agama dijalankan dengan cara yang salah membuat Islam ditertawakan," kata Dahlan.
Salah satu scene yang menurut saya menarik dari film Sang Pencerah.  Begitu juga dengan scene ketika Dahlan membeirkan khutbah Jumat yang mengkritik kultus individu  terhadap kyai, serta memberikan sesaji yang dianggap sudah menyimpang dari Islam.
Dalam Sang Pencerah Dahlan digambarkan sebagai sosok yang bisa mensinerjikan Islam dengan ilmu pengetahuan. Â Tak ada yang salah dengan sistem sekolah untuk mengajarkan Islam.Â
Dahlan menghapuskan anggapan (tepatnya stigma) murid-murid Kweek school bahwa Kyai itu tidak bersepatu dan bau. Â Dia datang mengajar agama dengan memakai sepatu dan parfum agar wangi.
Dahlan menggunakan kompas untuk menentukan arah kiblat dan mengrktik seorang kyai yang menuduhnya kafir dengan mendirikan sekolah model barat. Â Padahal itu menurutnya spirit Islam.
"Pak Kyai sendiri datang dengan kereta api buatan orang kafir, kan?" Dahlan balik bertanya.Â
Hanung Bramantyo berhasil menggambarkan Dahlan sebagai sosok yang kukuh pada pendiriannya. Musalanya dirubuhkan orang, tetapi dia tetap terus. Â Murid-muridnya dihalang-halangi oleh orangtuanya, tetapi tetap datang.Â
Dalam Sang Pencerah oleh Hanung Bramantyo diceritakan kelahirannya pada 1868 dengan nama mulanya Muhammad Darwis. Â Dia mendapat pengaruh dari Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh.
Dahlan berhubungan dengan Budi Utomo dan Jambek dari Sumatera Barat. Â Jadi tidak mengherankan kelak Muhammadyah nantinya matang bukan di Yogyakarta, tetapi di Sumatera Barat.
Dahlan dilukiskan dengan manusiawi, sempat mau meninggalkan Yogyakarta bersama keluarganya naik kereta api. Namun dia dibujuk oleh kerabatnya yang mendanai perjuangannya dengan menggunakan tabungan mereka.
Saya kira Lukman Sardi berhasil mengintepretasikan dan memerankan karakter tokoh agama yang punya pengikut nomor dua terbesar di Indonesia. Â Sayangnya Ikhsan (Idol) Taroreh masih tampak seperti anak-anak zaman sekarang. Â Walaupun upayanya menjadi orang Jawa masa dahulu dalam dialek dan bahasa tubuh maksimal.
Zaskia Adya Mecca berhasil keluar dari sosok dalam Kiamat Sudah Dekat, penampilan hitam, agak kumal dan Jawa sekali. Dia membuktikan walau sutradaranya suaminya sendiri, dia main maksimal. Â Dia sudah berhasil membuktikan diri jadi artis profesional.
Setting historis yang diberikan Hanung patut diacungkan jempol detail dengan pakaian batik, baju lurik, suasana pasar, stasiun kereta api. Â Walau bisa ditebak kereta api kuno itu dari Museum Ambarawa karena gerbongnya hanya ada beberapa. Saya suka soundtracknya "Ilir-ili Ijo Royo-royo" digarap apik.
Sang Pencerah menggambarkan sebagian besar kehidupan Achmad Dahlan 1868-1912 (berdirinya Muhammadyah), namun tidak sampai meninggalnya pada 1923. Â Hanung menurut saya menggambarkan Muhammadyah sebagai organisasi yang punya kepedulian sosial pada murid-muridnya.
Mulanya hanya anak-anak miskin di sekitar alun-alun yang tidak dapat kesempatan sekolah dirangkul, tetapi akhirnya murid Kweek School yang berlatar belakang priyayi juga tertarik ikut bergabung.
Sejarah Muhammadyah: Gerakan Menengah Muslim
Fakta sejarahnya Muhammadyah banyak mendapat pengikut dari kalangan  menengah muslim, di antaranya para pengrajin perak seperti diutarakan Mitsio Nakamura dalam bukunya "Bulan Sabit dari Pohon Beringin".
Dalam salah satu scene Dahlan menekankan ayat-ayat mengenai perlunya menyantuni anak yatim. Muahmmadyah berkembang mirip organisasi zending Kristen mempunyai sekolah dari TK-D awalnya masa kolonial. Kemudian pada perkembangannya Muhammadyah sampai mendirikan dan menjalankan perguruan tinggi sesudah kemerdekaan.
Bahkan masa kolonial pun Muhammadyah punya poliklinik. Saya ingat pernah menyinggungnya bahwa di Kota Malang masa kolonial sudah ada poliklinik Muhammadyah.  Di Malang, Muhammadyah juga didukung  oleh para pedagang kecil.Â
Nakamura mengungkapkan kekukuhan Muhammadyah terhadap kembali ke syariat Islam seperti yang diajarkan Muhammad berhadapan dengan aktivis PKI pada 1924 di Yogyakarta dan nyaris bentrok fisik. Â Muhammadyah itu seperti melakukan Re-Islamisasi Jawa. Di Sumatera Barat, Hamka mengembangkan Muhammadyah sebagai gerakan pembaharuan Islam.
Yang menarik keturunan Achmad Dahlan tidak menonjol menurut sepengetahuan saya. Ketua Muhammadyah dipilih bukan berdasarkan darah biru tetapi dengan kapabilitas  dan integritas.  Itu sebabnya Muhammadyah bisa dipimpin oleh Amien Rais, Syafii Maarif, Dien Syamsudin yang bukan ulama, tetapi intelektual.  Pergantian Ketua Muhammadyah lebih mirip seperti mengganti rektor.
Irvan Sjafari (diedit dari naskah diary 13 September 2024)
Foto: https://www.viu.com/ott/id/articles/sang-pencerah/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H